Beranda

Buru Bukti ke Saudi: KPK-BPK Telusuri Jejak Korupsi Kuota Haji 2024

Buru Bukti ke Saudi: KPK-BPK Telusuri Jejak Korupsi Kuota Haji 2024
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat menyampaikan terkait perkembangan dugaan korupsi kuota haji (Ist)

KPK dan BPK terbang ke Arab Saudi kumpulkan bukti korupsi haji 2024. Audit lapangan dan pemeriksaan eks Menag Yaqut ungkap manipulasi alasan kepadatan jemaah demi alibi pembagian kuota.

INDONESIAONLINE – Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut dugaan rasuah penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024 memasuki babak baru yang lebih agresif dan presisi.

Tidak cukup hanya memanggil saksi di dalam negeri, lembaga antirasuah ini menerbangkan tim penyidik langsung ke “tempat kejadian perkara” di Arab Saudi. Namun, kali ini mereka tidak sendirian. Dalam sebuah manuver strategis untuk menghitung kerugian negara secara akurat, KPK menggandeng auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kehadiran fisik penyidik dan auditor di Tanah Suci ini menandakan bahwa kasus dugaan korupsi pengalihan kuota haji bukan lagi sekadar dugaan administratif belaka, melainkan telah mengerucut pada pembuktian unsur pidana yang merugikan keuangan negara dan keadilan bagi jemaah.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (17/12/2025), mengonfirmasi misi lintas negara tersebut. “Jadi ketika tim berangkat ke Arab Saudi, penyidik juga beserta kawan-kawan auditor dari BPK,” ungkapnya.

Kolaborasi ini menjadi sinyal bahaya bagi para pihak yang terlibat, mengingat BPK memiliki otoritas final dalam menghitung nilai kerugian negara (PKN).

Menguji Alibi “Kepadatan” di Padang Arafah dan Mina

Fokus utama investigasi lapangan di Arab Saudi adalah memverifikasi alasan teknis yang selama ini dijadikan tameng oleh pejabat Kementerian Agama (Kemenag) periode 2024. Salah satu isu sentral dalam kasus ini adalah keputusan kontroversial pembagian kuota haji tambahan.

Sebagai konteks, pada penyelenggaraan haji 2024, Indonesia mendapatkan total kuota sebanyak 241.000 jemaah. Angka ini terdiri dari kuota dasar 221.000 dan kuota tambahan 20.000 hasil lobi diplomatik Presiden Joko Widodo saat itu kepada Raja Salman.

Namun, polemik meledak ketika Kemenag memutuskan membagi kuota tambahan tersebut dengan rasio 50:50 untuk haji reguler dan haji khusus. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengamanatkan prioritas mutlak bagi haji reguler yang antreannya mengular hingga puluhan tahun.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa timnya melakukan “uji petik” terhadap klaim kepadatan lokasi. Pihak Kemenag sebelumnya berdalih bahwa pengalihan kuota ke haji khusus dilakukan karena tenda jemaah reguler di Mina dan Arafah sudah terlalu padat (overcapacity), sehingga tidak mungkin menampung tambahan jemaah reguler secara penuh.

“Apakah pembagian kuota itu menyebabkan atau disebabkan karena terjadinya penumpukan di salah satu sektor tersebut? Nah, itu dilihat juga ke sana,” kata Asep.

Penyidik dan auditor melakukan rekonstruksi situasi di lapangan. Mereka mengukur kapasitas tenda, memeriksa fasilitas sanitasi, dan membandingkannya dengan data “maktab” (penyedia layanan) di Arab Saudi. Jika temuan lapangan menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada ruang, atau jika kepadatan tersebut justru hasil rekayasa alokasi tenda yang tidak proporsional, maka alasan Kemenag akan gugur dan indikasi kesengajaan untuk menguntungkan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK)—travel swasta—semakin kuat.

Jejak Digital dan Dokumen dari Kementerian Haji Saudi

Selain cek fisik, tim gabungan KPK-BPK juga berhasil mengamankan dua jenis alat bukti krusial: dokumen fisik dan Barang Bukti Elektronik (BBE). Asep Guntur mengungkapkan bahwa bukti-bukti ini diperoleh melalui koordinasi tingkat tinggi dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi serta perwakilan diplomatik Indonesia di Jeddah dan Riyadh.

“Karena di sana juga kan ada dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan haji tahun 2024. Ada temuan lain, ada BBE,” ujar Asep.

Barang bukti elektronik ini diprediksi berupa log sistem “e-Hajj” yang mencatat kapan kuota dimasukkan, siapa yang menyetujui perubahan alokasi, dan korespondensi digital antara otoritas Indonesia dan Saudi. Sistem e-Hajj yang transparan milik Arab Saudi seringkali menjadi “kotak hitam” yang tidak bisa dibohongi, berbeda dengan dokumen manual yang bisa dimanipulasi.

Data ini akan menunjukkan apakah pengalihan kuota 10.000 jemaah ke haji khusus memang disetujui secara prosedural atau merupakan manuver sepihak yang melanggar aturan.

Konfrontasi Data: 8,5 Jam Pemeriksaan Gus Yaqut

Seluruh temuan dari Arab Saudi tersebut langsung dijadikan amunisi oleh penyidik saat memeriksa mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, pada hari sebelumnya. Pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu dicecar selama kurang lebih 8,5 jam. Durasi pemeriksaan yang panjang mengindikasikan banyaknya materi yang harus dikonfirmasi.

“Tentu (bukti dari Saudi) ini masih dilakukan analisis atas pemeriksaan semalam,” tambah Budi Prasetyo.

Pemeriksaan ini krusial untuk menelusuri rantai komando (men rea). Apakah keputusan membagi rata kuota tambahan adalah kebijakan diskresi menteri, atau ada “pesanan” dari pihak-pihak tertentu yang mendapat keuntungan finansial dari setoran jemaah haji khusus yang nilainya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per orang?

Sebagai pembanding data, biaya haji reguler tahun 2024 berada di kisaran Rp56 juta (Bipih), sementara haji khusus/plus mematok harga mulai dari USD 8.000 hingga lebih dari USD 20.000 (sekitar Rp125 juta hingga Rp300 juta lebih). Selisih margin keuntungan yang besar dari 10.000 jemaah yang dialihkan adalah motif ekonomi yang sangat kuat yang sedang didalami KPK.

Tragedi Kemanusiaan di Balik Angka

Investigasi ini bukan sekadar urusan angka dan regulasi. Publik masih ingat jelas carut-marut pelaksanaan haji 2024 yang sempat memicu pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji di DPR RI. Saat itu, ribuan jemaah haji reguler Indonesia terlantar di Muzdalifah hingga siang hari di bawah terik matahari ekstrem, serta kondisi tenda di Mina yang menyerupai “kamp pengungsian” di mana jemaah harus tidur berdesakan bahkan di lorong-lorong tenda.

Temuan KPK di Arab Saudi diharapkan bisa menjawab pertanyaan besar: Apakah penderitaan jemaah haji reguler tersebut adalah akibat dari salah urus yang disengaja demi memprioritaskan “jualan” kuota kepada haji khusus?

Fakta bahwa KPK sampai harus membawa BPK terbang ke Arab Saudi menunjukkan keseriusan negara melihat adanya potensi kerugian keuangan negara yang masif. Dalam konstruksi hukum korupsi, jika kebijakan pengalihan kuota ini terbukti melanggar UU dan memperkaya korporasi (travel haji) serta merugikan jemaah reguler yang berhak, maka jerat pidana tak akan terelakkan.

Kini, bola panas ada di tangan penyidik KPK dan auditor BPK. Analisis forensik terhadap dokumen Saudi dan hasil pemeriksaan saksi kunci akan menentukan siapa tersangka yang harus bertanggung jawab atas dugaan komersialisasi rukun Islam kelima ini. Publik menanti, apakah “badai” dari gurun Saudi ini akan menyapu bersih praktik kotor dalam penyelenggaraan haji Indonesia.

Exit mobile version