Amangkurat II: Dendam Darah Surabaya dan Runtuhnya Mataram

Amangkurat II: Dendam Darah Surabaya dan Runtuhnya Mataram
Ilustrasi sosok Amangkurat II (io)

Kisah tragis Amangkurat I dan Amangkurat II dalam pusaran konflik Mataram Islam. Menelusuri jejak dendam Pangeran Pekik, tragedi Rara Oyi, dan perjanjian VOC 1677.

INDONESIAONLINE – Angin kering berhembus membawa debu kemarau panjang tahun 1677, menyapu sisa-sisa keagungan wangsa Mataram yang tengah sekarat. Di sebuah pondok kayu di Wanayasa, yang jauh dari kemegahan Keraton Plered, seorang raja besar terbaring tak berdaya.

Napasnya tersengal, seirama dengan detak jantung kekuasaan yang kian melemah. Dialah Sri Susuhunan Amangkurat I, penguasa absolut yang tangan besinya pernah mencengkeram Jawa, kini hanyalah seorang pelarian yang dihinakan oleh takdir.

Di sisi pembaringan itu, berdiri sosok pemuda dengan tatapan mata yang sulit ditebak: Raden Mas Rahmat, sang Pangeran Adipati Anom. Dalam diamnya, ia bukan sekadar anak yang menunggui ayahnya menjemput ajal. Ia adalah perwujudan dari sejarah kelam, sebuah bejana yang menampung dendam dua garis keturunan yang saling bunuh: Mataram di pedalaman dan Surabaya di pesisiran.

Sejarah mencatat momen ini bukan sekadar pergantian takhta, melainkan puncak dari tragedi keluarga paling berdarah di tanah Jawa.

Bayang-Bayang Pembantaian Plered

Untuk memahami kebekuan hati Raden Mas Rahmat di Tegal, kita harus memutar waktu ke belakang, menembus kabut sejarah menuju tahun-tahun penuh teror di Plered.

H.J. de Graaf, sejarawan terkemuka yang mengupas tuntas masa ini dalam De Regering van Sunan Mangkurat I, melukiskan sang raja sebagai sosok yang paranoid. Pembantaian 5.000-6.000 ulama dan santri di alun-alun Plered pada 1648 hanyalah pembuka dari rangkaian horor kepemimpinannya.

Namun, bagi Raden Mas Rahmat, teror itu bukan sekadar angka statistik. Teror itu adalah kehidupan pribadinya. Ia adalah cucu dari Pangeran Pekik, Adipati Surabaya yang karismatik dan keturunan langsung Sunan Ampel. Pernikahan ayahnya, Amangkurat I, dengan ibunya, Ratu Pangayun (putri Pekik), sejatinya adalah perkawinan politik untuk meredam potensi pemberontakan wilayah pesisir wetan. Namun, darah Surabaya di tubuh Rahmat kelak menjadi sumber malapetaka.

Tragedi Rara Oyi: Tikaman pada Jiwa

Titik balik yang mengubah Rahmat dari seorang putra mahkota menjadi “pembunuh berdarah dingin” terjadi sekitar satu dekade sebelum pelarian ke Tegal. Adalah Rara Oyi, gadis Banyuwangi yang kecantikannya menjadi legenda sekaligus kutukan. Gadis yang dipersiapkan menjadi selir raja itu justru jatuh ke pelukan Rahmat.

Cinta terlarang ini memicu murka Amangkurat I yang tak terlukiskan. Bagi sang Raja, ini bukan sekadar perselingkuhan, melainkan pembangkangan politik yang didalangi oleh mertuanya sendiri, Pangeran Pekik.

Babad Tanah Jawi merekam adegan yang paling memilukan dalam historiografi Jawa. Di hadapan ayahnya, Rahmat dipaksa memilih: takhta atau nyawa. Dengan tangan gemetar, ia harus menghunjamkan keris ke dada kekasihnya sendiri, Rara Oyi.

Jeritan gadis itu tidak hanya mengakhiri nyawanya, tetapi juga mematikan rasa kemanusiaan di hati Rahmat. Setelah itu, Pangeran Pekik dan seluruh keluarganya dibantai habis dan dimakamkan di Banyusumurup—tanah bagi para pengkhianat.

Rahmat selamat, namun jiwanya telah hangus. Ia hidup sebagai pangeran, namun hatinya menyimpan dendam Surabaya yang membara dalam diam. Ia menyaksikan bagaimana ayahnya menghancurkan keluarga ibunya tanpa sisa.

Pelarian dalam Kehinaan

Kembali ke tahun 1677. Pemberontakan Trunajaya yang meletus dari Madura telah menghancurkan Keraton Plered. Harta karun keraton dijarah, dan Amangkurat I harus melarikan diri ke arah barat mencari perlindungan VOC.

Rijcklof van Goens, Gubernur Jenderal VOC saat itu, mencatat dalam korespondensinya bahwa kondisi sang Susuhunan sangat menyedihkan. Raja yang dulu agung kini ditolak oleh rakyatnya sendiri di sepanjang jalan pelarian. Mereka menolak memberikan air kelapa muda bagi raja yang haus, sebuah simbol hilangnya wahyu keprabon.

Dalam perjalanan menuju Batavia inilah, peran Raden Mas Rahmat menjadi sorotan. Ada desas-desus sejarah—sebuah silent coup—bahwa Rahmat sengaja memperlambat perjalanan atau bahkan memberikan racun yang memperparah sakit ayahnya.

Babad menarasikan mimpi Amangkurat I tentang naga putih yang keluar dari tubuhnya dan masuk ke tubuh Rahmat, menandakan perpindahan kekuasaan yang tak terelakkan.

Tegalarum: Akhir Sang Tiran

Pada 13 Juli 1677, di Desa Tegalarum, Amangkurat I mengembuskan napas terakhir. Sebelum wafat, ia sempat memberikan wasiat pusaka kepada Rahmat, sebuah penyerahan kekuasaan yang ironis. Raja yang membunuh kakek Rahmat, kini mewariskan keruntuhan kerajaannya kepada cucu dari orang yang dibunuhnya.

Jenazah Amangkurat I tidak dibawa ke Imogiri, makam agung leluhurnya Sultan Agung. Sesuai wasiatnya—atau mungkin karena keadaan yang mendesak—ia dimakamkan di Tegalwangi. Tanah itu menjadi saksi bisu keterasingan seorang raja bahkan setelah kematiannya. Ia dimakamkan jauh dari pusat kekuasaan yang ia bangun dengan darah.

Raden Mas Rahmat kemudian memproklamirkan diri sebagai Amangkurat II. Namun, ia adalah raja tanpa istana, tanpa tentara, dan tanpa harta. Satu-satunya jalan untuk merebut kembali Jawa adalah dengan “menjual” kedaulatan kepada VOC.

Perjanjian Jepara yang diteken pada Oktober 1677 menjadi kontrak politik yang mengikat leher Mataram. Sebagai imbalan bantuan militer VOC untuk menumpas Trunajaya, Amangkurat II harus menggadaikan pendapatan pelabuhan pantai utara dan menyerahkan wilayah Priangan ke tangan Kompeni. Sejarawan M.C. Ricklefs menyebut momen ini sebagai awal dari intervensi permanen Belanda dalam urusan internal Jawa.

Epilog: Karma Banyusumurup

Naiknya Amangkurat II adalah kemenangan paradoksal. Di satu sisi, ia berhasil merebut kembali takhta Mataram. Namun di sisi lain, ia adalah instrumen dari “karma” Pangeran Pekik. Darah Surabaya yang mengalir di tubuhnya akhirnya berkuasa, meski harus dibayar dengan runtuhnya kedaulatan Mataram ke tangan bangsa asing.

Sejarah mencatat Amangkurat II sebagai raja pertama di Jawa yang mengenakan pakaian dinas ala Eropa, simbol hibriditas yang canggung. Ia memerintah di atas fondasi yang retak, dihantui oleh bayang-bayang Rara Oyi dan ribuan nyawa yang melayang demi ambisi kekuasaan.

Di Tegalwangi, makam Amangkurat I tetap sunyi, terpisah dari leluhurnya. Sementara di Banyusumurup, arwah Pangeran Pekik mungkin tersenyum getir. Dendam itu telah terbalas, bukan dengan pedang yang beradu di medan laga, melainkan melalui skenario takdir yang melahirkan seorang raja baru: cucunya sendiri, yang menghancurkan warisan sang ayah dari dalam.


Referensi:

  1. De Graaf, H.J. (1987). Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: Pustaka Grafitipers. (Data mengenai pembantaian ulama dan detail pemberontakan Trunajaya).
  2. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi. (Analisis mengenai perjanjian VOC 1677 dan dampak geopolitiknya).
  3. Babad Tanah Jawi. (Terjemahan W.L. Olthof). (Sumber narasi tradisional mengenai Rara Oyi, mimpi naga, dan wasiat Amangkurat I).
  4. Arsip VOC. Catatan korespondensi Rijcklof van Goens dan Speelman mengenai kondisi pelarian Amangkurat I (Daghregister).