Dicopot Gerindra, Ironi Bupati Mirwan Umrah Saat Aceh Selatan Darurat

Dicopot Gerindra, Ironi Bupati Mirwan Umrah Saat Aceh Selatan Darurat
Mirwan MS Bupati Aceh Selatan bersama istri saat di Tanah Suci (Ist)

Analisis mendalam pencopotan Mirwan MS dari Ketua DPC Gerindra usai nekat umrah saat banjir Aceh Selatan. Soroti etika pemimpin di tengah bencana dan ketidakpatuhan birokrasi.

INDONESIAONLINE – Di saat lumpur sisa banjir bandang masih merendam pemukiman warga di kawasan Trumon Raya, sebuah keputusan politik tegas diketok di Jakarta. Partai Gerindra resmi memberhentikan Mirwan MS dari jabatannya sebagai Ketua DPC Gerindra Aceh Selatan, Jumat (5/12/2025) kemarin.

Keputusan ini bukan sekadar sanksi administratif partai, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan publik terhadap etika kepemimpinan. Mirwan, yang juga menjabat sebagai Bupati Aceh Selatan, menjadi sorotan tajam karena memilih terbang ke Tanah Suci untuk ibadah umrah, meninggalkan 11 kecamatan di wilayahnya yang sedang berjibaku dengan status tanggap darurat bencana.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Sugiono, menegaskan bahwa langkah ini diambil setelah DPP menerima laporan komprehensif. “Sangat disayangkan sikap dan kepemimpinan yang bersangkutan. DPP Gerindra memutuskan untuk memberhentikan yang bersangkutan,” tegas Sugiono.

Paradoks “Surat Ketidaksanggupan”

Langkah Mirwan meninggalkan daerahnya menyimpan ironi mendalam. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa hanya lima hari sebelum keberangkatannya, tepatnya Kamis (27/11), Mirwan menandatangani surat bernomor 360/1315/2025.

Surat tersebut berisi pernyataan resmi “ketidaksanggupan” pemerintah daerah dalam menangani darurat banjir dan longsor menggunakan APBD setempat, sehingga meminta intervensi pusat.

Dalam perspektif manajemen krisis, penerbitan surat semacam ini mengindikasikan bahwa daerah sedang dalam kondisi “kolaps” atau overwhelmed. Namun, pada Selasa (2/12), sang bupati justru bertolak ke Mekah bersama keluarga.

Pengamat kebijakan publik menilai tindakan ini sebagai anomali etika. Ketika seorang pemimpin menyatakan “menyerah” secara administratif, kehadiran fisiknya justru menjadi krusial untuk koordinasi lapangan dan penguatan moral korban, bukan sebaliknya.

Realita Lapangan: Trumon Masih Menangis

Klaim Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Aceh Selatan, Denny Saputra, yang menyebut situasi wilayah “sudah stabil” dan “air sudah surut” di Bakongan dan Trumon Raya, bertolak belakang dengan kondisi psikososial masyarakat.

Berdasarkan data kebencanaan historis dan laporan lapangan di wilayah Trumon (terutama Trumon Tengah dan Ladang Rimba), banjir bandang seringkali meninggalkan endapan lumpur setinggi 1 hingga 2 meter yang membutuhkan waktu penanganan berminggu-minggu.

Pada saat keberangkatan Bupati, ribuan warga di 11 kecamatan terdampak—termasuk di titik terparah Trumon—masih bertahan di tenda pengungsian dengan keterbatasan air bersih dan sanitasi.

Risiko penyakit pascabanjir seperti ISPA dan penyakit kulit lazimnya meningkat drastis pada minggu kedua pascabencana, momen di mana kehadiran pemimpin daerah sangat dibutuhkan untuk mobilisasi dinas kesehatan.

Insubordinasi Birokrasi

Kasus ini juga menyingkap tabir ketidakpatuhan dalam tata kelola pemerintahan. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), secara tegas telah menolak permohonan izin luar negeri Mirwan pada 24 November 2025.

“Gubernur telah menyampaikan balasan tertulis bahwa permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan atau ditolak,” ujar Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA.

Penolakan Mualem didasarkan pada data BMKG yang memprediksi puncak musim hujan dan potensi bencana hidrometeorologi basah di pantai barat-selatan Aceh. Nekatnya Mirwan berangkat tanpa izin atasan (Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah) dapat dikategorikan sebagai insubordinasi yang melanggar UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait kewajiban kepala daerah menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan.

Sanksi teguran yang disiapkan Gubernur Aceh menjadi konsekuensi logis, namun sanksi politik dari Gerindra yang lebih dulu jatuh membuktikan bahwa partai besutan Prabowo Subianto ini tidak ingin citranya tergerus oleh blunder kadernya di daerah.

Kini, Mirwan MS tak hanya kehilangan jabatan strategis di partai, namun juga menghadapi krisis kepercayaan dari rakyat yang ia tinggalkan saat air bah menerjang. Sebuah pelajaran mahal bahwa dalam bencana, empati pemimpin adalah mata uang yang paling berharga.