Oleh:
Dr Whedy Prasetyo SE MSA CMA CA Ak,
Dosen Tetap Jurusan Akuntansi Universitas Jember
Tulisan ini saya persembahkan sebagai refleksi dan apresiasi atas terselenggaranya seminar bertema ekonomi kerakyatan oleh Himpunan Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi UNISBA bekerja sama dengan Pemerintah Kota Blitar. Semangat ini mengingatkan kita pada gagasan Bung Karno dalam pledoinya Indonesia Menggugat (1930), bahwa rasa kebangsaan adalah kekuatan utama bagi bangsa untuk bangkit dan berdaulat.
Semangat itu tertuang jelas dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas yang hanya menguntungkan pemilik modal, melainkan harus dirancang dan ditata demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Ekonomi kerakyatan, dalam semangat ini, bukan sekadar soal koperasi atau UMKM. Ia mencakup seluruh bentuk usaha — termasuk BUMN, swasta nasional, hingga perusahaan asing— yang harus diarahkan untuk memenuhi kepentingan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban tanggung jawab sosial atau CSR, yang menjadi bagian penting dari tata kelola ekonomi berkeadilan.
Namun, ekonomi kerakyatan hanya bisa berjalan efektif jika pemerintah benar-benar hadir. UMKM, Koperasi Desa (Merah Putih) dan BUMDes, misalnya, tidak cukup hanya diberi kredit. Mereka butuh pendampingan di bidang akuntansi, manajemen, pemasaran, kualitas produk (digital-halal), dan kewirausahaan. Kewirausahaan di sini bukan sekadar berdagang kecil-kecilan, melainkan menciptakan nilai tambah melalui inovasi dan keberanian mengambil risiko dengan orientasi pasar yang jelas.
Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang inklusif. Ia berpihak pada yang lemah, memberi ruang bagi kelompok marginal, dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja produktif. Dalam kerangka inilah, nasionalisme ekonomi menemukan bentuknya. Nasionalisme bukan sekadar jargon “cintai produk Indonesia”, tapi juga bagaimana kebijakan negara melindungi dan memperkuat daya saing produk lokal.
Sayangnya, semangat ini sering terbentur kenyataan. Contohnya, cokelat Blitar dan Jember kalah bersaing dengan cokelat Swiss, meski lebih dekat dan murah. Tanpa keberpihakan negara, sulit bagi petani dan pelaku UMKM bersaing di pasar bebas yang ditopang kekuatan kapital asing.
Untuk itu, penting kiranya menegaskan bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa berjalan tanpa keberpihakan negara. Negara harus hadir, tidak sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai fasilitator dan pelindung kepentingan rakyat. Pasal 33 yang diamandemen menambahkan prinsip demokrasi ekonomi: kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian. Ini harus diwujudkan dalam kebijakan nyata yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat.
Di tengah tantangan global dan integrasi ekonomi regional seperti MEA, pemerintah daerah bisa memainkan peran strategis dalam mengembangkan potensi lokal melalui kebijakan berbasis klaster, koperasi desa, dan penguatan BUMDesa. Langkah ini penting untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional yang lebih merata, adil, dan tangguh.
Bahasa rakyat adalah bahasa kebenaran. Mereka tidak bicara soal indeks atau grafik, melainkan soal kebutuhan dasar: pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan harga yang terjangkau.
Maka dari itu, membumikan ekonomi kerakyatan berarti menjawab kebutuhan riil masyarakat melalui kebijakan yang berpihak dan mudah dipahami.
Kita membutuhkan pemimpin yang bukan hanya mengerti ekonomi rakyat, tapi juga berani memperjuangkannya. Pemimpin yang tidak hanya berpikir jangka pendek atau pragmatis, tapi memiliki visi kebangsaan yang kuat seperti para pendiri bangsa.
Semoga ekonomi kerakyatan benar-benar menjadi jalan bangsa ini menuju kesejahteraan yang inklusif, berkelanjutan, dan bermartabat —demi mewujudkan nasionalisme yang nyata, bukan sekadar slogan. (*)