INDONESIAONLINE – Hampir dua dekade. Selama itu, Nader Thaher, mantan Presiden Direktur PT Siak Zamrud Pusaka, menghilang dari radar hukum. Menjadi hantu masa lalu bagi Kejaksaan Agung dan korban korupsi kredit macet Bank Mandiri Riau. Namun, pada Kamis, 13 Februari 2025, pukul 16.50 WIB, tirai pelarian itu akhirnya runtuh.
Tim gabungan pemburu koruptor berhasil menciduknya di sebuah apartemen modern di kawasan Ciracas, Bandung, mengakhiri persembunyian panjang yang penuh lika-liku.
Penangkapan Nader bukan sekadar penangkapan buronan biasa. Ini adalah klimaks dari pengejaran tanpa henti, sebuah bukti bahwa waktu, betapapun panjangnya, tak mampu menghapus jejak kejahatan.
Nader, yang kini berusia 69 tahun, ditangkap atas kasus korupsi kredit macet yang merugikan negara hingga Rp 35,9 miliar – sebuah angka fantastis yang menggerogoti keuangan negara di awal milenium baru.
Jumat pagi, 14 Februari 2025, pukul 10.45 WIB, pesawat yang membawa Nader mendarat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru.
Langkah kaki Nader menjejak tanah Riau, tempat di mana dulu ia berkuasa dan kemudian terjerat dalam pusaran korupsi. Digelandang ke kantor Kejati Riau, wajah yang dulu mungkin penuh percaya diri kini tampak lesu. Ia bungkam, menolak kata-kata wartawan.
Namun, tubuhnya tak mampu menyembunyikan tekanan. Sesak napas menyerangnya di tengah konferensi pers, memaksa petugas memberikan bantuan oksigen. Simbol kejatuhan seorang buronan yang telah lama hidup dalam bayang-bayang.
Jejak Panjang Pelarian dan Identitas Baru
Kepala Kejati Riau, Akmal Abbas, mengungkapkan bahwa Nader telah menjadi buronan sejak 24 Juli 2006, tanggal Mahkamah Agung (MA) menguatkan vonis 14 tahun penjara atas dirinya. Namun, jauh sebelum putusan MA itu keluar, Nader telah selangkah lebih maju.
Pada 3 April 2006, memanfaatkan celah hukum “bebas demi hukum” saat proses kasasi, ia melarikan diri dari Lapas Pekanbaru. Sejak saat itu, dimulailah babak baru kehidupannya sebagai buronan.
Pencarian Nader menjadi prioritas. Tim pemburu tak hanya menyisir pelosok negeri, tetapi juga melacak jejaknya hingga ke mancanegara. Singapura disebut-sebut menjadi salah satu negara tempat ia bersembunyi. Namun, jejaknya selalu saja menghilang, bak ditelan bumi.
Rahasia panjangnya pelarian Nader terletak pada kepiawaiannya dalam menyamarkan identitas. Akmal Abbas membeberkan bahwa pada tahun 2014, Nader diduga melakukan perubahan identitas secara sistematis.
Ia membuat KTP baru di Cianjur, dan kemudian mendapatkan KTP elektronik di Kabupaten Bandung dengan nama samaran: H. Toni. Dalam identitas barunya, ia menjelma menjadi seorang wiraswasta, lengkap dengan status berkeluarga dengan seorang wanita Bandung.
Identitas palsu ini menjadi tameng ampuh yang melindunginya dari kejaran hukum. Pelacakan menjadi terhambat, jejak digitalnya memudar.
Bahkan, indikasi keberadaannya di luar negeri semakin mempersulit upaya penangkapan. “Apakah sudah sampai ke luar negeri atau tidak, tidak terlacak. Akhir-akhir ini baru kita dapat informasi bahwa dia berada di Indonesia,” kata Akmal.
Ketika akhirnya ditemukan, Nader Thaher bukanlah sosok yang sama dengan buronan yang dulu dicari. Waktu telah menggerogoti fisiknya.
“Dulu masih muda dan gagah, sekarang sudah tua,” ujar Akmal Abbas menggambarkan perubahan drastis penampilan Nader. 19 tahun dalam pelarian, hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian, telah meninggalkan jejak yang kentara. Topeng identitas baru tak mampu menyembunyikan usia dan beban masa lalu.
Kasus korupsi yang menjerat Nader bermula dari investasi Bank Mandiri tahun 2002 untuk pengadaan empat unit rig beserta perlengkapannya yang dipesan oleh PT Caltex Pacific Indonesia. Kredit yang seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi, justru menjadi bom waktu yang meledak, meninggalkan kerugian negara puluhan miliar rupiah.
Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara, hukuman yang lebih berat dari tuntutan jaksa. Sempat ada harapan hukuman akan diringankan di tingkat banding, di mana Pengadilan Tinggi Riau mengurangi vonis menjadi 7 tahun.
Namun, MA, sebagai benteng terakhir keadilan, justru mengembalikan vonis awal: 14 tahun penjara, denda Rp 250 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 35,9 miliar.
Penangkapan Nader Thaher setelah 19 tahun buron bukan hanya sekadar keberhasilan aparat penegak hukum. Lebih dari itu, ini adalah simbol komitmen Kejaksaan Agung dan jajaran di bawahnya untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tanpa mengenal batas waktu.
“Penangkapan ini adalah bukti komitmen Kejaksaan dalam menindak buronan. Tidak ada tempat yang aman bagi pelaku kejahatan untuk bersembunyi. Cepat atau lambat, kami akan menemukan dan mengeksekusi putusan pengadilan,” tegas Akmal Abbas.
Kisah Nader Thaher menjadi pengingat bagi para pelaku kejahatan yang bersembunyi dalam persembunyian. Waktu mungkin bisa mengaburkan ingatan publik, identitas palsu mungkin bisa menipu mata manusia, namun keadilan, pada akhirnya, akan selalu menemukan jalannya.
Penangkapan Nader adalah pesan jelas: negara tidak akan menyerah dalam memburu para koruptor, dan hukum akan ditegakkan, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan. Bayang-bayang hukum akan selalu menghantui, dan kejatuhan, cepat atau lambat, adalah keniscayaan bagi mereka yang memilih jalan kejahatan.