Di Balik Langit Gaza: Artivisme Panggung TIM Suarakan Genosida

Di Balik Langit Gaza: Artivisme Panggung TIM Suarakan Genosida
Pementasan teater Di Balik Langit Gaza di TIM guncang emosi penonton. Bella Fawzi dkk suarakan duka 2 tahun genosida Palestina lewat seni peran yang menyentuh (ist)

Pementasan teater Di Balik Langit Gaza di TIM guncang emosi penonton. Bella Fawzi dkk suarakan duka 2 tahun genosida Palestina lewat seni peran yang menyentuh.

INDONESIAONLINE – Lampu Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, perlahan meredup pada Minggu (28/12/2025). Namun, kegelapan itu bukan sekadar penanda dimulainya pertunjukan, melainkan sebuah gerbang yang membawa ribuan penonton Jakarta masuk ke dalam lorong kelam kenyataan yang terjadi ribuan kilometer jauhnya.

Di atas panggung megah itu, reruntuhan beton, debu, dan jerit tangis bukan lagi sekadar properti, melainkan representasi artistik dari sebuah tragedi kemanusiaan yang telah berlangsung lebih dari dua tahun: Genosida di Gaza.

Adara Relief International bersama sutradara visioner Adipatilawe menghadirkan pementasan teater bertajuk Di Balik Langit Gaza. Bukan sekadar tontonan akhir pekan, pementasan ini adalah manifestasi dari “artivisme”—perpaduan seni dan aktivisme—untuk menjaga nyala api solidaritas Indonesia terhadap Palestina yang tak boleh padam.

Ketika Aktor Menjadi Penyambung Lidah yang Bungkam

Suasana hening pecah ketika para aktor mulai mengambil peran. Deretan nama besar seperti David Chalik, Robert Chaniago, Cholidi Asadil Alam, hingga Bella Fawzi tidak sedang berakting dalam artian konvensional. Mereka sedang bersaksi.

Sorotan utama tertuju pada karakter Yumna, seorang dokter di jalur Gaza yang diperankan dengan intensitas emosional tinggi oleh Bella Fawzi. Karakter Yumna adalah representasi dari ribuan tenaga medis yang menjadi garda terakhir pertahanan hidup di Gaza.

Dalam balutan jas putih yang lusuh dan noda darah buatan, Bella menghidupkan dilema moral dan kelelahan mental yang dihadapi para dokter di zona perang.

“Kalau kita ingin melihat sebaik-baiknya kualitas manusia, lihatlah ketahanan rakyat Gaza. Apa yang kita tampilkan saat ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang mereka alami, yang jauh lebih parah. Lewat teater ini, saya ingin mewakili suara mereka yang dibungkam,” ungkap Bella Fawzi dengan mata berkaca-kaca usai pementasan.

Peran Yumna mengingatkan publik pada realitas pahit di lapangan. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Palestina, hingga akhir tahun 2025, sistem kesehatan di Gaza telah lumpuh total.

Ratusan tenaga medis tewas, dan rumah sakit yang tersisa beroperasi tanpa anestesi, listrik, maupun pasokan obat-obatan yang memadai. Bella Fawzi berhasil mentransfer rasa putus asa sekaligus keteguhan hati para medis tersebut ke hadapan publik Jakarta.

Panggung Teater sebagai Medan Perlawanan

Sutradara Adipatilawe tidak ingin Di Balik Langit Gaza hanya menjadi “pornografi kemiskinan” atau eksploitasi kesedihan semata. Ia meramu naskah dan tata panggung menjadi sebuah pesan perlawanan. Pendekatan emosional yang diusung bertujuan untuk menembus kebasnya hati masyarakat dunia yang mungkin mulai lelah dengan berita perang.

“Ini bagian dari langkah kecil kami untuk mendukung dan berupaya sekeras apa pun demi pembebasan saudara-saudara kita yang ada di Gaza,” tegas Adipatilawe.

Bagi sang sutradara, seni memiliki daya tembus yang tidak dimiliki oleh laporan berita statistik. Seni berbicara kepada jiwa. “Semoga Gaza segera bebas, segera merdeka,” tambahnya.

Visualisasi kehidupan sehari-hari warga Gaza di tengah gempuran bom ditampilkan secara metaforis namun menohok. Adegan-adegan yang menampilkan rutinitas bertahan hidup—mencari air bersih, berbagi sepotong roti, hingga belajar di tengah reruntuhan—menegaskan pesan bahwa eksistensi rakyat Palestina itu sendiri adalah bentuk perlawanan (sumud).

Konteks Kemanusiaan: Dua Tahun Genosida

Pementasan ini menjadi sangat relevan mengingat konteks waktu saat digelar. Desember 2025 menandai lebih dari dua tahun agresi militer yang tak berkesudahan sejak Oktober 2023. Direktur Utama Adara Relief International, Maryam Rachmayani, menyoroti aspek ketahanan mental bangsa Palestina yang menjadi tema sentral acara ini.

“Sudah lebih dari dua tahun genosida melanda Gaza. Namun di tengah krisis kemanusiaan yang begitu berat, penjajahan, dan upaya penghapusan identitas yang terus berlangsung, kita melihat sebuah keajaiban moral bangsa Palestina tetap teguh, tetap bertahan, dan tetap mencintai tanah airnya,” tutur Maryam.

Data-data relevan memperkuat urgensi pesan Maryam. Laporan lembaga internasional seperti UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) mencatat bahwa hingga 2025, hampir seluruh populasi Gaza (sekitar 2,3 juta jiwa) telah menjadi pengungsi internal berulang kali. Infrastruktur sipil hancur hingga lebih dari 70 persen, termasuk sekolah, tempat ibadah, dan perumahan.

Lebih mengerikan lagi adalah dampak psikologis, terutama pada anak-anak. UNICEF sebelumnya telah melabeli Gaza sebagai “tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak”. Istilah medis baru seperti WCNSF (Wounded Child No Surviving Family) menjadi hal lumrah. Pementasan Di Balik Langit Gaza mencoba memotret sisi humanis ini—bahwa di balik angka statistik ribuan korban jiwa, ada cerita, mimpi, dan keluarga yang hancur.

Palestina Festival 2025: Merawat Ingatan

Teater ini merupakan puncak dari rangkaian Palestina Festival 2025 yang mengusung tema besar Never-Ending Resilience for Humanity. Selain pementasan drama, festival ini juga menghadirkan pameran foto dan bazar amal.

Langkah Adara Relief International mengemas isu kemanusiaan melalui pendekatan budaya pop dan seni pertunjukan dinilai sebagai strategi cerdas untuk menjangkau demografi yang lebih luas, khususnya anak muda. Generasi Z dan Milenial, yang dikenal vokal di media sosial, membutuhkan medium fisik untuk menyalurkan empati mereka secara nyata.

Pameran yang digelar di selasar TIM menampilkan foto-foto jurnalistik yang merekam evolusi kehancuran sekaligus harapan di Gaza. Sementara bazar amal menjadi wadah konkret bagi penonton yang ingin berkontribusi secara finansial, di mana seluruh keuntungan didedikasikan untuk bantuan musim dingin dan pangan bagi pengungsi Palestina.

Minggu malam itu di Cikini, Di Balik Langit Gaza bukan sekadar hiburan. Ia menjadi cermin retak bagi kemanusiaan global. Ketika layar panggung ditutup dan para aktor membungkuk hormat, tepuk tangan gemuruh penonton bukan hanya apresiasi terhadap seni peran, melainkan sinyal persetujuan kolektif: bahwa melupakan Gaza adalah sebuah pengkhianatan terhadap nurani.

Di tengah hiruk pikuk persiapan perayaan Tahun Baru 2026, teater ini berhasil menarik jeda sejenak bagi warga Jakarta untuk merenung. Bahwa di balik langit yang sama yang menaungi Jakarta, ada langit lain di Gaza yang masih tertutup asap mesiu, menunggu dunia untuk tidak sekadar menonton, tetapi bergerak.