INDONESIAONLINE – Suasana malam Minggu di Desa Jimbe, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, pada  5 Mei 2024 begitu kental dengan aroma sejarah yang kuno namun menyala. Udara dingin menyelinap di sepanjang tepi Sungai Lodagung. Sementara jalanan kecil dipenuhi dengan keramaian yang riuh dan ramai padat.

Di bawah sinar bulan, orang-orang berkumpul dengan penuh semangat untuk merayakan kunjungan besar: kedatangan Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit, ke desa mereka. Tidak hanya penduduk desa yang merayakan, tapi juga beberapa pedagang asongan yang tersenyum lebar.

Dagangan mereka laris manis malam itu, terutama kopi yang  menghangatkan tubuh di malam yang dingin. Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Sejarah menjadi tontonan rakyat yang juga mampu membangkitkan perekonomian kerakyatan.

Ketika sorotan malam mulai memudar, panggung yang disiapkan di tengah desa menjadi saksi bisu dari aksi yang akan mengguncang jiwa dan semangat. Dalam kesunyian yang hening, satu per satu penampil silih berganti mengisi panggung dengan ketegasan dan keberanian. Namun, puncak kegembiraan masih menanti.

Jaranan Turonggo Jati Desa Jimbe dengan semangat layaknya pasukan Bhayangkara Majapahit yang gagah berani, memenuhi panggung dengan langkah-langkah yang teguh dan gerakan yang menggetarkan hati. Mereka bukan sekadar penari, tetapi pahlawan yang membawa pesan-pesan kebesaran leluhur dalam setiap langkahnya.

Diiringi alunan musik gamelan, sebuah harmoni yang menciptakan gelombang emosi di antara kerumunan, para penampil jaranan tersebut memulai pertunjukan mereka. Dengan gerakan yang lincah dan penuh makna, mereka menampilkan tarian yang penuh semangat, mempersembahkan penghormatan yang luar biasa bagi raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk.

Dalam gemuruh tepuk tangan yang menggema, penonton dibawa dalam perjalanan yang melampaui batas waktu dan ruang. Mereka dihadapkan pada kisah kebesaran dan keagungan masa lalu, di mana para pahlawan meletakkan nyawa demi kehormatan, dan raja memimpin dengan bijaksana. Dalam pusaran emosi dan semangat yang menggemparkan, setiap penonton merasakan getaran kebesaran sejarah yang hidup di setiap gerakan jaranan yang megah.

Ya, di tengah riuh rendahnya perayaan budaya, Deaa Jimbe menggelar acara megah: Festival Desawarnana edisi kedua, Minggu (5/5/2024) malam. Acara ini tidak sekadar merayakan keberagaman budaya, tetapi juga untuk memperingati perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Blitar, sebuah episentrum sejarah yang dikenang oleh banyak orang.

Rahmanto Adi dari Sulud Sukma menjelaskan betapa pentingnya Festival Desawarnana #2 dalam memperingati perjalanan epik Raja Hayam Wuruk ke Blitar. Ia menegaskan, festival ini tak sekadar serangkaian acara biasa, tetapi sebuah momen budaya yang memuliakan dan merayakan warisan sejarah yang amat berharga bagi penduduk lokal.

“Dengan adanya festival ini, bukan hanya Desa Jimbe, tapi masyarakat di Blitar yang desanya pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk lebih mengetahui lagi jika desanya adalah desa bersejarah, pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit,” ungkap Rahmanto Adi.

Festival ini menjadi pembuka lembaran baru dalam sejarah lokal. Selain memperkuat kesadaran akan warisan sejarah, festival ini juga diharapkan jadi pendorong pembangunan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

“Dan motivasinya, masyarakat setempat akan termotivasi untuk menggerakkan desanya untuk bisa lebih maju lagi,” imbuh Rahmanto.

Festival Desawarnana #2 di Desa Jimbe kali ini bukan hanya sekadar pertunjukan budaya, tetapi juga perayaan nilai-nilai sejarah yang melekat dalam setiap gerak dan nada. Berbagai penampilan menarik unjuk kebolehan di acara ini, mulai dari pertunjukan jaranan Turonggo Jati Desa Jimbe yang melibatkan anak-anak hingga dewasa.

Baca Juga  Tunawisma di Amerika Serikat Ternyata Membludak, Usianya Masih Muda dan Produktif

Acara juga diramaikan oleh The Militia of Musical Factory, sebuah kelompok musik teatrikal yang menggabungkan elemen musik dan drama dalam penampilannya. Kidungwungu feat Jagad juga turut menyemarakkan festival dengan penampilan musik dan tari yang memukau.

Tak ketinggalan, komunitas sejarah Ngopsis ikut berkontribusi dengan cerita tentang perjalanan Hayam Wuruk ke Blitar. Dalam paparannya, mereka menggali kembali kisah-kisah epik yang terkait dengan kunjungan Raja Majapahit tersebut.

Tak kalah menarik adalah ketika Bapak Yuni, Bayan Desa Jimbe, menceritakan folklor yang ada di Desa Jimbe, diantaranya kisah Omyang Jimbe yang merupakan petilasan dari Mpu Supo, pembuat keris di zaman Kerajaan Majapahit. Lalu cerita tentang Sultan Kundur. Karena sudah lama, maka Sultan Kundur in oleh masyarakat lokal diplesetkan jadi Setan Kundur.

“Cerita rakyat bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah jendela ke dalam jiwa dan nilai-nilai yang membentuk identitas kita. Dengan merawat dan menyebarkan cerita-cerita nenek moyang, kita tidak hanya memperkokoh kebanggaan akan warisan budaya kita, tetapi juga menghidupkan kembali semangat untuk menjaga dan menghormati akar-akar budaya yang telah mengakar dalam jiwa masyarakat,” tegas Pak Yuni.

Setelah meraih kesuksesan gemilang di Desa Jimbe, Festival Desawarnana direncanakan menjadi agenda tahunan yang mengembara sepanjang jejak Hayam Wuruk di Blitar. Tahun depan, misalnya, acara tersebut diharapkan bisa diselenggarakan di Desa Penataran, yang terkenal dengan keberadaan Candi Penataran, serta Desa Sumberjati yang memiliki situs Candi Simping, tempat pendarmaan pendiri dan raja pertama Majapahit, Raden Wijaya. Kedua lokasi tersebut merupakan destinasi penting dalam perjalanan epik Hayam Wuruk ke Blitar.

“Kami berharap festival ini akan mengembara seiring dengan jejak perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Blitar. Mungkin tahun depan, kita dapat berkumpul di Desa Penataran, di mana setiap sudutnya mengisahkan kebesaran sejarah. Dengan festival ini, kami berharap dapat melibatkan penampil-penampil dari berbagai desa, termasuk Desa Jimbe, Desa Sawentar, Desa Bacem Lodoyo, Desa Serang, dan Desa Sumberjati, tempat di mana Hayam Wuruk pernah menginjakkan kakinya. Dengan demikian, kita tidak hanya merayakan warisan leluhur, tetapi juga menguatkan kebersamaan dan persatuan di antara masyarakat yang memiliki ikatan sejarah yang kuat,” tegas Rahmanto Adi.

Dengan penuh haru dan kebanggaan, Puguh Santosa, Juru Pelihara Kekunaan Jimbe dan Pemilik Kelompok Jaranan Turonggo Jati Desa Jimbe, menyampaikan isi hatinya. Ia berharap bahwa Festival Desawarnana dapat menghidupkan kembali semangat kebesaran masa lalu, sehingga warisan budaya yang berharga ini akan lebih dikenal dan dihargai oleh generasi muda negeri ini.

“Melalui Festival Desawarnana #2 ini, kami di Desa Jimbe dapat menghidupkan kembali semangat dan kebesaran masa lalu yang diwariskan oleh leluhur kami. Kami berharap bahwa peringatan ini akan terus membara dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang untuk menjaga dan menghargai warisan budaya dan sejarah bangsa kita,” pungkas Puguh.

Sejarah mencatat, setiap tahun, pada akhir musim dingin atau setelah panen, Raja Majapahit Hayam Wuruk (1350-1389), yang bergelar Sri Rajasanagara, memulai perjalanan keliling hingga ke luar ibu kotanya. Didampingi oleh rombongan setia, beliau berangkat menggunakan pedati yang ditarik sapi.

Sejarah perjalanan ini tercatat dengan rinci dalam Kitab Nagarakertagama karya Mpu Prapanca, pujangga yang ikut serta dalam ekspedisi tersebut. Perjalanan Hayam Wuruk memiliki tujuan yang sangat penting. Yakni untuk berkunjung ke daerah-daerah kekuasaan Majapahit pada masa itu, terutama di wilayah Jawa Timur.

Baca Juga  Inilah Negara yang Menciptakan Uang Kertas Pertama di Dunia hingga Sejarah Munculnya di Indonesia

Dalam catatan sejarah, tempat-tempat di Blitar menjadi sorotan utama dari kunjungan beliau. Di antaranya, Candi Palah (Candi Penataran), Candi Simping, Jimbe, dan Lwang Wentar (Candi Sawentar) menjadi destinasi yang tidak terlewatkan dalam perjalanan kebesaran Raja Hayam Wuruk.

Kitab Negarakertagama mencatat bahwa Raja Hayam Wuruk melakukan kunjungan ke wilayah Blitar sebanyak dua kali. Salah satunya terjadi pada tahun Saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, yang terdokumentasikan dalam kutipan pupuh 61 dari teks tersebut:

“Ndan ri çakha tri tanu rawi riɳ weçaka, çri natha muja mara ri palah sabhrtya, jambat siɳ ramya pinaraniran / lanlitya, ri lwaɳ wentar mmanuri balitar mwaɳ jimbe”.

Artinya: Tahun Saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja berangkat menyekar ke Palah dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita.

Kunjungan Hayam Wuruk ke Blitar pada masa itu lebih menitikberatkan pada aspek keagamaan, dengan tujuan utama untuk memuja leluhur dan menghormati dinasti Majapahit. Kegiatan kunjungan ini jelas termanifestasi dalam perjalanan ke tempat-tempat suci yang dipercaya sebagai tempat suci yang terkait dengan leluhur.

Tempat-tempat seperti Candi Palah (Candi Penataran), Jimbe, dan Lwang Wentar (Candi Sawentar) menjadi fokus utama dari kunjungan tersebut. Di Balitar sendiri, kunjungan dilakukan untuk mencari ketenangan spiritual.

Dari Blitar, Hayam Wuruk dan rombongan melanjutkan perjalanan ke selatan hingga mencapai Lodaya. Di sana, mereka menghabiskan beberapa hari untuk beristirahat sambil menikmati keindahan pemandangan pantai selatan yang menakjubkan.

Setelah kunjungan ke berbagai tempat suci dan penting di Blitar, Hayam Wuruk dan rombongan terakhirnya mencapai Candi Simping. Di sana, sang raja memiliki tujuan yang mulia: memperbaiki candi makam leluhurnya, Rade Wijaya sang pendiri Kerajaan Majapahit. Ketika melihat kondisi Candi Simping yang agak miring ke barat, beliau segera memerintahkan pasukannya untuk menegakkan kembali menaranya ke arah timur.

Proses perbaikan tidak dilakukan sembarangan. Hayam Wuruk memastikan bahwa perbaikan tersebut sesuai dengan bunyi prasasti yang dibaca kembali. Panjang dan lebar candi diukur dengan teliti, sementara di sebelah timur sudah dipersiapkan sebuah tugu sebagai penanda. Selain itu, tanah dari gurung-gurung di sekitar dipergunakan sebagai denah untuk candi makam leluhurnya.

Tidak hanya sekali, Hayam Wuruk kembali mengunjungi Candi Simping pada tahun Saka angin delapan utama (1285), untuk tujuan pemindahan makam kakeknya. Segala persiapan dan persajian dilakukan sesuai dengan adat, dengan upacara yang dipimpin oleh Rajaparakrama. Hal ini mencerminkan komitmen Hayam Wuruk dalam memelihara dan menghormati warisan leluhur serta tradisi Majapahit.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Candi Simping, Hayam Wuruk segera menuju pura untuk beristirahat. Namun, kegembiraannya terganggu oleh kabar bahwa Adimenteri Gajah Mada sedang sakit. Raja Hayam Wuruk sangat terpukul mendengar hal tersebut, karena Gajah Mada telah memberikan segala tenaganya untuk kemajuan Jawa, Bali, dan Kota Sadeng dalam memerangi musuh-musuh Majapahit.

Penggalan kisah ini adalah bagian dari perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Blitar yang tercatat dalam Kitab Negarakertagama. Selain itu, para pakar sejarah meyakini bahwa Hayam Wuruk sering melakukan kunjungan ke Blitar karena wilayah tersebut dipercaya sebagai tanah suci kaum Brahmana yang telah disucikan oleh para pendahulu Majapahit. Hal ini menunjukkan kedalaman makna kunjungan raja dalam memelihara tradisi dan nilai-nilai keagamaan serta kebudayaan. (ar/hel)