INDONESIAONLINE – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Blitar memutuskan untuk menunda gelaran spektakuler drama kolosal pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Kota Blitar.

Drama kolosol ini diketahui dijadwalkan setiap 14 Februari setiap tahunnya. Di mana di tanggal itu di 2024 juga diketahui berbarengan dengan jadwal Pemilu 2024.

“Kami ingin memberi kesempatan masyarakat untuk terlibat sepenuhnya dalam pesta demokrasi sebelum menghadiri drama kolosal PETA,” ucap Kepala Disbudpar Kota Blitar Edy Wasono, Senin (5/2/2024).

Meski ada penundaan, persiapan untuk pagelaran drama kolosal PETA tetap berlanjut. Berbagai elemen masyarakat, termasuk seniman, budayawan, dan ratusan siswa, telah dilibatkan dalam persiapan untuk penampilan dramatis ini.

“Persiapan masih berlangsung intensif. Latihan telah dilakukan dengan matang oleh sejumlah seniman, budayawan, dan siswa yang terlibat. Lokasi latihan kami pusatkan di area Istana Gebang dan Monumen PETA,” jelas Edy.

Drama kolosal PETA ini diadakan sebagai upaya Pemerintah Kota Blitar untuk mengenang kembali perjuangan Supriyadi dalam pemberontakan Pembela Tanah Air. Menjadi agenda tahunan, dramatisasi ini bertujuan untuk mengangkat dan memperkenalkan sejarah pahlawan asal Blitar kepada masyarakat.

Baca Juga  Pilkades Antar Waktu Desa Sambirobyong Berjalan Lancar, Panitia Pastikan Tidak Berpotensi Sengketa Hasil

“Tema besarnya tetap mengangkat perjuangan Supriyadi dan PETA, tapi kami akan kemas lebih segar dan menarik sambil tetap memberikan nilai-nilai pendidikan. Setelah Pemilu, ini juga diharapkan dapat menjadi hiburan sejarah bagi masyarakat,” tutup Edy.

Pemberontakan PETA

14 Februari 1945, di tengah Perang Dunia II, terjadi peristiwa pemberontakan yang mengguncang Blitar, Jawa Timur, yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi, seorang komandan dalam batalion Pembela Tanah Air (PETA).

Pemberontakan ini melibatkan pasukan PETA yang memberontak terhadap kekuasaan tentara Jepang yang menduduki wilayah tersebut.

Supriyadi, merasa prihatin terhadap nasib rakyat Indonesia yang hidup dalam penderitaan di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang, memutuskan untuk mengambil tindakan.

Kebijakan brutal Kekaisaran Jepang, seperti kerja paksa (romusha), perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial terhadap rakyat pribumi serta tentara PETA, menjadi pemicu utama pemberontakan ini.

Baca Juga  Mahfud MD Buka Dialog di Media Sosial, Bahas Penyelesaian Polemik Pemilu 2024

Dalam pemberontakan tersebut, pasukan PETA berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan berhasil melarikan diri dengan membawa berbagai perlengkapan dan logistik militer, termasuk senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99.

Meskipun demikian, struktur komando Jepang yang masih terpusat mencegah pemberontakan menyebar ke seluruh wilayah.

Selanjutnya, Tentara Jepang mengambil tindakan keras dengan mengirim pasukan PETA yang masih loyal untuk memburu Supriyadi dan pengikutnya.

Setelah kejadian tersebut, anggota PETA yang tertangkap diadili di Jakarta, pusat komando pemerintahan pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia.

Dari 68 anggota PETA yang memberontak, 8 di antaranya dihukum mati, 2 dibebaskan, sementara nasib Supriyadi sendiri hingga kini masih menjadi misteri.

Banyak spekulasi mengenai keberadaan Supriyadi, termasuk kabar bahwa ia ditangkap dan dibunuh, melarikan diri ke Trenggalek, atau bahkan tewas dalam pertempuran tersebut. Namun, hingga saat ini, keberadaan pasti Soeprijadi tetap menjadi teka-teki yang belum terpecahkan.