(02) Nyala
dd nana veno
Aku menatap matanya, dan diam. Mencoba untuk mengalihkan perhatian dari segala pertanyaan tentang pintu.
“Jawablah Ara, waktuku tinggal sepenggal. Matahari seusapan lagi berganti. Dan, usiaku hampir menyerupai senja, jawablah, sayang. Aku tidak ingin meninggalkan dunia ini dengan pertanyaan yang abadi. Dan, jawaban dari pertanyaan ini, aku rasa adalah kunci dari segala keberadaanku kini,” kamu terus meminta.
“Mungkin, karena derit pintu adalah suara duka, seperti dering telepon tengah malam. Mungkin, daun pintu adalah kenangan yang diabaikan…” Jawaban yang sama selama 30 tahun.
Seperti bahasa tubuhmu dalam mengucapkan, “aku senang bertemu dan berbicara denganmu, tetapi kurasakan bukan itu jawaban yang sesungguhnya…” mata kelincimu menatapku.
Seperkian menit. Dan, kami akan kembali berjalan, seperti persuaan-persuaan lain, dengan punggung saling berlawanan, saat warna senja dipulas bayangan gelap malam.
Nyala menuju pintu rumah yang selalu terbuka, dan aku melangkah menjauhi segala pintu yang ada. Tidak ada ciuman ringan di dahi, jabat tangan apalagi pelukan erat untuk meringankan rindu yang memuih di tubuh. Karena aku bukan lagi engsel yang memberi suara di daun pintunya.
Kini, aku hanya sekedar genta kecil di depan pintunya, yang berdering saat angin ingin bermain dengan suaraku.
Aku tahu, setiap persuaan, semakin membuatmu kecewa atas jawab yang tak pernah kau dapat. Tetapi itu lebih baik untukmu, Nyala. Lebih baik. Selalu suara yang tak terlahir itu yang berkecamuk dalam dadaku.
Dering telepon tengah malam merebut wajahmu yang bermain dalam anganku. Sederet nomor dan sebuah nama, lahir dari berhala kecil, menyita lamunanku.
‘Nyala…”
“Datanglah selekas yang kau bisa Ara. Ke kota kita!” Aku dengar nafasmu yang gegas. Begitu memburu.
“Ada apa?”
“Peristiwa tak bisa dicairkan lewat telepon. Datanglah !!”
“Tetapi ini tengah malam Nyala, dan kota yang kini kusinggahi sangat berjarak dengan kota kita. Tidakkah…..”
Aku dengar derit pintu yang gegas, sebelum Nyala mengubur dering teleponnya. Ada denyut tak berpola yang menghentak dadaku. Menggigilkan sekujur tubuh. Resah mengintipku dari ujung entah dan menjejalkan cemas berdegup-degup.
Ada duka yang sedang menunggu. Ada luka yang nyerinya harus dicucup selekasnya, sebelum barah menetap dan berbiak. Ada apakah di kota kita Nyala, sehingga kau harus menelpon di tengah malam (Bersambung)…