INDONESIAONLINE –  Mantan Wamenkumham  Denny Indrayana kembali bikin kehebohan. Setelah membeber soal informasi MK (Mahkamah Konstitusi)  akan memutuskan sistem proporsional tertutup atau coblos partai, kali ini Denny memunculkan kritik pedas terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Dia menyoroti Jokowi pernyataan soal “cawe-cawe pada Pilpres 2024.

Pria yang juga guru besar hukum tata negara dan kini berprofesi sebagai advokat itu menilai sebagai presiden, seharusnya Jokowi tidak berpihak dalam Pilpres 2024.

“Peran beliau (Jokowi) adalah wasit. Kompetisi harus dibiarkan berjalan adil buat semua kesebelasan. Tidak boleh wasit mendukung tim Prabowo-Pranowo, sambil berusaha mendiskualifikasi tim Anies Baswedan,” kata Denny Indrayana, dikutip dari Twitter-nya: @dennyindrayana.

Menurut Denny, presiden yang tidak netral, melanggar amanat konstitusi untuk menjaga pemilu yang jujur dan adil. Denny juga menilai cawe-cawe Jokowi itu juga berlaku saat membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko “mencopet” Partai Demokrat.

“Saya meminjam istilah “copet” dari Romahurmuziy PPP. Saya berpendapat, Jokowi seharusnya tidak membiarkan Partai Demokrat dikuyo-kuyo kepala stafnya sendiri. Tak bisa dikatakan Jokowi tidak tahu. Tak bisa dikatakan Jokowi tidak setuju. Kalau ada anak buah mencopet, presiden bukan hanya harus marah, tetapi wajar memecat Moeldoko,” ucapnya.

Baca Juga  Menpora Dito Menteri Termuda di Kabinet Jokowi, Ini Daftar Usia Para Menteri

“Jokowi tidak bisa mengatakan “pencopetan” partai sebagai hak politik Moeldoko. Mencopet partai yang sah adalah kejahatan. Apalagi ada informasi, konon PK Moeldoko sudah diatur siasat menangnya. Ada sobat advokat yang dihubungi para tersangka korupsi yang sedang ģ di KPK. Para terduga mafia kasus di MA tersebut mengatakan, mereka dijanjikan dibantu kasusnya dengan syarat, memenangkan PK Moeldoko di MA,” imbuh penjelasan Denny.

Denny juga menjelaskan saat podcast bersama Bambang Widjojanto dan Novel Baswedan mengatakan tidak ditahannya Sekretaris MA Hasbi Hasan adalah indikasi kuat adanya upaya pengaturan tukar guling perkaranya di KPK dengan pemenangan PK Moeldoko di MA.

“Secara teori, cawe-cawe Jokowi lewat tangan Moeldoko yang diduga mencopet Demokrat adalah kejahatan yang mestinya membuka pintu pemecatan presiden,” lanjut Denny.

Dia juga membandingkan kasus Indonesia dengan di Amerika Serikat. Menurut Denny, Presiden Richard Nixon harus mundur untuk menghindari proses impeachment karena skandal Watergate. Yaitu ketika kantor Partai Demokrat Amerika dibobol untuk memasang alat sadap di masa kampanye.

Baca Juga  Cak Thoriq : Kader PKB Tak Perlu Itung-Itungan Dalam Memberikan Bantuan Kepada NU

“Jokowi bukan hanya memasang alat sadap, tetapi melalui Moeldoko, berusaha “mencopet” Partai Demokrat. Bayangkan, demi menggagalkan pencalonan Anies Baswedan, Presiden Jokowi sampai tega membajak partainya Presiden ke-6 SBY,” ujar Denny.

“Rasa-rasanya, Ibu Megawati tidak mau partai politik didzalimi, sebagaimana di era Orde Baru PDI Mega dikuyo-kuyo PDI Soerjadi. Saatnya Petugas partai Jokowi dihentikan cawe-cawe yang melanggar konstitusi,” pungkas keterangan Denny Indrayana.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku harus cawe-cawe dalam Pilpres 2024 mendatang. Pernyataan itu disampaikan Jokowi di hadapan pemimpin redaksi dan konten kreatif di Istana Negara, pada Senin (29/5/2023).

Jokowi menyebut keputusan ikut campur dalam urusan pilpres tersebut dilakukan untuk negara dan bukan kepentingan praktis. Sebab  menurut mantan gubernur DKI dan wali kota Solo tersebut cawe-cawe penting dilakukan demi pentingnya kesinambungan pembangunan

Jokowi juga menilai aksi cawe-cawe politiknya merupakan hal yang sah-sah saja dilakukan, selagi tidak bertentangan dengan undang-undang. Lebih tegas, Jokowi menjelaskan  cawe-cawe yang dimaksud bertujuan untuk menjaga momentum 13 tahun tersebut demi kepentingan negara. (bn/hel)