FIFA menghukum PSSI dengan denda fantastis dan pembatasan penonton di GBK. Sanksi ini buntut dari tindakan diskriminatif suporter Timnas Indonesia saat menjamu Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia 2026. PSSI tegaskan ini pelajaran mahal.
INDONESIAONLINE – Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) tak main-main dalam menegakkan aturan anti-diskriminasi. Belum lama ini, induk organisasi sepak bola dunia itu resmi menjatuhkan sanksi berat kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menyusul insiden yang terjadi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).
Sanksi tersebut berupa denda senilai ratusan juta rupiah dan pembatasan jumlah penonton pada pertandingan kandang Timnas Indonesia berikutnya. Hukuman ini merupakan buntut dari perilaku diskriminatif yang ditunjukkan oleh sebagian suporter Timnas Indonesia saat laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Bahrain pada 25 Maret 2025 lalu.
Pertandingan yang dimenangkan Timnas Indonesia dengan skor tipis 1-0 berkat gol Ole Romeny itu ternyata menyisakan catatan pahit di mata FIFA. Anggota Komite Eksekutif PSSI, Arya Sinulingga, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima surat resmi dari FIFA terkait pelanggaran Pasal 15 tentang Diskriminasi.
“Jadi kita kemarin sudah mendapatkan surat dari FIFA dengan referensi FDD-2338 tentang Pasal 15 diskriminasi,” jelas Arya Sinulingga dalam keterangan resminya.
Menurut Arya, FIFA memiliki sistem pemantauan (monitoring system) anti-diskriminasi yang secara aktif mengawasi jalannya pertandingan. Dari laporan sistem tersebut, teridentifikasi adanya tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh suporter tuan rumah.
“Itulah keputusan dari FIFA yang menyatakan bahwa PSSI harus bertanggung jawab terhadap perilaku diskriminatif suporter pada saat pertandingan Indonesia lawan Bahrain yang dimainkan tanggal 25 Maret lalu,” tegas Arya.
“Di sana FIFA juga mengirimkan laporan, jadi ada monitoring system mereka anti-diskriminasi sebagai laporan mereka,” lanjutnya.
Detail laporan FIFA menyebutkan bahwa area Tribune Utara dan Selatan GBK menjadi lokasi paling aktif terjadinya pelanggaran tersebut, khususnya di Sektor 19. FIFA mencatat, sekitar 200 hingga 300 suporter meneriakkan slogan-slogan bernada xenophobia (kebencian terhadap orang atau budaya asing) yang ditujukan kepada tim lawan, Bahrain, pada menit ke-80 pertandingan.
Akibat ulah segelintir oknum suporter ini, PSSI harus menanggung konsekuensi finansial dan non-finansial.
“Akibatnya, yang pertama, PSSI didenda hampir setengah miliar, yaitu sekitar hampir 400 juta lebih,” ungkap Arya.
Selain denda yang nilainya ditaksir mendekati Rp 400 juta, PSSI juga diwajibkan untuk mengurangi kapasitas penonton pada pertandingan kandang Timnas Indonesia berikutnya di Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan China, yang dijadwalkan pada 5 Juni 2025.
“Kemudian yang kedua, PSSI diperintahkan FIFA untuk memainkan pertandingan berikutnya dengan jumlah penonton terbatas, dengan menutup sekitar 15 persen dari kursi yang tersedia,” lanjut Arya.
Pembatasan ini difokuskan pada area di belakang gawang, yaitu di Tribune Utara dan Selatan. PSSI juga harus menyerahkan rencana penataan tempat duduk (seating plan) kepada FIFA 10 hari sebelum pertandingan.
Arya Sinulingga menambahkan bahwa kejadian ini merupakan pembelajaran yang sangat berharga dan berat bagi seluruh elemen sepak bola Indonesia, terutama para suporter. FIFA, kata dia, sangat menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, kemanusiaan, saling menghargai, dan saling menghormati.
“Ini adalah hal yang berat yang kita terima karena FIFA itu memiliki prinsip kesetaraan, kemanusiaan, saling menghargai dan saling menghormati,” ucapnya. “Jadi tidak boleh ada hate speech, udara kebencian, tidak boleh ada rasisme, tidak boleh ada xenophobia, dan lain-lainnya.”
FIFA memang memberikan ruang alternatif untuk mengisi 15 persen kursi yang dibatasi tersebut. PSSI bisa mengalokasikannya untuk komunitas anti-diskriminasi, keluarga, pelajar, atau perempuan, namun dengan syarat mereka memasang spanduk anti-diskriminasi. FIFA juga meminta PSSI menyusun rencana komprehensif untuk memerangi tindakan diskriminasi dalam sepak bola Indonesia ke depan.
“Ini pembelajaran bagi kita semua. Jelas merugikan kita semua. Tapi kita harus tanggung bersama-sama semua,” pungkas Arya. Ia menekankan pentingnya langkah-langkah literasi dan pendidikan bagi para suporter agar insiden serupa tidak terulang di masa mendatang.
Biaya denda ratusan juta dan berkurangnya dukungan langsung di stadion menjadi pengingat mahal tentang pentingnya sportivitas dan penghormatan dalam sepak bola.