Beranda

Dilema Aturan Pusat Ganjal Niat Baik Situbondo, Ratusan Non-ASN Terpaksa Dirumahkan

Dilema Aturan Pusat Ganjal Niat Baik Situbondo, Ratusan Non-ASN Terpaksa Dirumahkan
Ilustrasi Non ASN Situbondo yang akan dirumahkan (Ist)

INDONESIAONLINE – Asa ratusan pegawai non-aparatur sipil negara (Non-ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Situbondo untuk terus berkarya dan merasakan peningkatan kesejahteraan mendadak kandas. Bupati Situbondo Yusuf Rio Wahyu Prayogo (Mas Rio) dengan berat hati mengumumkan bahwa sekitar 600 tenaga Non-ASN, termasuk guru dan staf teknis, harus dirumahkan akibat terbentur regulasi dari pemerintah pusat.

Keputusan pahit ini, dijelaskan Mas Rio, merujuk pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) RI Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 yang mengatur secara ketat status kepegawaian di instansi pemerintah. Regulasi ini, meski dimaksudkan untuk penataan, justru menciptakan dilema di tingkat daerah seperti Situbondo.

“Dengan berat hati, kami sudah berjuang hingga ke Menpan-RB Jakarta, ke BKN Provinsi untuk mempertahankan,” ungkap Mas Rio, Senin (28/4/2025).

Perjuangan ini, katanya, didasari laporan banyaknya tenaga teknis yang masih sangat dibutuhkan, serta kekhawatiran akan meluasnya angka pengangguran terbuka di Situbondo.

Bupati Mas Rio bahkan mengungkapkan fakta yang cukup mengiris hati: anggaran untuk menggaji dan mempertahankan para Non-ASN tersebut sebenarnya telah disiapkan. Namun, keberanian untuk tetap membayarkan gaji mereka berhadapan langsung dengan potensi temuan serius dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) jika melanggar aturan pusat.

“Akan jadi temuan BPK jika tetap dibayarkan, maka aturan itu tetap kita ikuti berat hati,” jelasnya.

Ia pun menyampaikan permintaan maaf mendalam kepada seluruh Non-ASN yang terdampak, mengakui bahwa perjuangan pemerintah daerah untuk mempertahankan mereka belum berhasil. Anggaran yang sedianya dialokasikan untuk mereka, kini terpaksa dialihkan ke sektor-sektor prioritas lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

Secara spesifik, Mas Rio merinci bahwa lebih dari 300 guru Non-ASN dan sekitar 200 lebih tenaga teknis menjadi korban kebijakan ini. Alasan utama mereka tidak bisa dipertahankan adalah karena masa kerja mereka kurang dari dua tahun, kriteria yang tampaknya menjadi batu sandungan dalam ketentuan Kemenpan-RB. “Non ASN di bawah dua tahun, sehingga mereka harus dilepaskan atau dirumahkan,” tegasnya.

Meski dihadapkan pada situasi sulit ini, pemerintah daerah tidak sepenuhnya menutup mata. Surat edaran Menpan-RB juga membuka celah solusi melalui mekanisme outsourcing atau tenaga alih daya, meskipun terbatas pada posisi-posisi non-inti seperti pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan. Posisi-posisi ini dapat diisi melalui pihak ketiga, dan status mereka tidak lagi sebagai tenaga honorer pemerintah.

Selain opsi outsourcing, Pemkab Situbondo juga menyatakan kesiapannya untuk membantu para Non-ASN yang terpaksa dirumahkan. Bagi mereka yang berminat, pemerintah daerah siap memberikan dukungan untuk memulai atau mengembangkan usaha mandiri.

“Yang mau daftar outsourcing kami persilakan,” imbuh Mas Rio, menawarkan salah satu jalur yang masih tersedia.

Kisah ratusan Non-ASN di Situbondo ini menjadi potret nyata bagaimana kebijakan berskala nasional, meski dengan niat penataan, dapat menciptakan dampak dan dilema yang kompleks di tingkat lokal, memaksa pemerintah daerah mengambil keputusan sulit yang berimbas langsung pada mata pencaharian warganya (wbs/dnv).

Exit mobile version