Temukan kisah tak terduga di balik kebangkitan Majapahit, bermula dari keberanian Kertanagara menantang Mongol hingga inovasi militer Gadjah Mada dengan meriam cetbang. Artikel ini mengungkap bagaimana teknologi mesiu, jauh sebelum kedatangan Barat, menjadi kunci kejayaan Majapahit.
INDONESIAONLINE – Bukan tanpa getaran sejarah, keputusan berani Raja Kertanagara dari Singhasari yang memicu murka bangsa Mongol, justru menjadi percikan awal lahirnya salah satu imperium terbesar di Asia Tenggara: Kerajaan Majapahit.
Sebuah paradoks yang menarik, bagaimana tindakan defiant seorang raja justru membuka gerbang takdir bagi Nusantara. Herald van der Linde, dalam karyanya Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire, begitu apik menarik benang merah takdir ini.
Majapahit, yang menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara dari abad ke-13 hingga awal abad ke-15, memang berpusat di Jawa. Namun, jejak pengaruhnya melampaui batas, membentang dari Thailand selatan hingga area Filipina selatan, sebuah cerminan kekuatan yang memukau.

Invasi Mongol: Sebuah Prolog Berdarah
Kelahiran Majapahit bermula dari riak peperangan Singhasari dengan Dinasti Yuan di bawah kepemimpinan Kubilai Khan. “Kertanagara menciptakan situasi untuk kebangkitan Majapahit,” terang Herald dalam diskusi buku bertajuk “Majapahit: Nusantara’s Game of Thrones” di Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta, Jumat (19/7/2024) lalu.
Tindakan heroik, atau mungkin nekat, Raja Kertanagara yang memotong hidung utusan Kubilai Khan, sang penguasa paling berkuasa di dunia kala itu, adalah deklarasi perang yang tak terhindarkan.
Singhasari runtuh di tangan Jayakatwang dari Gelang-Gelang, namun bara perlawanan tak padam. Justru di tengah kekacauan inilah, Raden Wijaya, menantu Kertanagara, muncul sebagai figur sentral. Pasukan Mongol yang datang pada tahun 1293 untuk menghukum Kertanagara di bawah pimpinan Shi Bi, Gao Xing, dan Ike Mese, justru mendapati situasi yang telah berubah drastis: Kertanagara telah tiada.
Ironisnya, aliansi tak terduga pun terbentuk. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan Mongol untuk menggempur Jayakatwang. Setelah Kadiri tumbang, dengan kecerdikan luar biasa, Raden Wijaya balik menyerang pasukan Mongol yang lelah dan lengah. Kemenangan ini bukan hanya mengusir invasi asing, melainkan juga merampas persenjataan mutakhir Mongol, yang kelak menjadi warisan berharga bagi Majapahit.

Revolusi Militer Majapahit: Mesiu di Tangan Gadjah Mada
Kekuatan pasukan darat dan maritim Majapahit diakui sebagai salah satu yang terkuat di Asia. Superioritas ini, menurut Dennis Rider dari Indonesian Heritage Society, berkat perkembangan senjata api dan bubuk mesiu sisa-sisa peninggalan pasukan Mongol.
“Tidak hanya dikatakan Gadjah Mada sudah menggunakan meriam. Dikatakan pula Gadjah Mada adalah pemimpin militer pertama dalam sejarah dunia yang menggunakan bubuk mesiu dan meriam dalam sebagian besar strateginya,” imbuh Dennis Rider. Dengan meriam-meriam inilah, Gadjah Mada mampu menaklukkan wilayah seukuran Eropa.
Pernyataan ini mematahkan narasi sejarah yang selama ini beredar, bahwa mesiu merupakan teknologi Barat yang dibawa masuk ke Nusantara oleh para kolonialis.
“Faktanya, Portugis datang, mereka (Majapahit) sudah punya meriam di sini,” tegas Dennis.
Di saat Tiongkok enggan menggunakan meriam secara luas karena kekhawatiran akan pemberontakan petani, Majapahit justru memanfaatkannya secara masif. Ini menjadikan Majapahit memiliki angkatan laut terbesar, kapal perang terkuat, dan pasukan darat yang dominan di dunia pada masanya.
Pasukan Tartar yang dikirim Kubilai Khan pada 1293 telah membawa beragam senjata mesiu, dari roket-roket kecil hingga meriam. Djoko Pramono dalam bukunya Budaya Bahari, mengutip Jawaharlal Nehru dalam Glimpses of World History (1949), menyebutkan dugaan kuat bahwa ekspedisi ini membawa pengaruh besar bagi kemajuan teknologi persenjataan Majapahit.
“Masuknya ekspedisi Kubilai Khan melewati Kali Brantas oleh armada Perang Tartar bersenjatakan roket. Hal ini menjadi inspirasi Raden Wijaya dalam mengembangkan persenjataan yang akhirnya jadi andalan armada perang Kerajaan Majapahit,” lanjut Djoko.
Menariknya, di tahun-tahun yang sama, sekitar 1292, senjata api juga mulai menyebar ke Eropa dari Tiongkok, dibawa oleh penjelajah legendaris Marco Polo.
“Orang menertawakan dan mengejeknya… (Tetapi) makin banyaknya orang Eropa berkunjung ke Tiongkok menyebabkan orang lebih mengerti dan mencoba-coba membikin sendiri,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam roman epiknya Arus Balik.

Lahirnya Meriam Cetbang: Warisan Gadjah Mada
Sosok Mahapatih Gadjah Mada, konon, memiliki kedekatan dengan teknologi militer Mongol. Sri Wintala Achmad dalam Gadjah Mada: Kisah Cinta & Kisah Penaklukannya, mengungkapkan bahwa Gadjah Mada sempat diasuh oleh prajurit Mongol, dari sanalah ia mempelajari prinsip-prinsip senjata api sederhana.
Kurnia Alif Fahmi dalam Sejarah Ringkas Kerajaan Majapahit, menjelaskan bahwa Gadjah Mada memanfaatkan ilmu ini untuk memodifikasi meriam Mongol. Meriam asli Mongol yang berbahan perunggu, kalibernya kecil, dan memiliki tabung peluru di bagian belakang, menjadi inspirasi.
Awalnya, ide Gadjah Mada ini tak digubris oleh Raja Jayanagara. Namun, kegigihannya membuahkan hasil di masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Senjata warastra ini kemudian dikenal sebagai Meriam Cetbang, sebuah nama yang diyakini berasal dari kata Tiongkok “Chongtong” yang berarti “senjata berlaras tabung”.
Pramoedya menambahkan, “Nenek moyang meriam cetbang Majapahit dibawa di samping kuda perang dari Mongolia dan Korea. Majapahit semasa Mahapatih Gadjah Mada telah mengembangkan senjata api ini jadi meriam cetbang. Lawan-lawan Majapahit pada mulanya menamai senjata ini ‘sihir api petir’ karena dari bawah ia memancarkan api dan di udara atau pada sasaran dia meledak.”
Meriam Cetbang menjadi andalan pasukan darat dan armada maritim Majapahit di bawah komando Laksamana Nala. Dalam kurun waktu sekitar dua dekade, superioritas persenjataan ini menjadi kunci dalam misi penyatuan Nusantara yang ambisius.
Djoko Pramono menegaskan, “Armada Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada (dan Laksamana Nala) telah mewariskan teknologi persenjataan perang kepada generasi berikutnya di Nusantara dalam memperkuat misi ekspansi atau penyebaran agama.”
Kisah Majapahit adalah bukti nyata bahwa sejarah tak selalu berjalan linier. Dari sebuah tantangan berani, invasi asing, hingga perampasan teknologi, lahirlah sebuah imperium yang tak hanya mempersatukan Nusantara tetapi juga menorehkan jejak inovasi militer yang mendahului zamannya.
Referensi:
Linde, Herald van der. Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire
Diskusi buku “Majapahit: Nusantara’s Game of Thrones” di Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta, Jumat (19/7/2024). Narasumber: Herald van der Linde dan Dennis Rider dari Indonesian Heritage Society.
Pramono, Djoko. Budaya Bahari. (Tahun Publikasi tidak disebutkan).
Nehru, Jawaharlal. Glimpses of World History. John Day Company, 1949.
Toer, Pramoedya Ananta. Arus Balik. Hasta Mitra, 1995.
Achmad, Sri Wintala. Gadjah Mada: Kisah Cinta & Kisah Penaklukannya. Araska Publisher, 2018.
Fahmi, Kurnia Alif. Sejarah Ringkas Kerajaan Majapahit: Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Besar di Nusantara. Anak Hebat Indonesia, 2020.












