INDONESIAONLINE – Lumajang diyakini adalah Kerajaan Islam pertama di Jawa. Lumajang mengalami keislaman sekitar akhir abad ke-12 Masehi, saat kerajaan di tapal kuda itu dipimpin Arya Wiraraja.

Lumajang merupakan bagian dari Kerajaan Tumapel (Singhasari). Nararya Kirana, putri Sri Prabhu Seminingrat Jayawisynuwarddhana, merupakan pemimpin pertama Lumajang.

Di bawah kepemimpinannya, Lumajang menjadi jujukan para raja dan bangsawan. Nararya Kirana adalah seorang perempuan tangguh yang jadi penguasa pertama Lumajang.

Lumajang tetap bertahan meskipun Kerajaan Kediri sudah runtuh, digantikan dengan munculnya Kerajaan Singasari.

Lumajang dalam perkembangannya terus menjadi suatu daerah yang banyak dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara. Termasuk Raja dan para Bangsawan Kerajaan Singasari untuk melakukan ritual persembayangan di daerah lereng Semeru.

Hal itu sebagaimana yang tertuang di dalam Prasasti Mulamalurung lempengan VII halaman a baris 1 – 3, yang menyebutkan bahwa pada tahun 1177 Saka (1255 M) Nararya Kirana dinobatkan sebagai penguasa Lamajang oleh ayahnya, Raja Singasari Nararya Sminingrat.

Arya Wiraraja, putra Nararya Kirana, memegang posisi penting sebagai Demung di Kerajaan Singasari. Namun, hubungannya dengan Sri Kertanegara menjadi tegang saat raja tersebut berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dan menyebarkan ajaran agama Tantrayana ke Sumatera.

Arya Wiraraja yang seorang muslim, menentang ajaran yang berselisih dengan Islam, sehingga akhirnya diturunkan jabatannya menjadi adipati di Madura.

Sri Kertanegara yang memiliki ambisi menyatukan Nusantara, memerintahkan pengiriman arca Paduka Amoghapasa ke Maharaja Malayu untuk menakut-nakuti raja setempat. Ketidaksetujuan Arya Wiraraja terhadap program penyatuan Nusantara menyebabkan penurunan jabatannya dan pengasingannya ke Madura.

Selain alasan politik kekuasaan, ketidakserasian hubungan antara Sri Kertanegara dan Arya Wiraraja diduga juga dipengaruhi oleh perbedaan agama. Sifat kasar Sri Kertanegara terhadap utusan Cina yang beragama Islam, Meng Ki, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Islam.

Perbedaan pandangan ini kemudian mengarah pada perpecahan, di mana Arya Wiraraja dipandang sebagai penghalang ambisi Sri Kertanegara dan akhirnya diasingkan ke Madura.

Hal ini menciptakan kondisi sulit bagi Arya Wiraraja, terutama dengan pengangkatan Patih Madura Pu Sina sebagai pranaraja di Lumajang, mengancam kedudukannya di tanah yang kelak akan diwariskan kepadanya.

Ketidaksetujuan Arya Wiraraja terhadap penyatuan Nusantara oleh Sri Kertanegara tidak hanya bersifat politis, tetapi juga memiliki latar belakang agama. Perbedaan ini membawa dampak besar pada hubungan keluarga dan politik di wilayah tersebut pada masa itu.

Pu Sina Patih Madura kemudian merasa terpanggil untuk mengambil alih tahta Singasari. Meskipun tidak memiliki hubungan darah dengan raja sebelumnya, Pu Sina Patih Madura merasa tersinggung oleh tindakan semena-mena Raja Kertanegara yang dianggapnya merugikan kekuatan militer Singasari.

Baca Juga  Gunung Semeru Erupsi Lagi, Tinggi Letusan hingga 1.000 Meter 

Dalam upayanya merebut kekuasaan, Pu Sina Patih Madura bersekutu dengan Jayakatwang, Adipati Gelang Gelang, dan Arya Wiraraja yang merasa sakit hati.

Kertanegara akhirnya tewas akibat pemberontakan Jayakatwang. Kematian Sri Kertanegara membuka pintu bagi siapa saja, terutama keturunan Rajasawangsa untuk merebut tahta. Kerajaan Singasari runtuh pada 1292.

Setelah runtuhnya Singasari, Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara melarikan diri ke Terung dan kemudian ke arah timur. Dengan bantuan Kepala Desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja di Sumenep.

Arya Wiraraja yang pernah mengabdi kepada kakek Raden Wijaya menyambut kedatangannya dengan baik.

Bersama-sama, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja merencanakan strategi untuk merebut kembali tahta dari Jayakatwang. Raden Wijaya berjanji kepada Arya Wiraraja bahwa jika mereka berhasil, wilayah kekuasaan akan dibagi dua.

Dengan bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang dengan maksud mengabdi kepada kerajaan Kediri.

Untuk membuktikan kesetiaannya, Jayakatwang memerintahkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik, yang kemudian dikenal sebagai Wilwatikta.

Arya Wiraraja mengirim bantuan dari Sumenep, dan di tengah-tengah hutan tersebut, mereka menemukan buah Maja yang rasanya pahit. Desa pemukiman yang muncul dari situ diberi nama Majapahit.

Dengan tekad bulat dan bantuan sekutunya, Raden Wijaya bersiap untuk melancarkan perlawanan dan mengembalikan kejayaan Singasari yang telah runtuh. Wilwatikta menjadi saksi bisu dari awal mula kebangkitan sebuah kerajaan baru, Majapahit.

Kidung Panji Wijayakrama menceritakan bagaimana dukungan Arya Wiraraja, Raden Wijaya atau Nararya Sanggramawijaya berjanji untuk membagi dua kerajaan jika berhasil menguasai Pulau Jawa.

Arya Wiraraja mengirim putranya, Wirondaya, sebagai utusan untuk menyampaikan kesediaan Nararya Sanggramawijaya untuk mengabdi kepada Sri Prabu Jayakatwang. Sri Jayakatwang menerima baik tawaran tersebut dan memberikan hutan Tarik kepada Nararya Sanggramawijaya sebagai lahan berburu dan kediamannya.

Dengan bantuan Arya Wiraraja, Wirondaya, dan orang-orang Madura, Nararya Sanggramawijaya berhasil membuka hutan Tarik dan membangun pemukiman baru yang dikenal sebagai Majapahit.

Wirondaya, putra Arya Wiraraja oleh Nararya Sanggramawijaya, dianugerahi nama abhiseka: Ranggalawe sebagai penghargaan atas jasanya.

Raden  Wijaya atau Nararya Sanggramawijaya, adalah putra Dyah Lembu Tal yang merupakan menantu Sri Kertanegara. Raden Wijaya mendapatkan dukungan penuh dari Arya Wiraraja yang dengan tulus memberikan perlindungan dan melibatkan diri dalam upaya agar Nararya Sanggramawijaya dapat meraih kekuasaan.

Ini tidak hanya didasari oleh hubungan kekerabatan, melainkan juga oleh ketidaksukaan Arya Wiraraja terhadap penganut ajaran Tantra-bhirawa seperti Sri Kertanegara.

Sejarah mencatat bagaimana Arya Wiraraja bersama putranya Arya Adikara Ranggalawe dan Arya Merak Koncar serta pasukan berhasil membangun Majapahit-Wilwatikta, sebuah perkampungan dihuni oleh orang-orang Madura dan Tumapel. Nararya Sanggramawijaya, dengan dukungan penduduk Majapahit, berhasil mengatasi berbagai masalah, termasuk serangan balatentara Tartar yang mengancam, dalam kaitannya dengan hukuman terhadap Sri Kertanegara yang sudah tewas beberapa waktu sebelumnya.

Baca Juga  Gunung Semeru Lumajang Erupsi Lagi, Hari Ini Tiga Kali  

Setelah Sri Prabu Jayakatwang dan putranya tewas dibunuh dalam serbuan pasukan Tartar yang dipimpin oleh tiga panglima beragama Islam, yaitu Tartar Kau Hsing, Sih Pi, dan Ike Meze, kekuasaan di Jawa menjadi kosong.

Pasukan perlawanan Nararya Sanggramawijaya bersama dengan sanak keluarganya dan para pembantu Majapahit mundur setelah pertempuran. Nararya Sanggramawijaya kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar abhiseka Sri Kertarajasa Jayawarddhana.

Sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdian, sebagaimana tercatat dalam prasasti Penanggungan (1296 M), Sri Kertarajasa Jayawarddhana memberikan jabatan-jabatan penting di Kerajaan Majapahit kepada para pengikutnya.

Arya Wiraraja diangkat menjadi menteri, Arya Adikara Ranggalawe menjadi menteri mancanegara, Pu Elam menjadi Kanuruhan, Pu Watans menjadi menteri mancanegara, dan Arya Lembu Sora diangkat sebagai Patih Daha.

Selain itu, Sang Pranaraja Pu Sina tetap menjadi Pranaraya di Lumajang, dan putra Pu Sina, Nambi, diangkat menjadi Patih Armangkubumi (perdana menteri) Majapahit.

Namun, ketegangan muncul ketika Arya Adikara Ranggalawe, yang diangkat sebagai Menteri Mancanegara di Tuban, tidak puas dengan kebijakan Sri Kertarajasa Jayawardhana.

Arya Adikara Ranggalawe merasa lebih berjasa dibandingkan dengan Nambi, putra Pu Sina. Pecahnya perselisihan ini berakhir tragis dengan terbunuhnya Arya Adikara Ranggalawe dalam pertempuran melawan Kebo Anabrang di Tambak Beras. Jenazahnya, sebagai seorang Muslim, kemudian dibawa dari Tambak Beras ke Tuban untuk dimakamkan. Hingga saat ini, makam Arya Adikara Ranggalawe di Tuban dianggap keramat dan sering diziarahi oleh masyarakat setempat, terutama para bupati dan calon Bupati Tuban.

Setelah Arya Adikara Ranggalawe gugur, Arya Wiraraja menagih janji Sri Kertarajasa Jayawarddhana atas wilayah timur Kerajaan Majapahit. Wilayah ini mencakup Juru Lumajang, warisan ibundanya Nararya Kirana.

Permohonan Arya Wiraraja dikabulkan, dan wilayah Lumajang termasuk Kerajaan Lamajang diserahkan kepadanya. Dibawah pimpinan Arya Wiraraja, Lumajang menjadi kerajaan pertama di Jawa yang bercorak Islam.

Ketika Arya Wiraraja wafat, tahta Lumajang diambil alih oleh putranya, Arya Menak Koncar, yang kemudian digantikan oleh Arya Wangbang Pinatih. Di bawah kepemimpinan Arya Wangbang Pinatih, terjadi peristiwa penting seperti ekspedisi penaklukan ke Bali oleh putra-putra raja Lumajang, yaitu Arya Damar dan Arya Pinatih.

Berita telah diterbit dengan judul “Kisah Arya Wiraraja: Disingkirkan Karena Beragama Islam, Ikut Dirikan Majapahit di www.jatimtimes.com