Beranda

Dualisme PB XIV: Tedjowulan Desak Hibah Keraton Wajib Lewat Bebadan

Dualisme PB XIV: Tedjowulan Desak Hibah Keraton Wajib Lewat Bebadan
Ilustrasi Dualisme kepemimpinan di Keraton Surakarta (io)

Konflik suksesi Pakubuwono XIV memanas. Maha Menteri Tedjowulan mendesak dana hibah pemerintah tidak lagi diterima personal Raja, melainkan via Bebadan demi akuntabilitas di tengah ancaman pembekuan APBD.

INDONESIAONLINE – Awan mendung kembali menggelayut di langit Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bukan sekadar soal siapa yang berhak duduk di dampar kencana sebagai Pakubuwono (PB) XIV, melainkan merembet pada tata kelola keuangan institusi budaya tertua di Jawa Tengah tersebut.

Di tengah dualisme kepemimpinan yang memanas pasca-wafatnya Pakubuwono XIII, sebuah seruan keras datang dari Maha Menteri KG Panembahan Agung Tedjowulan. Melalui juru bicaranya, KP Pakoenegoro, Tedjowulan menegaskan bahwa era pengelolaan dana hibah pemerintah secara “one-man show” harus diakhiri.

Pernyataan ini muncul pada Senin (24/11/2025), merespons potensi pembekuan dana hibah dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo akibat ketidakjelasan otoritas di dalam keraton.

Ultimatum Tedjowulan: Institusi di Atas Pribadi

Tedjowulan, yang memegang posisi strategis sebagai Maha Menteri, melihat celah kerawanan dalam mekanisme penyaluran dana hibah selama ini. Dalam pesannya, ia menekankan perlunya reformasi birokrasi internal keraton di tengah masa transisi yang krusial ini.

“Pesan dari Maha Menteri Tedjowulan, dana masuk dari mana pun jangan lagi diterima langsung oleh Sinuhun. Stop! Harus lewat Bendahara Bebadan Keraton. Itu dana bukan untuk personal, melainkan untuk keraton,” tegas KP Pakoenegoro.

Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Dalam tata kelola pemerintahan modern, akuntabilitas adalah harga mati. Tedjowulan menginginkan agar Keraton Surakarta mengadopsi sistem Bebadan (lembaga departemen) yang transparan. Hal ini sejalan dengan prinsip Good Corporate Governance yang dituntut pemerintah dalam setiap penyaluran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sikap Tedjowulan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam. Jika dana hibah terus diperlakukan sebagai aset pribadi raja tanpa melalui mekanisme bendahara yang sah, maka Keraton Surakarta berisiko kehilangan kepercayaan publik dan pemerintah.

“Sejak awal, saya sudah mengingatkan semua pihak di Keraton Surakarta untuk menahan diri, menghormati masa berkabung 40 hari, dan mengutamakan kerukunan. Jika tidak mau rukun dan tidak bisa dirukunkan, wajar saja jika pemerintah membekukan dana hibah untuk keraton,” tambah Pakoenegoro.

Dejavu 2004: Bayang-Bayang Raja Kembar

Situasi pada November 2025 ini seolah memutar ulang rekaman sejarah kelam tahun 2004. Kala itu, pasca-wafatnya Pakubuwono XII, terjadi dualisme kepemimpinan antara Hangabehi dan Tedjowulan yang berlangsung bertahun-tahun sebelum akhirnya terjadi rekonsiliasi pada 2012.

Kini, pola serupa terjadi. Menjelang pemakaman Pakubuwono XIII, dua kubu kembali mendeklarasikan penerus tahta yang berbeda. KGPAA Hamangkunegoro (Gusti Purboyo), putra mahkota dari permaisuri, yang menyatakan diri sebagai PB XIV pada 5 November 2025 dan KGPH Hangabehi, yang didukung oleh Lembaga Dewan Adat (LDA), dinobatkan sebagai PB XIV pada 13 November 2025 di Sasana Handrawina.

Ketua Eksekutif LDA, KPH Eddy Wirabhumi, mengakui bahwa kebingungan pemerintah adalah hal yang lumrah dalam situasi ini. “Ya wajar itu (pembekuan dana). Ya dulu juga begitu, kalau ada dua ya bingung Pemkot,” ujarnya, merefleksikan memori konflik dua dekade silam.

Intervensi Birokrasi: Tanpa LPJ, Dana Terkunci

Dari sisi pemerintah, regulasi keuangan negara bersifat kaku dan mengikat. Dana hibah yang bersumber dari uang rakyat tidak bisa dicairkan kepada entitas yang sedang bersengketa hukum atau legitimasi.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Solo, Budi Murtono, menegaskan posisi pemerintah yang “wait and see”. Dasar hukum pengelolaan keuangan daerah, yang merujuk pada Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, mewajibkan penerima hibah untuk menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dan membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).

“Ya iya (belum bisa pencairan). Kita mau kepada siapa yang bertanggung jawab dana itu siapa? Penerima hibah harus membuat LPJ,” jelas Budi.

Budi memastikan bahwa Pemkot Solo tidak menghapus anggaran tersebut. Hibah senilai kurang lebih Rp 200 juta tetap dialokasikan dalam APBD 2025 dan rancangan APBD 2026, namun kerannya tertutup rapat hingga ada satu nama yang sah secara hukum dan adat untuk menandatangani dokumen negara.

“Hibah ke keraton masih ada, cuma belum cek realisasinya sudah berapa, terus pertanggungjawabannya gimana. Sementara masih kita anggarkan. Cuma nanti tahun depan pencairannya pihak keraton nanti siapa yang berhak menerima, kita nunggu,” tuturnya.

Taruhan Besar: Nasib Cagar Budaya

Konflik kekuasaan ini bukan hanya soal siapa yang memakai mahkota, tetapi juga nasib fisik bangunan cagar budaya yang sedang dalam masa kritis. Saat ini, proyek revitalisasi besar-besaran sedang berjalan, termasuk pemugaran Panggung Songgobuwono dan penataan ulang Museum Keraton Surakarta.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memelihara situs bersejarah. Keraton Surakarta adalah aset peradaban nasional, bukan sekadar rumah tinggal keluarga raja.

KP Pakoenegoro mengingatkan bahwa perhatian khusus dari pemerintah pusat ini adalah momentum langka yang tidak boleh disia-siakan karena ego sektoral internal.

“Keraton Surakarta sedang mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Kita sedang membangun ulang dan menata keraton sebagai cagar budaya yang sangat penting bagi peradaban kebudayaan di Indonesia,” ujarnya.

Ia berharap konflik internal tidak menjadi sabotase tak disengaja terhadap upaya pelestarian sejarah yang sedang berjalan.

Menuju Model Kesultanan Modern?

Desakan Tedjowulan agar dana masuk ke “Bebadan” (sistem kementerian/departemen keraton) sebenarnya menawarkan solusi jangka panjang. Dalam sejarah Mataram Islam, konsep kekuasaan raja memang cenderung absolut (wenang wisesa ing sanagari). Namun, di era republik yang demokratis dan birokratis, keraton dituntut beradaptasi.

Sistem Bebadan memungkinkan adanya pemisahan antara “milik pribadi raja” dan “milik institusi keraton”. Jika sistem ini berjalan, sirkulasi dana untuk operasional abdi dalem, upacara adat, dan pemeliharaan bangunan tidak akan terganggu meskipun terjadi kekosongan atau sengketa tahta.

Sikap Tedjowulan menyiratkan visi bahwa Keraton harus dikelola sebagai entitas budaya modern yang akuntabel, bukan lagi sebagai kerajaan feodal murni. Jika dualisme PB XIV berlarut-larut tanpa kesepakatan mekanisme keuangan, yang menjadi korban bukan hanya para pangeran, melainkan ratusan abdi dalem dan bangunan bersejarah yang kian lapuk dimakan usia.

Kini, bola panas ada di tangan keluarga besar Keraton Kasunanan. Apakah mereka akan memilih jalan rekonsiliasi demi menyelamatkan warisan leluhur, atau membiarkan konflik suksesi menghambat aliran dana yang menjadi nafas kehidupan keraton? Sejarah akan mencatat pilihan mereka.

Exit mobile version