Sastra  

Cerpen: NYALA

Cerpen: NYALA
Ilustrasi cerpen (istock)

(01) NYALA
-dd nana veno-

Jangan kau telepon aku tengah malam. Karena dering telepon tengah malam adalah tanda duka. Seperti aksara dalam telegram. Singkat dan padat, tetapi mampu membuncahkan galau seketika.

Dering telepon tengah malam adalah cemas yang pasti datang. Mengunjungi setiap yang lelap. Mengetuk jalan-jalan setapak para pejalan yang berusaha menghapus jejak pulang, yang belajar menjadi Malin Kundang. Mereka-reka gelombang, menjaring angin dan mematangkan rupa dalam seribu bahasa.

Lantas dengan lantang meneriakkan kemenangan manusia atas kenangan. Eureka…eureka…!!!.

Dering telepon di tengah malam, seperti derit pintu rumah yang gegas. Keduanya adalah suara serupa yang menghadirkan cekam. Membuat dirimu terdiam sejenak dengan kepala yang tercerabut lepas, dan akar-akar kenangan menyeruak, berlendir coklat darah.

Buahnya adalah sedu sedan yang tersekat di tenggorakan. Seperti bunyi ngorok sapi yang digorok. Tetapi, lupakanlah dering telepon tengah malam, karena pintu rumah lebih bertanda untukmu, bukan begitu?

Karena kau bukanlah pejalan yang memiliki ruang panjang dan lebar, saat pandang mata tak terhalang bentuk bangunan. Pintu rumah lebih memesona dibandingkan dering telepon tengah malam bagimu.

Bukankah itu jawaban terakhir dari mulutmu yang masih saja merah oleh resapan cahaya matahari, pada saat senja lindap di sepasang mata kelincimu. Dan, pertanyaanmu tentang pintu rumah masih saja sama seperti dulu, apa yang membuat pintu rumah begitu berbeda.

Sebelum aku membuka mulut pun sebenarnya kau sangat mengetahui jawaban yang akan aku berikan padamu, karena inilah jawaban abadi yang akan kuberikan atas setiap pertanyaan itu.

“Karena pintu berderit dan menghasilkan bunyi yang sendu,”.

“Kenapa berderit?” tanyamu lagi.

“Karena pintu mengawini engsel,”.

“Lantas di mana letak keistimewaannya? Bukankah telepon, genta, weker juga berdering? Kenapa tidak memesona. Kenapa derit pintu membuatku lugrug.”

Begitulah pertanyaan berdegung dari mulutmu, seperti kawanan lebah mencari nektar untuk disunting.
Kenapa bukan pertanyaan lain yang kau lahirkan Nyala ?

Nyala, aku memanggilnya.
Perempuan satu-satunya yang menyebut namaku dengan khas sampai saat ini, Ara.

Perempuan yang akan memberimu hujan tanya, saat jawab tentang daun pintu tak bisa membuat lesung di kedua pipinya tertampakkan. Membentuk segaris senyum yang sebenarnya kurindu dalam setiap persuaan.

Pertemuan yang tak bisa dihitung dan dirumuskan dalam hitungan waktu. Persuaan yang selalu seperti kebetulan, meski aku meyakini tidak ada peristiwa yang dirakit oleh faktor kebetulan. Bukankah semuanya telah terpola secara sempurna, meski dengan rupa peristiwa yang berbeda.

Ah, Nyala kenapa tidak kau tanyakan hal lain, mungkin tentang seperti ini. “Setelah kau lama menghilang, entah kemana, apakah kau kini telah menetap disebuah rumah dengan seorang istri dan anak-anak yang manis” atau “Sudah berapakah anakmu kini, Ara ?” Atau pertanyaan lain yang sangat kurindu, “Apakah kau rindu padaku Ara?”
(bersambung)