Beranda

Gegodog 1676: Neraka di Medan Laga yang Meruntuhkan Takhta Mataram

Gegodog 1676: Neraka di Medan Laga yang Meruntuhkan Takhta Mataram
Ilustrasi Pertempuran Gegodog, 13 Oktober 1676, yang merupakan titik nol Dinasti Mataram (deepai/io)

Kekalahan telak Mataram di Pertempuran Gegodog 1676 menjadi titik balik. Amangkurat II, sang pewaris takhta, kalah telak dan membuka jalan bagi era kolonialisme VOC.

INDONESIAONLINE – Medan Pertempuran Gegodog, 13 Oktober 1676. Asap mesiu membubung, menyelimuti teriakan putus asa dan denting senjata tajam. Di tengah kekacauan itu, seorang putra mahkota, Raden Mas Rahmat, menyaksikan imperium ayahnya hancur berkeping-keping.

Ini bukan sekadar kekalahan militer; ini adalah titik nol bagi Dinasti Mataram. Sebuah tragedi yang merobek wibawa raja, mengubur para ksatria paling setia, dan membuka gerbang bagi satu abad dominasi kolonial.

Pertempuran Gegodog adalah klimaks dari krisis yang telah lama membusuk di jantung Mataram. Di bawah pemerintahan Amangkurat I yang paranoid, istana menjadi sarang intrik. Eksekusi terhadap tokoh-tokoh berpengaruh seperti Pangeran Pekik dari Surabaya pada 1670-an—kakek dari Raden Mas Rahmat sendiri—menciptakan bara ketidakpuasan di pesisir.

Ketika Raden Trunajaya, seorang pangeran dari Madura, mengibarkan bendera pemberontakan, ia tidak sendirian. Kekuatan pesisir yang lama tertindas, laskar Makassar yang tersingkir dari tanahnya, dan para bangsawan yang kecewa, semua bersatu di bawah panjinya.

Aliansi ini, menurut catatan sejarawan M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200, adalah ancaman paling serius yang pernah dihadapi Mataram.

Persiapan Goyah di Jepara: Aliansi yang Retak Sejak Awal

Pada September 1676, Jepara menjadi panggung persiapan ekspedisi besar yang dipimpin Putra Mahkota Adipati Anom (Raden Mas Rahmat). Babad Pakepung (jilid XII, hlm. 3–5) melukiskan suasana megah namun tegang. Para pangeran utama Mataram—Purbaya, Singasari, Blitar—berkemah, merundingkan strategi.

Namun, di balik kemegahan itu, keraguan merayap. Dalam musyawarah, Pangeran Purbaya, seorang komandan veteran yang dihormati, menyampaikan kabar buruk. “Kekuatan Madura dan Makassar telah bersekutu erat,” ujarnya, seperti dikutip dalam catatan J. J. Meinsma. “Daerah pesisir timur telah menyatakan setia kepada Trunajaya.”

Menyadari rapuhnya kekuatan internal, Adipati Anom beralih ke diplomasi. Ia merangkul VOC (Kompeni Belanda) dan Inggris. Dokumen VOC, Daghregister tertanggal 20 September 1676, mencatat pertemuan antara Residen Couper dan sang putra mahkota.

Di hadapan lebih dari seribu orang Jawa, aliansi diperkuat dengan hadiah kain brokat dan sepasang pistol. Ironisnya, senjata yang melambangkan persahabatan itu kelak menjadi simbol ketergantungan.

Malam harinya, dalam sebuah pertemuan rahasia, Adipati Anom memohon perlindungan VOC. Ini adalah sinyal pertama bahwa pewaris takhta Mataram lebih mempercayai kekuatan asing daripada pasukannya sendiri.

Neraka di Gegodog: Kematian Para Ksatria

Pasukan Mataram bergerak menyusuri pantai utara, dengan logistik diangkut kapal. Namun, saat tiba di Gegodog, mereka disambut oleh kekuatan pemberontak yang jauh lebih solid dan bersemangat. Dipimpin oleh panglima tangguh seperti Karaeng Galesong dari Makassar, pertempuran meletus dengan brutal.

Babad Pakepung (jil. XII, hlm. 8) menggambarkan adegan mengerikan: “Ketika peluru habis, senjata tajam menjadi alat utama pembantaian.”

Pasukan Mataram, yang terdiri dari berbagai kontingen dengan loyalitas terpecah, mulai goyah. Satu per satu komandan mereka gugur. Puncaknya adalah kematian Pangeran Purbaya. Setelah kudanya tewas, ia bertarung di tanah dengan keris pusaka. Dikeroyok hingga tulangnya remuk, ia mengucapkan kata-kata terakhir yang menjadi epitaf bagi kejayaan Mataram:

“Kepada tiga raja aku mengabdi, tapi tak pernah aku melihat Mataram serendah ini. Laki-laki menjadi penakut seperti perempuan. Mataram ditakdirkan runtuh. Aku tak sudi menyaksikannya.” (Babad Pakepung, jil. XII, hlm. 10)

Kematian Purbaya mematahkan semangat terakhir pasukan kerajaan. Kekalahan berubah menjadi pembantaian. Adipati Anom, sang komandan tertinggi, melarikan diri bersama sisa-sisa pasukannya menuju Jepara. Serat Kandha (hlm. 1038) mencatat pemandangan menyedihkan: wabah penyakit menyerang para pelarian, sementara kelaparan mengintai. Kekalahan ini begitu memalukan hingga melahirkan peribahasa tentang kehinaan militer kerajaan.

Warisan Kekalahan: Takhta yang Dibeli dengan Utang

Kekalahan di Gegodog berdampak dahsyat. Kepercayaan rakyat dan elite terhadap kemampuan Adipati Anom runtuh. Setahun kemudian, pada 1677, ibu kota Mataram di Plered jatuh ke tangan Trunajaya. Amangkurat I wafat dalam pelarian, dan Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II—seorang raja tanpa keraton dan tanpa wibawa.

Dalam keputusasaan, Amangkurat II sepenuhnya bergantung pada VOC. Dengan bantuan militer dan dana dari Kompeni, ia berhasil merebut kembali takhtanya, namun dengan harga yang sangat mahal. Perjanjian Jepara (1677) memberikan VOC monopoli dagang absolut dan kendali atas wilayah pesisir. Mataram memang selamat, tetapi kedaulatannya telah tergadai.

Amangkurat II kemudian memindahkan pusat kekuasaannya dari Plered yang hancur ke Wanakerta, yang kemudian dinamai Kartasura. Menurut sejarawan H.J. de Graaf, lokasi ini dipilih berdasarkan wangsit yang diterima kakeknya, Pangeran Pekik. Namun, istana baru ini berdiri di bawah bayang-bayang benteng VOC.

Pertempuran Gegodog bukan sekadar episode perang. Ia adalah cermin keretakan internal, kegagalan kepemimpinan, dan akhir dari sebuah era. Dari abu kekalahan inilah lahir seorang raja yang berutang, dan sebuah dinasti yang tak akan pernah lagi memegang kedaulatan penuh atas tanah Jawa. Tragedi 13 Oktober 1676 adalah lonceng kematian bagi Mataram yang agung dan lonceng kelahiran bagi era kolonialisme (ar/dnv).

Exit mobile version