Di Bawah Roda Besi, Di Atas Palu Keadilan

Di Bawah Roda Besi, Di Atas Palu Keadilan
Saat mobil Brimob tabrak dan lindas Affan Kurniawan seroang driver ojol, Kamis (28/8/2025) malam (Ist)

Menelisik babak baru tragedi Affan Kurniawan, driver ojol yang dilindas rantis Brimob. Tujuh anggota dihadapkan pada sidang etik, dua di antaranya terancam pecat. Sebuah cerita tentang pertaruhan kehormatan institusi di atas aspal yang berdarah.

INDONESIAONLINE – Nama Affan Kurniawan kini lebih dari sekadar identitas. Ia telah menjadi epitaf, sebuah pengingat getir yang tergores di aspal Jakarta; tentang rapuhnya nyawa di hadapan arogansi roda-roda besi. Tragedi yang menimpanya, seorang pengemudi ojek online yang jasadnya bertemu baja kendaraan taktis (rantis) Brimob, kini menggeliat dari ruang duka menuju ruang sidang. Sebuah babak baru yang dingin dan prosedural, namun menentukan harga sebuah keadilan.

Panggung itu kini disiapkan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Setelah riuh amarah publik mereda menjadi desah penantian, tirai penyelidikan internal akhirnya dibuka. Senin (1/9/2025), di bawah sorot lampu Mabes Polri yang terasa menusuk, Brigjen Agus Wijayanto, Karowabprof Divpropam, membacakan daftar nama-nama itu. Tujuh seragam, tujuh insan, yang kini nasibnya dipertaruhkan di meja sidang etik.

“Institusi harus bertanggung jawab,” ujar Brigjen Agus dengan nada tegas, seolah mencoba menambal retak kepercayaan publik dengan janji ketegasan.

Dari tujuh nama tersebut, sorotan utama tertuju pada dua sosok yang dianggap sebagai episentrum tragedi. Mereka adalah para pelanggar kategori berat, arsitek dari kelalaian fatal yang merenggut nyawa Affan.

Pertama, Bripka Rohmat, sang pengemudi rantis. Tangannya yang memegang kemudi hari itu kini terikat oleh ancaman sanksi terberat: Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH).

Ia tak sendiri. Di sampingnya, dalam kategori yang sama, ada Kompol Kosmas K Gae, perwira yang duduk di sebelah sopir, yang perannya dianggap krusial dalam pengambilan keputusan sesaat sebelum insiden maut itu terjadi.

Palu etik untuk mereka akan diketuk dalam dua hari yang berurutan: Kompol Kosmas pada Rabu disusul Bripka Rohmat pada hari berikutnya. Dua hari yang akan menentukan apakah seragam yang mereka kenakan akan dilepas selamanya.

Namun, tragedi ini bukanlah drama dua babak yang hanya dimainkan oleh dua aktor utama. Ada lima nama lain yang menjadi bagian dari “paduan suara” kelalaian ini.

Mereka—Aipda M. Rohyani, Briptu Danag, Briptu Mardin, Baraka Jana Edi, dan Baraka Yohanes David—diklasifikasikan sebagai pelanggar sedang. Hukuman mereka mungkin tak sefatal PTDH, namun tetap menjadi noda dalam karier: penempatan khusus (patsus) yang mengisolasi, mutasi demosi yang memalukan, hingga penundaan pangkat dan pendidikan yang membekukan masa depan.

Menurut Dr. Reza Gunawan, Sosiolog Kriminal dari Universitas Nasional (UNAS), seorang pengamat kepolisian, kasus ini adalah ujian lakmus bagi reformasi Polri.

“Ini bukan sekadar menghukum individu, tapi membongkar kultur,” ujar Dr. Reza.

“Seringkali, di dalam kendaraan taktis seperti itu, ada psikologi ‘super-ego’ kolektif. Mereka merasa superior dan kebal hukum. Sanksi untuk lima pelanggar sedang ini sama pentingnya. Ini mengirim pesan bahwa diam dan membiarkan kesalahan terjadi juga merupakan sebuah pelanggaran. Ini tentang memutus rantai impunitas,” terangnya.

Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, terdapat setidaknya 27 laporan kasus kekerasan atau arogansi aparat di jalan raya yang melibatkan warga sipil, namun kurang dari 30% yang berujung pada sanksi tegas.

Kasus Affan, dengan sorotan media yang masif, menjadi momentum langka untuk menuntut standar akuntabilitas yang lebih tinggi.

Kini, ruang sidang etik itu menunggu. Di sana, nasib tujuh anggota Brimob akan diputuskan. Namun, di luar tembok-tembok itu, jutaan pasang mata rakyat menunggu jawaban atas pertanyaan yang lebih besar: Apakah ini sekadar pembersihan internal untuk meredam amarah, atau sebuah langkah tulus untuk memastikan tak ada lagi Affan Kurniawan lain yang nasibnya berakhir di bawah roda besi atas nama negara?

Jawabannya akan terukir, bukan hanya dalam vonis, tetapi dalam perubahan nyata di jalanan nanti (bn/dnv).