Sastra  

CERPEN: NYALA

CERPEN: NYALA
Ilustrasi cerpen (istock)

(03) Nyala

dd nana veno

Ara. Begitulah aku suka memanggilnya, entah sejak kapan dan mungkin tanpa alasan khusus. Lelaki bengal yang membuka kepalaku dengan pertanyaan atau mungkin pernyataan yang tak pernah kumengerti sampai kini.

“Aku ingin menjadi rajawali. Memotret semesta tanpa rikuh dengan segala aturan yang ada,”. Begitulah katanya suatu ketika.

Ara, lelaki bengal yang entah liat menetap dalam dada dan ingatanku. Serupa tanyanya. “Tahukah kau Nyala apa perbedaan dering telepon dengan derit pintu?” katamu lagi.

Aku hanya menggeleng dan memeluk tubuhnya.

Membenamkan segala tanya yang entah diciptakan apa dan siapa. Sungguh, didekatnya aku tidak ingin mendengar segala bunyi kata. Terlalu banyak yang terpendam di dalam kata-kata, dan saat kata terlahir menjadi suara, mereka meminta tirai yang menyelubunginya untuk segera dibuka.

Aku perempuan yang tidak suka mengotak-atik kata lewat bahasa. Berbeda dengannya yang begitu dahaga atas misteri kata-kata yang beranak suara. Semua yang menimbulkan suara; dari genta, weker, dering telepon, derit pintu dan lainnya, selalu menyita pikirannya.

Pernah dalam seloroh, saat kita tergolek dengan keringat yang masih hangat di tubuh, aku melemparkan tanya.

“Mana yang lebih kau cinta, aku atau kata-kata yang melahirkan suara?”

Ara hanya menatapku, dan memeluk tubuhku. Membenamkan pertanyaanku dalam uap hangat keringatnya. Aku kembali terhanyut. Hingga suatu ketika waktu menelannya dengan senyap yang meriuhkan hariku.

Konstelasi politik semakin memanas di republik ini. Partai-partai seperti amuba. Orang-orang turun ke jalan dengan bendera dan spanduk warna-warni. Mengidentifikasikan dirinya dengan lambang-lambang dan warna. Beda lambang, beda warna adalah seteru yang harus di lawan, dengan cara apapun.

Dan kau, lelaki yang kucinta, selalu melepaskan diri dari segala lambang dan warna yang ada. Katamu, “Nyala, istriku, segala lambang dan warna tidaklah abadi. Semua itu sekedar gejolak yang didominasi oleh emosi untuk kepentingan yang sesaat, kekuasaan. Suatu ketika, warna-warna itu akan hilang dan digantikan yang lain…”.

Tetapi kecintaanmu terhadap aksara telah menyeretmu dalam praduga yang menjelma dakwa dari orang-orang yang kini memiliki kekuasaan. Setelah terjadi pembantaian besar-besaran di pulau Jawa, sekitar tahun 1960-an, kau pun tidak luput dari pengejaran mereka. Hingga suatu ketika…..

Pada pagi yang murung, pintu rumah kita berderit-derit. Aku terbangun, tidak mendapatkan dirimu di sisiku, seperti biasanya. Aku beranjak dari kamar tidur, daun pintu rumah kita terbuka. Masih berderit, dipermainkan angin yang menusuk.

Kau, tidak ada di rumah. Hilang. Air mata tiba-tiba beranjak, menyusuri sepasang pipiku. Ah, apakah orang-orang itu telah membawamu? setelah tadi malam mereka terus menerus meneror kita dengan dering telepon yang penuh ancaman.

Apakah….?? aku terisak, kemudian meledaklah tangisanku. Tangisan terkeras yang aku tahu (BERSAMBUNG)