Beranda

Besuki dan Lorong Waktu: Merekonstruksi Memori Keresidenan Bersama Trie Utami

Besuki dan Lorong Waktu: Merekonstruksi Memori Keresidenan Bersama Trie Utami
Camat Besuki Yakup Alek Susanto saat menerangkan sejarah Keresidenan Besuki kepada Trie Utami (jtn/io)

SITUBONDO — Kunjungan legenda musik Indonesia, Trie Utami, ke Kabupaten Situbondo pada Sabtu (13/12/2025), melampaui sekadar seremoni perjumpaan. Di balik dinding-dinding tua Kantor dan Pendapa Keresidenan Besuki yang kini tengah bersalin rupa melalui proses revitalisasi, terjadi sebuah dialog budaya yang mendalam.

Kehadiran Trie Utami menjadi katalis bagi pengungkapan kembali narasi besar Besuki sebagai poros kekuasaan kolonial di ujung timur Jawa.

Disambut oleh Bupati Situbondo Yusuf Rio Wahyu Prayogo (Mas Rio) dan Camat Besuki Yakup Alek Susanto, rombongan tersebut menelusuri jejak arsitektur yang pernah menjadi saksi bisu pengendalian wilayah administratif “Tapal Kuda”—meliputi Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Banyuwangi.

Membaca Ulang Geopolitik Masa Lalu

Dalam diskursus yang cair namun berbobot, Camat Yakup Alek Susanto menguraikan posisi strategis Besuki di era Hindia Belanda. Tata kota Besuki tidak dirancang secara acak; ia adalah manifestasi dari konsep kekuasaan kolonial yang dipadukan dengan kearifan lokal. Pendapa berdiri sebagai simbol otoritas, sementara struktur pendukung lainnya diatur dengan presisi militer dan administratif.

“Kepada Ibu Trie Utami, kami paparkan bahwa gedung ini bukan sekadar kantor, melainkan jantung administrasi yang pernah mengatur denyut nadi ekonomi dan keamanan wilayah timur Jawa,” jelas Yakup dalam keterangannya, Minggu (14/12/2025).

Antusiasme Trie Utami memancing diskusi lebih jauh mengenai anatomi sejarah kota tua tersebut. Yakup mengungkapkan fakta ironis tentang situs-situs yang telah tergerus zaman. Sekitar 700 meter di selatan kompleks keresidenan, pernah terdapat penjara bawah tanah—sebuah instrumen kontrol sosial kolonial bagi para pembangkang.

“Penjara itu adalah bukti sejarah kelam namun vital. Tragisnya, kini hanya tersisa puing dan lahannya telah beralih fungsi menjadi permukiman. Sebuah kehilangan besar bagi memori kolektif kita,” ungkap Yakup dengan nada prihatin.

Erosi sejarah juga terjadi pada fasilitas logistik dan militer. Kandang kuda di gerbang timur (kini area SMK Negeri 1 Besuki) yang masih terlihat sisa-sisanya pada tahun 1996, kini telah lenyap tak berbekas. Begitu pula dengan memori maritim Besuki, di mana Sungai (Kali) Juma’in dahulu cukup dalam untuk dilayari kapal logistik hingga bersandar di dermaga (dak) samping Kantor Residen—sebuah bukti betapa majunya sistem transportasi air masa itu.

Revitalisasi: Menghidupkan Jiwa, Bukan Sekadar Raga

Menanggapi dinamika tersebut, Bupati Mas Rio menegaskan bahwa proyek revitalisasi Pendapa dan Kawedanan Besuki membawa misi ideologis. Proyek ini bukan sekadar beautifikasi fisik bangunan, melainkan sebuah upaya reclaiming narrative (pengambilan kembali narasi).

“Kami melakukan revitalisasi dengan mempertahankan orisinalitas untuk menghidupkan kembali ‘roh’ Besuki. Tujuannya agar masyarakat tidak hanya melihat tembok tua, tetapi memahami peran besar leluhur mereka dalam sejarah nusantara,” tegas Mas Rio.

Ketertarikan tokoh sekelas Trie Utami dinilai sebagai validasi bahwa warisan sejarah Besuki memiliki daya tarik magnetis yang melampaui batas wilayah. Trie Utami sendiri mengungkapkan kekagumannya, menyebut kompleks Kawedanan Besuki sebagai entitas yang menyimpan identitas dan memori kolektif yang wajib dijaga.

Pertemuan di Pendapa Besuki ini diharapkan menjadi titik balik. Bukan hanya untuk mengenang kejayaan masa lalu, tetapi untuk menyalakan kembali kesadaran generasi muda bahwa di tanah yang mereka pijak, pernah berdiri sebuah peradaban pemerintahan yang agung (wbs/dnv).

Exit mobile version