Dua film pendek dari Blitar, “Warisan Kakek” dan “Kembali(k)an,” berhasil menembus Indonesia Western Australia Film Festival (IWAFF) 2025. Ini menandai keberhasilan diplomasi budaya dan potensi ekonomi kreatif daerah di kancah internasional.
INDONESIAONLINE – Gemuruh tepuk tangan membahana di Luna on SX Cinema, Perth. Bukan untuk film blockbuster Hollywood, melainkan dua karya sederhana namun penuh makna dari jantung Jawa Timur: Kabupaten Blitar.
Film pendek “Warisan Kakek” dan “Kembali(k)an” telah sukses menembus kurasi ketat Indonesia Western Australia Film Festival (IWAFF) 2025, menandai sebuah lompatan signifikan bagi ekosistem kreatif daerah yang kini mampu menari di panggung global.
Festival yang berlangsung dari 27 September hingga 4 Oktober 2025 di Perth dan Fremantle, Australia Barat ini bukan sekadar ajang unjuk gigi sinema. Digagas oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Perth bersama Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, IWAFF 2025 menjadi puncak perayaan 35 tahun hubungan sister province Jawa Timur-Australia Barat. Sebuah platform vital untuk diplomasi budaya dan ekonomi kreatif yang semakin erat.
Konsul Jenderal RI di Perth, dalam pidato pembukaan di Emily Taylor Courtyard, Fremantle (27/9/2025), menegaskan bahwa film adalah “jembatan pertukaran nilai dan cerita lintas negara.” Pernyataannya terasa relevan ketika 33 film pendek dari Jawa Timur diputar, termasuk dua mutiara dari Blitar, karya sineas Betet Kunamsinam.
Dari Blitar ke Panggung Dunia: Kisah Betet Kunamsinam
Betet Kunamsinam, sutradara kelahiran Blitar, bukanlah nama baru di industri. Dengan rekam jejak sejak 2001, ia pernah menjajaki televisi nasional dan terlibat produksi layar lebar bersama nama besar seperti Rudi Soedjarwo.
Namun, narasi paling kuat justru lahir ketika pandemi memaksanya kembali ke akar. Dari Blitar, muncul inspirasi untuk menggarap film dengan pesan moral sederhana namun menggugah.
“Waktu itu sedang ramai program sosialisasi anti-gratifikasi dari pemerintah. Bersama teman-teman komunitas film di Blitar, kami terinspirasi mengangkat tema kejujuran,” kenang Betet.
“Kecamatan Kepanjenkidul memberi dukungan penuh, hingga akhirnya proses casting dan syuting berjalan.”
“Kembali(k)an” mengisahkan kejujuran seorang anak yang mengembalikan uang kembalian belanja kepada orang tuanya, sementara “Warisan Kakek” menyorot keteguhan abdi negara memegang prinsip integritas di tengah godaan.
“Kami tidak banyak bermain teknis sinematografi, tapi fokus pada kekuatan pesan moral,” tambah Betet, merangkum esensi karyanya.
Sebelum melenggang ke Australia, kedua film ini telah mengukir jejak di Festival Film Lampung. Keberanian Betet untuk mendaftarkan karyanya ke Perth berbuah manis.
“Saya prinsipnya sederhana: coba saja. Lengkapi berkas, kirim karya, biarkan film bertemu penontonnya,” ujarnya lugas. “Yang penting orang tahu Blitar punya komunitas film dan lokasi potensial untuk produksi.”
Diplomasi Sinema dan Potensi Ekonomi Kreatif
Respon positif tidak hanya datang dari penonton yang memadati Luna on SX Cinema hingga ludes tiket. Delegasi Jawa Timur juga sukses menjalin pertemuan strategis. Produser film terkemuka, Mrs. Megan Wynn, CEO Wynn Media, menyatakan kekagumannya dan membuka peluang kolaborasi di bidang budaya, pariwisata, dan isu sosial.
Megan bahkan berencana mengunjungi Jawa Timur, tertarik pada destinasi seperti Bromo, Ijen, dan Tumpak Sewu. Pertemuan dengan aktris sekaligus filantropis Elisabeth serta pengusaha kuliner David Wijaya juga mengukir potensi produksi film dan pengembangan gastro-tourism.
Tak hanya film, IWAFF 2025 juga menyuguhkan “Spice Stories,” diplomasi kuliner di restoran Emily Taylor, Fremantle. Menu khas Jawa Timur seperti rujak ikan, krengsengan daging sapi, dan tetel tape yang disajikan oleh Chef Dick Derian dari Surabaya mendapat sambutan meriah. Ini menunjukkan bagaimana festival multisektoral dapat mempertemukan film, pariwisata, dan kuliner dalam satu harmoni.
“Ini bukan sekadar prestasi perfilman, melainkan bentuk diplomasi budaya. Kabupaten Blitar punya banyak cerita, nilai, dan potensi pariwisata yang bisa dikemas melalui film,” tegas Eko Susanto, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blitar, Jumat (3/10/2025).
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah memandang film sebagai sektor vital untuk ekonomi kreatif dan promosi identitas lokal. “Ketika film kita diputar di Australia, itu artinya Kabupaten Blitar hadir di ruang global. Inilah bentuk nyata pembangunan berbasis budaya,” ujarnya.
Menurut data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sektor film, animasi, dan video memiliki kontribusi signifikan terhadap PDB ekonomi kreatif Indonesia, mencapai rata-rata pertumbuhan 6-7% per tahun dalam lima tahun terakhir, bahkan di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Keberhasilan Blitar di IWAFF 2025 semakin menguatkan potensi ini.
Bagi Betet, kesuksesan ini hanyalah permulaan. Ia berharap semangat ini menular. “Harapan saya, anak-anak muda jangan takut mencoba. Dengan komunitas dan kebersamaan, kita bisa memajukan perfilman lokal hingga dikenal dunia,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Blitar, melalui Disbudpar, berkomitmen penuh untuk terus mendukung lahirnya film-film lokal dengan tema membumi namun berdaya saing global. IWAFF 2025 telah membuktikan bahwa potensi lokal dari daerah seperti Blitar memiliki daya tarik universal, siap untuk mengisi panggung internasional.
“Film memberi pesan sederhana: kita punya nilai yang layak dibagikan ke dunia. Kabupaten Blitar sudah memulainya,” pungkas Eko Susanto.
Blitar kini tak hanya dikenal dengan candi dan makam proklamator, tetapi juga sebagai gudang cerita dan talenta sinema yang siap mengukir jejak di peta perfilman internasional (ar/dnv).