Geger Sepehi: Fajar Kelabu di Jantung Jawa

Geger Sepehi: Fajar Kelabu di Jantung Jawa
Ilustrasi Pangeran Diponegoro dalam Geger Sepehi 1812 (ai/io)

Geger Sepehi 1812 bukan sekedar perang. Ini adalah kisah luka, penghinaan, dan air mata Pangeran Diponegoro yang menjadi bara bagi Perang Jawa. 

INDONESIAONLINE – Fajar di pertengahan tahun 1812 pecah bukan oleh nyanyian burung, melainkan oleh dentum meriam yang membelah keheningan Yogyakarta. Udara pekat oleh mesiu, sorak-sorai perang, dan peringatan buruk yang terjadi di dinding-dinding keraton.

Bagi seorang pangeran muda bernama Antawirya —yang kelak dikenal sebagai Diponegoro—hari itu adalah sebuah luka pertama. Sebuah goresan di jantung Jawa yang tak akan pernah pulih sepenuhnya. Peristiwa itu terpatri dalam ingatan kolektif sebagai Geger Sepehi.

Semua bermula dari percikan kecil: duel antara Tumenggung Jayaningrat dan seorang Inggris yang berakhir dengan kematian. Sebuah insiden pribadi yang telah lama disembunyikan dendam, namun di tangan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, ia menjadi dalih sempurna. Bara dalam sekam kekuasaan kolonial akhirnya menemukan angin untuk berkobar.

Raffles, dengan presisi seorang ahli strategi, mengirim utusan ke Srimenganti. Di hadapan Sultan Hamengkubuwana II, keluarga, dan para abdi dalem, ultimatum itu terucap dingin: Sultan harus turun takhta. Jika ingin kembali, ia harus menanyakan martabatnya, meminta izin di loji Inggris.

Bagi seorang raja Jawa yang memegang teguh wibawa, permintaan itu adalah penghinaan yang tak termaafkan. Diponegoro menyaksikan bagaimana wajah Sultan memerah, amarahnya membara tanpa kompromi.¹ Utusan itu pulang membawa jawaban yang menyalakan sumbu perang.

Gema Meriam di Atas Takhta

Raffles tidak menunggu lama. Perintahnya tegas: hancurkan perlawanan. Meriam-meriam Inggris, yang diisi oleh serdadu Sepoy dari India, mulai berlimpah api ke arah keraton.

Yogyakarta menjawab. Dari dalem kadipaten, Tumenggung Kertawijaya dan Tumenggung Menaksela membalas tembakan. Perang itu bukan lagi sekedar adu senjata, melainkan pertarungan simbolik antara kehormatan yang terluka dan arogansi kolonial.

Di tengah kekacauan, Sultan menunjuk Pangeran Sumadiningrat sebagai panglima tertinggi. Namun, di garis depan dalem kadipaten, kepemimpinan perang secara de facto jatuh ke tangan Pangeran Diponegoro.

Dengan pasukan seadanya, ia berjuang menahan gelombang serangan. Suasana begitu dramatis: para pangeran dan prajurit di Brajanala dan Kamendungan, menjadi benteng terakhir bagi kehormatan istana.

Keseimbangan itu rapuh. Satu per satu  panglima gugur. Tumenggung Sumadiwirya dan Kartawijaya tewas diterjang peluru. Kekuatan moral runtuh seiring jatuhnya para pemimpin. Malam tiba, namun serangan tak kunjung reda. Pasukan Inggris-Sepehi berhasil menembus Baluwarti, pertahanan terdalam keraton. Pasukan kadipaten yang dipimpin para pangeran terpaksa mundur ke Tanjunganom. Yogyakarta berdarah.

Sumpah di Tengah Hujan Peluru

Dalam situasi paling genting, Pangeran Arya Panular membawa kabar kekalahan kepada Putra Mahkota, ayah Diponegoro. Sang ayah menatap putranya, mencari jawaban. Jawaban Diponegoro singkat dan tegas: ia akan terus berjuang.

“Suka atau duka, kalah atau menang, hidup atau mati, kita tetap bersama,” sumpah dinyanyikan Putra Mahkota, menolak meninggalkan putra di medan laga.

Mereka bertiga—Diponegoro, ayahnya, dan adiknya Pangeran Suryabrangta—bergerak menuju Tamansari. Di sana, kabar duka kembali menyambut: Panglima Sumadiningrat dan Ratu Kedaton telah gugur.

Diponegoro, dengan hati yang membara, kembali menghadapi musuh sendirian di Tamansari. Ia menantang hujan peluru yang dimuntahkan dari arah Baluwarti dan Plengkung.

Sebuah keajaiban terjadi. Ribuan peluru beterbangan, namun tak satu pun menyentuh kulitnya. Ia percaya, ini adalah perlindungan ilahi, sebuah tanda bahwa takdirnya lebih besar dari sekedar pertempuran malam itu.²

Air Mata Seorang Pangeran

Akhirnya, Jenderal Gillespie dan pasukannya berhasil menguasai wilayah Diponegoro. Namun, alih-alih membunuhnya, Gillespie justru menawarkan takhta kepada ayahnya, Putra Mahkota.

Dengan restu Diponegoro yang getir, sang ayah dibawa ke loji untuk dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Sebuah transisi kekuasaan yang dipaksakan di bawah todongan senjata.

Nasib berbeda menimpa sang kakek, Sultan Hamengkubuwana II. Ia ditangkap, dilucuti dari kebesarannya, dan bersama putra-putranya diasingkan ke Pulau Pinang. Momen inilah yang terekam paling emosional dalam babad.

Diponegoro, sang pangeran yang gagah berani di medan perang, meneteskan air mata melihat rajanya dihinakan dan diusir dari tanahnya sendiri.³ Air mata itu bukan sekedar tangisan cucu untuk kakeknya. Itu adalah air mata untuk martabat Jawa yang tercabik-cabik.

Geger Sepehi 1812 lebih dari sekedar kekalahan militer. Ia adalah sebuah pertunjukan. Ribuan naskah kuno, harta pusaka, dan artefak budaya dijarah dan dibawa ke Inggris, sebuah penjarahan pengetahuan yang tak ternilai harganya.⁴ Peristiwa ini juga melahirkan Kadipaten Pakualaman dan memangkas wilayah serta kekuatan militer Kesultanan Yogyakarta secara drastis.

Bagi Diponegoro, Geger Sepehi adalah pelajaran pahit tentang kelicikan politik kolonial dan kerapuhan kekuasaan Jawa. Luka yang ditimbulkan pada tahun 1812 itu tak pernah benar-benar kering. Ia menjadi bara yang terus menyala di dalam dadanya, menunggu waktu untuk menjadi api besar yang akan membakar seluruh Jawa.

Tiga belas tahun kemudian, ketika patok-patok Belanda ditancapkan di tanah leluhurnya di Tegalrejo, bara itu akhirnya berkobar menjadi Perang Jawa (1825-1830).

Perang itu bukan lahir dari ambisi pribadi, melainkan dari akumulasi penderitaan rakyat dan kenangan menyakitkan akan fajar kelabu di tahun 1812, ketika kehormatan tanah airnya pertama kali diinjak-injak. Geger Sepehi adalah prolog dari sebuah tragedi yang jauh lebih besar (ar/dnv).


Catatan Kaki (Referensi):

¹ Peter Carey,Kekuatan Nubuat: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855(Leiden: KITLV Tekan, 2008). Narasi mengenai kemarahan Sultan HB II terhadap ultimatum Raffles dideskripsikan secara detail dalam Babad Diponegoro dan dijelaskan dalam karya Carey.

² MC Ricklefs,Sejarah Indonesia Modern Sejak Tahun 1200(Stanford: Stanford University Press, 2008). Keyakinan Diponegoro akan perlindungan ilahi (kekebalan) adalah unsur spiritual yang konsisten muncul dalam Babad dan menjadi bagian penting dari legitimasinya sebagai pemimpin perang suci.

³ Pangeran Diponegoro,Babad Diponegoro: Versi Manado, (diterjemahkan oleh Chris D. van der Weijde, 2013). Bagian penutup episode Geger Sepehi dalam babad ini secara eksplisit menggambarkan kesedihan yang mendalam Diponegoro saat menyaksikan kakeknya.

⁴ Tim Hannigan,Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa(Singapura: Monsoon Books, 2012). Buku ini mengulas secara rinci dampak invasi Inggris, termasuk penjarahan besar-besaran terhadap naskah dan artefak berharga dari Keraton Yogyakarta.