INDONESIAONLINE – Gredoan masih bertahan di tengah masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim). Sebagai tradisi mencari jodoh Gredoan selalu dilaksanakan tepat saat maulid nabi. Gredoan jadi salah satu bukti kegeniusan lokal leluhur dalam menyikapi kehidupan.

Selain untuk mendapat jodoh dan menjadi puncak memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, tradisi tersebut juga dapat mempererat tali persaudaraan dengan acara kumpul-kumpul.

Tak hanya itu saja, Gredoan sebagai tradisi cari jodoh  juga dapat menjadi hiburan karena banyaknya pertunjukkan yang disajikan.

Cara Cari Jodoh

Dalam tradisi Gredoan, orang-orang yang sudah cukup umur untuk menikah akan mencari calonnya sendiri.

Para pria biasanya akan memasukkan lidi dari janur kelapa ke lubang anyaman bambu atau biasa dikenal dengan gedheg milik gadis yang menjadi pilihannya.

Baca Juga  Mangkuk Ayam Jago: Sejarah dan Filosofinya

Nah, jika sang gadis setuju maka ia akan mematahkan lidi tersebut dan sang pria mulai berbicara dilengkapi dengan rayuan.

Dari rayuan itulah tradisi mencari jodoh ini dinamakan Gredoan karena berasal dari kata Gridu yang berarti menggoda. Biasanya juga dengan berbalas pantun.

Dalam proses berkenalan dan merayu satu sama lain belum bertemu dengan tatap muka langsung tapi dibatasi dengan dinding bambu. Sang gadis berada di dalam rumah dan sang pria di luar.

Namun ada perubahan, setelah lidi dipatahkan calon pasangan tersebut akan diundang masuk ke rumah untuk mengobrol di ruang tamu. Tentunya didampingi dengan orang tua sang gadis.

Setelah berhasil menaklukkan hati sang gadis dengan rayuan mereka maka sang pria akan segera melamar.

Baca Juga  Pinisi Nampang di Google Doodle Hari Ini, Rayakan Pengakuan UNESCO akan Warisan Budaya Indonesia

Tradisi Gredoan populer dilaksanakan di Desa Macan Putih. Namun di desa lain seperti Desa Gitik, Kecamatan Kabat juga melaksanakan tradisi sama. Bedanya pelaksanaan tidak harus saat Rabiulawal. Di desa tersebut pintu akan dibuka lebar.

Kemudian, setelah proses pengenalan bukan berarti melangkah ke pelaminan tidak mengalami hambatan. Terkadang pernyataan tidak setuju bisa keluar dari bibir orang tua.

Saat ini, tradisi gredoan telah berkembang mengikuti arus zaman. Perbedaan yang paling mencolok antara gredoan zaman dulu dan zaman sekarang, terletak pada alat dan tempat pelaksanaan nggridu (lelaki merayu si gadis).

Dulu alat yang digunakan adalah sodho (lidi), sedangkan sekarang menggunakan ponsel. Dulu tempat yang digunakan adalah gedheg (rumah berdinding bambu), sekarang berganti menjadi bangunan batu (ina/dnv).