Aksi “Rakyat Jawa Timur Menggugat” menuntut pemutihan pajak kendaraan di depan Grahadi. DPRD Jatim hadapkan aspirasi rakyat dengan realitas fiskal daerah yang terancam.
INDONESIAONLINE – Langit Surabaya di penghujung Agustus 2025 terasa menghangat, bukan hanya oleh terik matahari khatulistiwa, tetapi juga oleh denyut rencana yang menggema dari berbagai sudut kota.
Sebuah seruan bertajuk “Rakyat Jawa Timur Menggugat” bersiap dilantangkan di depan Gedung Negara Grahadi pada Rabu, 3 September mendatang. Ia bukan sekadar barisan, melainkan simfoni aspirasi yang menuntut satu hal: penghapusan total tunggakan pajak kendaraan bermotor.
Di tengah riak yang meninggi ini, suara dari menara parlemen pun berembus. Lilik Hendarwati, Ketua Fraksi PKS DPRD Jatim, memandang fenomena ini laksana dua sisi mata uang demokrasi. Di satu sisi, ada hak konstitusional yang tak terbantahkan. Di sisi lain, ada ketertiban umum yang mesti dirajut bersama.
“Dalam panggung demokrasi, suara rakyat adalah musiknya. Silakan saja dimainkan, asal iramanya damai, tidak sumbang oleh anarki dan provokasi negatif,” ujar Lilik Hendarwati di Surabaya, Selasa (26/8/2025).
Anggota Komisi C DPRD Jatim ini berharap, simfoni gugatan itu dapat tersampaikan syahdu tanpa merobek selaput rasa aman warga. “Mari kita jaga bersama Jawa Timur yang tenteram. Hormati hak berpendapat, namun peluk erat ketertiban umum,” serunya.
Kalkulasi Angka di Balik Tembok Parlemen
Tuntutan utama para demonstran—pemutihan total pajak—terdengar sederhana dan populis. Namun, bagi Lilik dan para penjaga gerbang fiskal daerah, tuntutan itu adalah persamaan rumit yang mempertaruhkan denyut nadi pembangunan.
Menurut Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Timur, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah tulang punggung utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Data tahun 2023 menunjukkan, kontribusi PKB dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) mencapai lebih dari Rp15 triliun, atau sekitar 45% dari total target PAD Jatim. Menghapusnya secara membabi buta ibarat menggergaji dahan yang diduduki.
“Pemerintah Provinsi, melalui Ibu Gubernur Khofifah, telah menempuh jalan tengah yang bijak,” kata Lilik, merujuk pada program pemutihan pajak secara tersegmentasi yang sudah berjalan.
“Ini adalah seni menyeimbangkan. Keringanan diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan pukul rata untuk semua,” paparnya.
Kebijakan ini, lanjutnya, adalah jawaban atas realitas. Ia memaparkan data kontras: tingkat kepatuhan pajak di Jawa Timur jauh lebih sehat dibanding Jawa Barat. Jika di Jabar sekitar 40% wajib pajak menunggak, di Jatim angkanya hanya di kisaran 15%.
Ironisnya, penunggak terbesar di Jatim justru datang dari pemilik kendaraan roda empat—segmen yang diasumsikan lebih mapan secara ekonomi.
“Jika kita memutihkan semuanya, di mana letak keadilan bagi 85% warga yang taat membayar pajak? Kebijakan ini justru bisa mencederai rasa keadilan mereka,” tegasnya.
Neraca Antara Aspirasi dan Stabilitas Fiskal
Persoalan ini menjadi semakin pelik dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Menurut catatan Kementerian Keuangan RI, implementasi UU ini telah mengalihkan sebagian sumber pendapatan daerah, yang berpotensi mengurangi fleksibilitas fiskal.
“Karena UU HKPD saja, PAD kita sudah terkoreksi turun Rp4,2 triliun. Jika ditambah dengan pemutihan total, PAD Jatim bisa terjun bebas. Siapa yang akan menanggung biaya pembangunan jalan, sekolah, dan layanan kesehatan?” ungkap Lilik dengan nada cemas.
Grahadi, pada 3 September nanti, bukan hanya akan menjadi saksi bisu orasi. Ia akan menjadi neraca raksasa yang menimbang antara gelegar suara rakyat yang menuntut keringanan dan derit mesin fiskal daerah yang harus terus berputar untuk menghidupi jutaan warganya. Ini adalah pertaruhan antara empati sosial dan realisme anggaran—sebuah dialektika abadi dalam denyut nadi sebuah provinsi besar.