INDONESIAONLINE – Eksekusi pengosongan Hotel Mandala Puri di Jalan Pangliman Sudirman nomor 81 Kota Malang menyisakan polemik serius. Pemilik hotel, Indah Sri Widoretnowati, mengaku menderita kerugian hingga puluhan miliar rupiah akibat dugaan praktik mafia tanah yang mengubah niat pinjaman menjadi jual beli paksa.
Kuasa hukum Indah, Robbi Prasetyo dari Kantor Advokat Didik Lestariyono, menjelaskan bahwa persoalan ini bermula pada tahun 2019. Saat itu, kliennya berniat meminjam uang sebesar Rp 1 miliar untuk keperluan renovasi Hotel Mandala Puri.
Proses administrasi utang piutang berlangsung lancar, dan Indah menandatangani sejumlah dokumen yang ia yakini sebagai kelengkapan pinjaman.
“Klien kami difasilitasi oleh rekannya dan hanya bermodal percaya kepada rekannya (berinisial S) yang mengurus dokumen kelengkapan utang piutang,” jelas Robbi saat memberikan keterangan, Selasa (10/6/2025).
Namun, Robbi mengungkapkan, serangkaian proses tersebut diduga berbalut rekayasa. Dokumen yang seharusnya terkait utang piutang, ternyata berisi beberapa dokumen lain yang mengarah pada jual beli.
“Ada Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 80, Akta Kuasa Menjual Nomor 81, Akta Perjanjian Pengosongan Nomor 82, hingga muncul Akta Jual Beli (AJB) Nomor 044 tahun 2020,” paparnya.
Akta Jual Beli Nomor 80 tanggal 19 Juli 2019, yang diduga merupakan akta rekayasa, mencantumkan nilai transaksi fantastis Rp 6 miliar. Padahal, Indah mengaku tidak pernah menerima uang sebesar itu secara utuh dan hanya mengetahui utang sebesar Rp 1 miliar.
Menurut Robbi, hal ini seolah menyatakan kliennya telah menjual hotelnya senilai Rp 6 miliar, meskipun jual beli itu sendiri tidak pernah dilakukan.
Kejanggalan lain juga terjadi pada aliran dana kompensasi pengosongan sebesar Rp 500 juta yang dijanjikan. Indah dengan tegas membantah telah menerima uang tersebut secara utuh. Ia hanya menerima Rp 50 juta, sementara Rp 300 juta diduga ditahan oleh notaris yang terlibat, dan Rp 150 juta dibawa oleh mantan pengacara pertamanya berinisial AC.
“Aliran dana yang tidak jelas ini menimbulkan banyak pertanyaan besar mengenai transparansi dan dugaan adanya ‘bancakan’ oleh oknum-oknum yang diduga mafia tanah,” tegas Robbi.
Dugaan jebakan hukum dan dokumentasi yang direkayasa semakin kuat dengan sorotan terhadap proses penandatanganan dokumen. Robbi menyebut, notaris diduga telah mempersiapkan segalanya dengan sangat matang, termasuk mendokumentasikan proses tersebut menggunakan foto dan video berkualitas tinggi dengan kamera DSLR.
Dokumentasi ini, yang kemudian menjadi akta otentik yang sah, justru menjerat Indah di pengadilan. “Indah bersikukuh bahwa ia menandatanganinya dalam kondisi tidak sadar dan merasa dijebak,” terangnya.
Akibat dugaan praktik mafia tanah ini, Hotel Mandala Puri yang nilai appraisalnya berdasarkan NJOP mencapai Rp 14 miliar dan nilai riilnya bahkan menyentuh Rp 30 miliar, kini beralih kepemilikan hanya dengan harga Rp 1 miliar.
“Ini merupakan kerugian yang sangat besar dan mencurigakan bagi klien kami,” imbuhnya.
Meskipun gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dari pemohon telah dikabulkan di berbagai tingkatan pengadilan hingga Mahkamah Agung, dan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari termohon ditolak, Robbi Prasetyo menyatakan akan terus berupaya mencari keadilan.
“Kami masih berupaya melakukan upaya hukum karena belum ada putusan di tingkat kasasi,” jelas Robbi.
Pihaknya optimistis dengan hasil kasasi nanti, mengingat ada beberapa hal yang mengganjal dalam aktivitas jual beli yang terjadi. Kasus pengosongan Hotel Mandala Puri ini menambah panjang daftar sengketa properti yang diduga melibatkan praktik mafia tanah di Malang Raya.
“Kami berharap agar publik dapat terus mengawal proses ini, memastikan hak-hak yang belum terpenuhi dapat ditegakkan, dan semua pihak yang terlibat, terutama oknum-oknum yang bermain curang, dapat dimintai pertanggungjawaban,” pungkas Robbi (rw/dnv).