Beranda

Gerhana di Balik Takdir: Menyingkap Wafat Panembahan Senapati

Gerhana di Balik Takdir: Menyingkap Wafat Panembahan Senapati
Ilustrasi Panembahan Senapati (ai/io)

Membongkar berbagai narasi wafat Panembahan Senapati, dari sakit hingga semedi, dikaitkan gerhana matahari 1601. Sebuah telaah historiografi kritis tentang pendiri Mataram dan warisan misterinya yang membentuk sejarah Jawa.

INDONESIAONLINE – Sejarah Jawa, sebuah tapestri waktu yang sarat akan intrik dan makna tersembunyi, menyimpan banyak kisah wafatnya para raja yang tak hanya mengakhiri kekuasaan, namun juga meninggalkan jejak misteri mendalam.

Di antara narasi-narasi itu, kematian Panembahan Senapati, sang arsitek agung Kesultanan Mataram Islam, adalah sebuah enigma yang memikat, memadukan fakta politik, tafsir spiritual, dan pertanda langit.

Babad Tanah Djawi mencatatnya singkat, namun sumber lain seperti Babad Nitik Sarta Cabolek menghadirkan versi berbeda: sakit, semedi di Batu Gilang, bahkan bertepatan dengan gerhana matahari.

Lantas, di mana dan mengapa sang pendiri Mataram itu benar-benar menghembuskan napas terakhirnya? Artikel ini mengajak kita menyingkap lapisan-lapisan narasi tersebut dalam bingkai historiografi kritis, mencari benang merah di antara tradisi lisan, catatan sejarah, dan verifikasi ilmiah.

Seda ing Kajenar: Sebuah Epitaf yang Mempertanyakan

“Seda ing Kajenar“: sebuah nama anumerta yang menggantungkan pertanyaan. “Wafat di Kajenar,” demikian artinya, merujuk pada sebuah lokasi dekat Sragen yang Raffles dalam History of Java pun mengamini.

Namun, apakah sekadar peristirahatan terakhir akibat sakit, seperti dikisahkan Babad Tanah Djawi? Atau justru sebuah akhir yang lebih mistis, kala Senapati menyatu dengan alam saat bersamadi di Batu Gilang, sebuah batu keramat yang menjadi jantung spiritual Mataram, sebagaimana dituturkan Babad Nitik Sarta Cabolek?

Dua narasi ini, meski kontradiktif, saling melengkapi cara Jawa memahami seorang pemimpin. Satu sisi menekankan kerapuhan fisik dan pentingnya estafet kekuasaan; sisi lain menggarisbawahi transendensi raja, sosok yang dianggap setengah dewa, penghubung dunia manusia dan gaib.

Misteri di balik gelar anumerta ini adalah pintu pertama menuju pemahaman yang lebih dalam tentang sosok dan warisan Panembahan Senapati.

Raden Sutawijaya: Darah Majapahit & Aura Wali

Sebelum tirai kematian menutup kisahnya, Panembahan Senapati adalah Raden Danang Sutawijaya, sang ksatria berdarah Majapahit dan pewaris garis Wali Songo.

Ayahnya, Ki Ageng Pamanahan, adalah keturunan Prabu Brawijaya V melalui Ki Ageng Henis. Ibunya, Nyai Ageng Sabinah, adalah cucu Sunan Giri. Perpaduan dua garis keturunan ini – politik (Majapahit) dan spiritual (Wali) – memberinya legitimasi ganda yang tak terbantahkan sebagai pemimpin yang sah di mata rakyat Jawa.

Sejak muda, aura takdir besar telah menyelimutinya: dikenal berbakat, berjiwa ksatria, tekun bersemedi, gemar mempelajari ilmu kanuragan, dan ahli berkuda. Tak heran jika ia kemudian menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, dengan julukan Raden Ngabehi Loring Pasar.

Lantas, dari mana Mataram lahir? Bermula dari sayembara menumpas Arya Penangsang pada 1549, Ki Ageng Pamanahan dianugerahi Alas Mentaok pada 1556, tanah yang diramal Sunan Giri Prapen akan melahirkan kerajaan lebih besar dari Pajang. Danang Sutawijaya kemudian mewarisi ‘perdikan’ itu pada 1575.

Dengan runtuhnya Pajang dan krisis suksesi pasca-Sultan Hadiwijaya wafat (1582), Sutawijaya melihat celah takdir. Menurut tradisi, di Lipura (Bantul), di atas Watu Gilang, konon ia menerima “wahyu” Lintang Jauhari, legitimasi spiritual untuk mendirikan pusat kerajaan di Kotagede.

Tahun 1587, dengan gelar Panembahan Senapati, Mataram resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan agraris-birokratis yang kelak akan mencapai puncak kejayaan.

Fondasi Dinasti dan Suksesi Pertama

Sebagai raja, Panembahan Senapati tidak hanya ahli dalam strategi militer, menundukkan Pajang (1587), Demak (1588), Madiun (1590), Kediri (1591), dan Ponorogo (1591). Ia juga seorang diplomat ulung melalui perkawinan politik dengan Ratu Retna Dumilah dari Madiun, yang darinya lahir beberapa putra penting termasuk Pangeran Pringgalaya dan kelak, menurut Babad Nitik serta Serat Cabolek, Sultan Agung.

Sebelum mangkat, Panembahan Senapati tak hanya membangun Mataram, tetapi juga merancang suksesi pertama yang krusial. Amanatnya yang tertuang dalam Babad Tanah Djawi (Meinsma) jelas: putranya, Raden Mas Jolang (kelak Panembahan Hanyakrawati), harus menggantikannya, didampingi Adipati Mandaraka dan Mangkubumi. 

Serat Kandha bahkan menyebut penetapan putra mahkota sudah jauh-jauh hari. Sebuah langkah strategis untuk menjaga stabilitas dinasti yang masih muda di tengah kondisi kerajaan yang masih rapuh. Suksesi pertama Mataram ini pun berlangsung relatif lancar, meletakkan fondasi kuat bagi kelangsungan takhta.

Ketika Langit Menjadi Saksi: Gerhana Matahari 1601

Namun, kapan tepatnya Senapati wafat? Di sinilah langit turut bicara. Babad Sangkala menunjuk tahun Jawa 1523 (1601 Masehi), bertepatan dengan gerhana matahari.

Klaim ini bukan sekadar takhayul. Perhitungan astronomi modern, seperti yang dikonfirmasi Brouwer merujuk pada Canon der Finsternisse karya Oppolzer (Wina, 1887), menyatakan bahwa pada 30 Juli 1601, memang terjadi gerhana matahari total yang terlihat jelas di Jawa Tengah. Sebuah konfirmasi ilmiah yang meneguhkan narasi kuno.

Sumber Belanda yang mencatat Panembahan Krapyak (putra Senapati, Panembahan Hanyakrawati) memerintah 12 tahun setelah 1601, semakin mengerucutkan tanggal wafat sang ayah pada tahun tersebut.

Meskipun Raffles dalam History of Java sempat memberi tanggal berbeda (1599 M), perhitungan astronomi modern telah membuktikan koreksi tersebut, menjadikan 1601 sebagai tahun yang paling kredibel. Gerhana matahari, yang dalam kosmologi Jawa selalu dipandang sebagai pertanda kosmik perubahan besar, kini menjadi saksi bisu kepergian seorang pendiri.

Pemberontakan Pati: Konflik Simbolis “Mesir” Melawan Mataram

Dekat dengan masa wafatnya, sebuah gejolak lain terjadi: pemberontakan Adipati Pati sekitar tahun 1600, setahun sebelum Senapati meninggal, meskipun Babad Tanah Djawi salah dalam penanggalannya. Babad Sangkala menyinggung kematian seorang “Adipati Mesir” pada tahun yang sama.

Istilah “Mesir” di sini bukan tanpa makna. Pijper mengajukan hipotesis menarik bahwa dalam kosmologi Islam Jawa, Demak dipandang sebagai “Mekkah Jawa”, Masjid Demak sebagai Ka’bah. Sunan Kalijaga di Kadilangu diposisikan sebagai Nabi yang menanti kiamat, menjadikan daerah itu “Madinah Jawa”.

Kudus, dengan namanya yang mirip Al Quds (Yerusalem), dipandang sebagai Darussalam. Maka, Pati yang disebut “Mesir” menandakan sebuah konflik yang melampaui politik. Ini adalah pertarungan ideologi antara tradisi Islam pesisiran yang kuat (Demak-Muria) melawan kuasa pedalaman Mataram yang baru bangkit. Wafatnya Senapati, diselimuti pemberontakan simbolis ini, menggarisbawahi transisi dramatis di tanah Jawa.

Historiografi Wafat Senapati: Empat Dimensi Makna

Dengan demikian, wafatnya Panembahan Senapati bukanlah sekadar peristiwa biologis. Ia adalah simpul dari berbagai dimensi yang membentuk sejarah Jawa:

  1. Dimensi Politik: Senapati meninggalkan amanat suksesi yang jelas, memastikan kelanjutan dinasti Mataram yang masih muda, sebuah fondasi krusial bagi stabilitas politik di masa depan.

  2. Dimensi Spiritual: Gelar “Seda ing Kajenar” dan kisah wafat dalam semedi menempatkan Senapati sebagai raja yang tidak sekadar manusia, melainkan penghubung dunia profan dan sakral, seorang pemimpin yang mencapai moksa.

  3. Dimensi Kosmologis: Wafatnya yang bertepatan dengan gerhana matahari total menambah bobot sakral pada peristiwa ini, menegaskan statusnya sebagai momen kosmik yang mengguncang dan mengubah keseimbangan dunia.

  4. Dimensi Konflik Ideologis: Pemberontakan Pati dengan simbolisasi “Mesir”nya menunjukkan adanya tarik-menarik antara dua visi Islam Jawa, yaitu tradisi pesisiran yang lama dengan kekuasaan pedalaman yang baru.

Setiap narasi, meskipun berbeda, berkontribusi pada legenda seorang pendiri, membentuk pemahaman kita tentang kompleksitas kekuasaan, spiritualitas, dan sejarah di Jawa.

Catatan Akhir: Awal Sebuah Dinasti

Panembahan Senapati, sang arsitek agung Mataram, mengakhiri hidupnya pada 1601, kemungkinan besar di Kajenar dekat Sragen, di bawah bayang-bayang gerhana matahari. Apakah karena sakit, atau dalam semedi, selubung misteri itu tetap memesona, mengundang tafsir dari generasi ke generasi.

Yang pasti, kematiannya bukanlah sebuah akhir, melainkan awal. Sebuah tonggak bagi berdirinya dinasti Mataram yang kokoh, yang kelak akan dipimpin oleh Panembahan Hanyakrawati (putra dari pernikahannya dengan Ratu Waskita Jawi asal Pati, memerintah 1601-1613) dan mencapai puncaknya di bawah Sultan Agung.

Dari makamnya di Kotagede (meski gelar anumertanya “Seda ing Kajenar”), sejarah Jawa bergerak menuju babak baru. Sejarah mencatat, wafatnya seorang raja tak pernah sekadar napas terakhir, melainkan cermin dari ideologi, spiritualitas, dan narasi yang tak henti membentuk wajah peradaban Jawa hingga kini.

Keturunan Panembahan Senapati, yang lahir dari sejumlah istri seperti Nyimas Adisara, Kanjeng Ratu Mas Semangkin, dan Kanjeng Ratu Retna Dumilah, kelak akan memainkan peran sentral dalam intrik dan kemajuan Mataram hingga abad ke-18.


Referensi (yang disebutkan dalam teks):

  1. Babad Tanah Djawi (edisi Meinsma, hlm. 116–117)

  2. Babad Nitik Sarta Cabolek

  3. Serat Kandha (hlm. 670–672)

  4. Raffles, Thomas Stamford. The History of Java.

  5. Brouwer (Direktur Observatorium New Haven, merujuk Oppolzer, Canon der Finsternisse, Wina, 1887)

  6. Hageman

  7. Babad Momana

  8. Pijper (tentang simbolisme Pati-Mesir)

Exit mobile version