Dugaan Korupsi Hibah Jatim: Khofifah Siap Diperiksa KPK, Terpojok Tuduhan Dana Rp 4,4 Triliun

Dugaan Korupsi Hibah Jatim: Khofifah Siap Diperiksa KPK, Terpojok Tuduhan Dana Rp 4,4 Triliun
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di suatu kegiatan. Khofifah menyatakan siap di periksa KPK dalam kasus dugaan korupsi dana hibah (io)

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyatakan siap diperiksa KPK sebagai saksi kasus korupsi dana hibah. Namun, kesiapannya dibayangi tudingan serius dari mantan pimpinan DPRD Jatim terkait dana hibah eksekutif senilai Rp 4,4 triliun yang disebut berada di bawah kewenangannya.

INDONESIAONLINE – Drama dugaan korupsi dana hibah di Jawa Timur memasuki babak baru. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, akhirnya angkat bicara dan menyatakan kesiapannya untuk memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah sebelumnya absen.

Namun, pernyataannya ini muncul di tengah badai tudingan yang mengarah langsung ke pihak eksekutif terkait pengelolaan dana hibah fantastis senilai Rp 4,4 triliun.

“Siaplah mas,” ujar Khofifah singkat namun tegas kepada awak media di sela kunjungan kerjanya di Jombang, Jumat (27/6/2025).

Setelah sempat mangkir dari panggilan KPK dengan alasan menghadiri wisuda putranya di Tiongkok, Khofifah meminta publik untuk menunggu proses hukum berjalan. Ia menegaskan posisinya dalam pemeriksaan nanti hanyalah sebagai saksi.

“Ditunggu saja nanti ya. Hanya saksi saja,” tambahnya.

Meski begitu, pernyataan “siap” dari Khofifah seolah menjadi genderang yang disambut dengan tudingan keras dari dua mantan pimpinan DPRD Jatim periode 2019-2024. Mereka menyoroti adanya dana hibah jumbo yang dikelola langsung oleh pihak eksekutif, jauh melampaui alokasi untuk legislatif.

Mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, secara blak-blakan meragukan jika Khofifah tidak mengetahui seluk-beluk program hibah tersebut. Menurutnya, setiap anggaran yang cair, termasuk hibah, mustahil lolos tanpa tanda tangan persetujuan dari gubernur.

“Nanti yang bertanda tangan itu Beliau (Khofifah) dan saya sebagai ketua DPRD. Kalau terus beliau berkata saya tidak tahu, itu ngapain ditandatangani?” ucap Kusnadi, Kamis (26/6) malam.

Kusnadi bahkan membedah bahwa hibah dari gubernur atau kepala daerah cenderung lebih sulit diawasi. “Mereka bikin-bikin sendiri, mereka verifikasi sendiri, mereka evaluasi sendiri, mereka kemudian mengeluarkan dananya sendiri,” bebernya.

Tudingan semakin tajam datang dari eks anggota DPRD Jatim lainnya, Mathur Husyairi, yang baru saja menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Mathur mendesak KPK agar tidak hanya fokus pada legislatif, melainkan juga membidik eksekutif demi rasa keadilan.

Ia memaparkan, dari total dana hibah sekitar Rp 7 triliun, alokasi untuk 120 anggota dewan hanya berkisar Rp 2 triliun. Sisa dana sebesar Rp 4,4 triliun, menurutnya, mengalir ke pos eksekutif. Besaran dana ini setara dengan biaya pembangunan sembilan rumah sakit baru sekelas RSUD Rungkut Surabaya yang menelan anggaran Rp 494 miliar.

“Kenapa tidak kemudian penyidik fokus ke eksekutif juga? Biar ada konsep berkeadilan karena anggaran ini kan disepakati bersama,” tegas Mathur.

Lebih jauh, Mathur mengungkap adanya dugaan pembiaran sistemik. Ia menyoroti lemahnya verifikasi dan monitoring dari pihak eksekutif, bahkan menyinggung surat edaran Sekdaprov Jatim pada 2019 yang menyatakan dana hibah yang sudah terealisasi tidak perlu dimonitor.

“Misalnya pagu saya Rp 8 miliar kemudian numpuk menjadi Rp 30 miliar, mestinya Gubernur dengan asistennya paham, kok ada apa dana hibah ini numpuk di satu orang,” jelasnya.

Mathur mengaku pernah mencoba memberikan masukan langsung kepada Khofifah untuk perbaikan tata kelola dana hibah, namun usahanya tidak membuahkan hasil.

“Waktu itu saya sampaikan untuk perbaikan, tapi tidak diindahkan. Bahkan ditanggapi secara emosional oleh Gubernur,” pungkasnya.

Dengan kesiapan Khofifah untuk bersaksi dan rentetan tuduhan dari mantan mitranya di parlemen, publik kini menanti langkah KPK selanjutnya: apakah penyidikan akan berhenti di legislatif atau meluas hingga menyentuh pucuk pimpinan eksekutif Jawa Timur (mbm/dnv).