Genta Kesenian di Kota Apel: Sebuah Elegi yang Belum Usai

Genta Kesenian di Kota Apel: Sebuah Elegi yang Belum Usai
Ilustrasi kelompok kesenian di Kota Batu, Jatim yang terus tergerus dan hilang (ai/io)

Di tengah pesona pariwisata Kota Batu, denyut nadi kesenian justru kian melemah. Eksistensi ratusan sanggar seni terancam, menyisakan elegi dan pekerjaan rumah besar bagi pelestarian budaya.

INDONESIAONLINE – Di balik selimut kabut pagi yang memeluk lereng-lereng gunung di Kota Batu, ada suara yang kian lirih. Bukan deru mesin jip wisata, bukan pula tawa riang di taman-taman rekreasi. Ini adalah suara genta kesenian yang merapuh, dentingnya nyaris tak terdengar, tersapu oleh laju modernitas yang bising. Panggung-panggung kebudayaan di kota berjuluk “Kota Apel” ini tengah menyaksikan sebuah elegi sunyi.

Pelestarian seni dan budaya menyisakan pekerjaan rumah yang menumpuk laksana tumpukan kostum tari yang lama tak tersentuh di sudut sanggar. Ratusan kelompok seni, yang seharusnya menjadi detak jantung kebudayaan kota, kini banyak yang bernapas tersengal.

“Kondisi kelompok seni sekarang ada yang maju, tapi ada juga yang hidup segan mati tak mau,” ujar Sunarto, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Batu (DKKB).

Kalimat itu meluncur dari bibirnya bukan sebagai keluhan, melainkan sebuah potret realitas yang getir. Dari sorot matanya, terpancar keresahan seorang penjaga warisan yang melihat bentengnya perlahan terkikis.

Pria yang akrab disapa Cak Narto itu kemudian membeberkan angka yang bicara lebih keras dari genderang mana pun. Dulu, lebih dari 600 kelompok seni tercatat sebagai denyut nadi budaya di kota ini.

Kini, angka itu susut menjadi 558. Mereka adalah para penari Jaran Kepang, pemain Bantengan, perajin kriya, empu keris, hingga para pande besi yang ilmunya diturunkan dari generasi ke generasi.

“Penyusutan ini terjadi karena banyak sebab: ada yang ganti nama, berganti kepengurusan, atau pindah domisili. Itu semua berpengaruh,” rincinya, seolah menghitung satu per satu jiwa seni yang hilang dari peta kebudayaan.

Bagi sanggar-sanggar yang masih bertahan, perjuangan belum usai. Mereka kerap tertinggal dari segi kekaryaan dan kualitas. Cak Narto melihat resepnya bukan pada kompetisi, melainkan pada kebersamaan.

“Para kelompok seni itu secara terpadu memang harus sering kolaborasi. Seperti untuk adanya pelatih yang memadai, mereka bisa diajak bergabung ke kelompok lain untuk transfer pengalaman dan karya,” cetusnya. 

Namun, kolaborasi saja tak cukup. Cak Narto menggulirkan sebuah mimpi besar: sebuah “laboratorium budaya”. Bukan sekadar gedung atau ruang pamer, melainkan sebuah ekosistem tempat seni dan kearifan lokal berpadu dengan pendidikan formal. Sebuah wadah di mana anak-anak muda tidak hanya belajar menari atau memahat, tetapi juga memahami ruh di baliknya.

“Selama ini jarang disampaikan. Maka tidak hanya seni saja, kearifan lokal Batu perlu dikolaborasikan lagi. Perlu ada akademi seni, SMK kesenian, atau sekolah budaya,” katanya penuh harap.

Visinya merentang lebih jauh, hingga ke relung sejarah yang tersembunyi di Candi Songgoriti. Di sana, jejak teknologi tradisional menempa logam masih tersisa, meski para pande besinya kini tinggal segelintir.

Laboratorium budaya, dalam bayangan Cak Narto, adalah tempat untuk membedah ilmu kuno itu, bukan lagi dari sudut pandang klenik, melainkan dari sisi ilmiah.

“Adanya laboratorium seni lebih pada bagaimana para penggiatnya mentransfer teknologinya, atau metalurginya, agar tidak hanya terjebak di keklenikan, tapi bisa dijelaskan secara ilmiah,” paparnya.

Ini adalah sebuah upaya mengangkat warisan dari ranah mitos ke panggung pengetahuan. Menyelamatkan bara terakhir di tungku pande besi agar apinya tak padam ditelan zaman, dan memastikan bahwa suara genta kesenian di Kota Batu tidak menjadi sekadar elegi, melainkan sebuah simfoni kebangkitan yang masih mungkin untuk diperdengarkan.

Pertanyaannya kini, akankah denyut itu kembali berdetak kencang, atau perlahan sirna ditelan kabut? (pl/dnv).