Belajar di Tengah Deru Pasar: Nasib Sekolah Brawijaya Malang

Belajar di Tengah Deru Pasar: Nasib Sekolah Brawijaya Malang
Wali Kota Malang Wahyu Hidayat (dua dari kiri) saat mengunjungi sekolahan di kawasan Pasar Splendid (pasar burung dan ikan hias) (jtn/io)

Terhimpit hiruk pikuk Pasar Splendid, Sekolah Kristen Brawijaya Malang hadapi krisis siswa. Pemkot Malang tawarkan opsi tukar guling lahan demi selamatkan pendidikan dari polusi suara.

INDONESIAONLINE – Di jantung Kota Malang, sebuah ironi tata ruang sedang berlangsung. Di satu sisi, Pasar Burung dan Pasar Ikan Splendid berdenyut kencang sebagai salah satu ikon wisata ekonomi legendaris.

Kicau burung, aroma pakan ternak, dan tawar-menawar pedagang menjadi simfoni harian. Namun, tepat di sebelahnya, ratusan siswa SD, SMP, hingga SMA Kristen Brawijaya I harus berjuang untuk fokus menerima pelajaran di tengah polusi suara dan aroma yang menyengat.

Kawasan yang dahulu mungkin dirasa ideal, kini berubah menjadi medan yang tidak ramah bagi tumbuh kembang akademis. Realitas pahit ini menjadi sorotan utama Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, saat melakukan tinjauan lapangan ke sekolah di bawah naungan Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Jawa Timur tersebut, Selasa (23/12/2025) kemarin.

Krisis Kenyamanan, Krisis Siswa

Kunjungan orang nomor satu di Pemkot Malang itu menyingkap fakta yang mengkhawatirkan: ekosistem pendidikan di kawasan Splendid sedang “sekarat”. Wahyu menyoroti bahwa kedekatan jarak antara ruang kelas dengan pusat aktivitas pasar telah melampaui ambang batas toleransi kenyamanan.

“Kasihan sekolahnya. Siswanya makin menurun karena bersebelahan dengan pasar burung dan pasar ikan hias. Lingkungannya bising, baunya juga tidak nyaman,” ungkap Wahyu dengan nada prihatin.

Data di lapangan mengonfirmasi kekhawatiran tersebut. Minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di SD dan SMP Brawijaya terus tergerus dari tahun ke tahun.

Aksesibilitas menjadi isu krusial. Kemacetan kronis akibat aktivitas bongkar muat dan parkir pengunjung pasar membuat proses antar-jemput siswa menjadi mimpi buruk logistik bagi para wali murid.

Secara ilmiah, kekhawatiran ini beralasan. Mengutip standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat kebisingan ideal untuk lingkungan belajar di dalam kelas seharusnya tidak melebihi 35 desibel (dB). Namun, kawasan pasar aktif seperti Splendid kerap menghasilkan kebisingan di atas 70-80 dB, setara dengan suara lalu lintas padat.

Kondisi ini secara signifikan dapat menurunkan konsentrasi, meningkatkan stres pada siswa, dan menghambat proses kognitif.

Opsi Tukar Guling: Solusi atau Komplikasi?

Merespons kondisi mendesak ini, Pemkot Malang melemparkan wacana berani: ruilslag atau tukar guling lahan. Wahyu Hidayat membuka pintu diskusi jika pihak yayasan merasa lokasi saat ini sudah tidak lagi mempertahankan viabilitas operasional sekolah.

“Kalau memang nanti pihak sekolah merasa kesulitan dan mengajukan tukar guling, kenapa tidak? Bisa saja mendapat lokasi aset pemkot yang lebih strategis dan nyaman untuk pendidikan,” tegas Wahyu.

Tawaran ini bukanlah solusi instan, melainkan sebuah opsi strategis dalam manajemen aset daerah. Pemkot Malang memiliki sejumlah aset lahan tidur di lokasi yang lebih kondusif yang berpotensi ditukar dengan lahan sekolah saat ini.

Jika terealisasi, lahan eks sekolah tersebut bisa dimanfaatkan untuk penataan ulang kawasan Pasar Splendid yang memang sudah sangat padat, menciptakan win-win solution bagi pedagang dan dunia pendidikan.

Namun, Wahyu buru-buru menekankan bahwa ini masih dalam tahap penjajakan. Belum ada palu yang diketuk. “Nanti kita duduk bersama, kita susun konsepnya bareng-bareng dengan perguruan tinggi,” tambahnya, mengisyaratkan pendekatan berbasis kajian akademis dalam penataan kawasan.

Tantangan Penertiban dan Tata Kelola

Masalah di kawasan Splendid tidak hanya soal bising, tetapi juga perebutan ruang publik. Sebagian aset sekolah disinyalir telah digunakan oleh pedagang di sekitar jembatan/kawasan tersebut.

Menghadapi hal ini, Wahyu memilih pendekatan hati-hati. Ia menolak penggusuran atau penertiban yang reaktif tanpa landasan hukum yang kuat.

“Penertiban itu harus ada dasarnya. Kalau ditertibkan tanpa pengaturan yang jelas, nanti balik lagi seperti semula. Kita atur dulu, baru kita tertibkan,” pungkasnya.

Pernyataan ini mencerminkan kompleksitas masalah urban di Malang. Splendid bukan sekadar pasar, melainkan warisan budaya dan ekonomi. Namun, pendidikan adalah investasi masa depan. Membiarkan sekolah “mati perlahan” karena tercekik aktivitas pasar adalah kegagalan tata kota.

Keterlibatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lintas sektor—mulai dari Dinas Pendidikan, Diskopindag, Dinas Pariwisata, hingga Bappeda—menunjukkan bahwa Pemkot Malang mulai menyadari perlunya masterplan kawasan yang integratif.

Kini, bola ada di tangan Yayasan Pendidikan Kristen Brawijaya dan para pemangku kebijakan. Apakah sekolah bersejarah ini akan bertahan di tengah hiruk pikuk pasar dengan segala risikonya, atau memilih lembaran baru di lokasi yang lebih tenang demi menyelamatkan masa depan anak didiknya?

Yang pasti, siswa berhak atas ketenangan, dan pedagang berhak atas ruang usaha; tugas pemerintahlah menghadirkan harmoni di antara keduanya.