Menyelami peran Ingabehi Katawangan, penguasa Kediri abad ke-17, dalam pusaran politik Mataram pasca-Trunajaya dan sebagai benteng terakhir Amangkurat III. Sebuah narasi tentang loyalitas, otonomi lokal, dan strategi pertahanan Jawa.
INDONESIAONLINE – Pada pengujung abad ke-17, riak-riak pemberontakan Trunajaya (1674–1679) masih menyisakan luka menganga di tubuh Kerajaan Mataram Islam. Wafatnya Amangkurat I dalam pelarian pada 1677, menyisakan tahta kepada Raden Mas Rahmat, yang kemudian bertakhta sebagai Amangkurat II.
Namun, singgasana yang ia warisi tak lebih dari kursi goyang di tengah badai. Legitimasi yang rapuh, pemberontakan yang belum padam, dan kekacauan internal menjadi ujian maha berat bagi sang raja baru.
Di tengah pusaran gejolak itu, wilayah Mancanegara Timur—terentang dari Blitar, Kediri, Jombang, hingga Panaraga—berubah menjadi medan perebutan pengaruh. Tokoh-tokoh seperti Trunajaya dengan semangat perlawanannya, Arya Kertosono dengan ambisi lokalnya, dan kemudian Ingabehi Katawangan, muncul sebagai figur kunci yang menentukan arah hegemoni Mataram.
Artikel ini menguak tabir peran dan posisi politik Ingabehi Katawangan sebagai penguasa Kediri, mengurai benang kusut dinamika kekuasaan di Mancanegara Timur dalam konteks pertahanan dan reorganisasi pasca-Trunajaya yang getir.
Pasca-Trunajaya: Konsolidasi Patah dan Otonomi Bersemi
Pemberontakan Trunajaya bukan sekadar kudeta biasa. Ia adalah goncangan tektonik yang menghantam inti kekuasaan Mataram, membuka gerbang desentralisasi yang tak terelakkan. Meskipun akhirnya dipadamkan oleh aliansi pasukan Mataram dan VOC pada 1679, dampaknya merombak total jaringan kekuasaan di Jawa.
Banyak kadipaten di Mancanegara Timur, termasuk Kediri, sempat terlepas dari genggaman pusat. Amangkurat II, dengan visi pemulihan, menyadari bahwa ia harus memulai dari nol: memetakan ulang wilayah dan meneguhkan kembali loyalitas para adipati [1].
Catatan administratif dari tahun 1678 dan 1679 menjadi saksi bisu upaya keras ini. Wilayah seperti Kertosono, Kadipaten Berbek, dan Pakuncen mulai diregistrasi ulang sebagai bagian integral dari Mataram. Namun, Kediri, dengan sejarah perlawanan dan pengaruh lama Trunajaya, tetap menjadi simpul problematik yang belum sepenuhnya tertaklukkan [2].
Ingabehi Katawangan: Penjaga Kediri di Arus Ganda Loyalitas
Di tengah kemelut ini, nama Ingabehi Katawangan mencuat. François Valentijn, penjelajah dan sejarawan VOC, dalam karyanya yang monumental, Oud en Nieuw Oost-Indien (1680–1684), menyebutnya sebagai pemimpin Kediri, menguasai wilayah strategis di sepanjang aliran Sungai Brantas [3]. Kedudukannya menempatkan Ingabehi Katawangan di persimpangan jalan: antara kehendak pusat Mataram yang mendesak dan realitas kekuatan lokal yang tak kalah kuat.
Valentijn mencatat bahwa terdapat 22 pemerintahan “dalam negeri” yang secara nominal masih di bawah Mataram, termasuk Kediri, meskipun hubungan politiknya seringkali bersifat kontraktual ketimbang subordinatif penuh [3]. Ini mengindikasikan bahwa para adipati lokal seperti Katawangan memiliki ruang gerak yang signifikan.
Data penyerahan hasil bumi pada tahun 1704, di masa Amangkurat III, menjadi indikator vital. Kediri, di bawah Ingabehi Katawangan, menyerahkan benang katun, kulit kerbau, dan pohon panjang [4].
Tribut ini bukan sekadar transaksi ekonomi; ia adalah instrumen politik untuk mengikat adipati secara simbolik dan praktis pada pusat kekuasaan Kartasura. Komoditas seperti benang katun dan kulit kerbau mencerminkan struktur ekonomi agraris-subsisten Kediri yang berkembang, sementara kayu pohon panjang mengindikasikan kekuatan logistik, mungkin untuk pembangunan atau pertahanan istana. Pajak, dalam konteks ini, adalah diplomasi dan kontrol yang halus.
Jauh sebelum itu, pada masa Sultan Agung (1613–1645), Kediri telah tercatat memiliki sekitar 4.000 cacah (unit keluarga petani) dengan pajak 1.000 real batu per tahun [5]. Angka ini menunjukkan potensi demografis dan ekonomi menengah yang signifikan, namun yang terpenting adalah letak strategisnya di jantung jalur Brantas.
Kediri adalah penyangga militer vital antara Kartasura dan daerah-daerah ‘liar’ di pesisir timur seperti Blambangan atau Panaraga.
Jaringan Kekuasaan Mancanegara Timur: Simpul-Simpul dalam Tirai Hierarki
Valentijn juga melukiskan kompleksitas struktur kekuasaan lokal di sekitar Kediri pada akhir abad ke-17. Ingabehi Wiradiredja berkuasa di Kertosono, sementara Ingabehi Wira Patra memiliki pengaruh kuat di Blitar. Ngrowo dipimpin oleh Tumenggung Wiradadaha, dan Pakuncen berada di bawah otoritas Ingabehi Derpa Joeda. Sementara itu, Berbek dikendalikan oleh seorang Demang bernama Watsiana [3].
Konstelasi ini mengindikasikan jaringan kekuasaan berlapis, di mana gelar “Ingabehi,” “Tumenggung,” dan “Demang” merepresentasikan hierarki sosial-politik khas Jawa. Para tokoh ini menunjukkan bahwa Kediri tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan simpul sentral dalam interaksi ekonomi dan politik antar-wilayah.
Warisan Politik dan Strategi Pertahanan: Kediri sebagai Narasi Daya Tahan
Sejak abad pertengahan, Kediri telah dikenal sebagai pusat keagamaan dan budaya Jawa Timur. Tradisi tutur, yang diperkuat oleh kehadiran tokoh spiritual seperti Sunan Bonang dan keturunan Majapahit yang pernah menetap di sana, menyimpan narasi perlawanan terhadap kekuasaan pusat Mataram [6]. Memori sejarah dan otoritas spiritual ini memberikan legitimasi moral yang kuat bagi para penguasa lokal.
Dalam konteks ini, kekuasaan Ingabehi Katawangan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga sakral. Ia berdiri di tanah yang menyimpan jejak perlawanan dan otoritas spiritual, sehingga kesetiaannya pada Mataram lebih merupakan strategi taktis daripada pilihan ideologis.
Pasca-Trunajaya, hubungan antara Kartasura dan Mancanegara Timur, termasuk Kediri, bergeser menjadi hubungan timbal balik yang penuh ketegangan. Pusat memerlukan pajak dan stabilitas, sedangkan daerah membutuhkan legitimasi dan perlindungan.
Namun, ketegangan laten tetap ada. Laporan Schrieke (1957) mencatat bahwa sebagian wilayah tidak tercatat dalam registrasi karena situasi tidak stabil dan perlawanan tersembunyi [2]. Banyak adipati, secara resmi tunduk pada Mataram, namun tetap mempertahankan otonomi dalam praktik.
Catatan administrasi dan sumber primer dari masa Amangkurat II hingga Amangkurat III menunjukkan upaya sistematis membangun pertahanan berbasis kadipaten, dengan potensi militer dan ekonomi yang terikat melalui pajak, logistik, dan loyalitas politik. Di bawah kepemimpinan Ingabehi Katawangan, Kediri tampil sebagai simpul penting pertahanan di timur, memadukan kekuatan militer, jaringan kekuasaan lokal, dan tradisi spiritual.
Katawangan mewakili masa transisi antara kemandirian lokal dan integrasi dalam sistem kerajaan Jawa yang berpusat di Kartasura. Ia adalah simbol diplomasi politik khas Jawa: tunduk tanpa sepenuhnya takluk, menyerah tanpa kehilangan otonomi.
Dalam sejarah panjang Jawa, Kediri tidak sekadar wilayah administratif, tetapi narasi daya tahan lokal. Nama Katawangan bergema sebagai simbol politik akomodasi sekaligus keteguhan identitas, mewakili semangat sekaligus dilema Kediri pada zamannya.
Katawangan: Perisai Terakhir Amangkurat III dalam Perang Saudara
Dalam pusaran konflik takhta Mataram pasca wafatnya Amangkurat II pada 1703, muncullah satu tokoh militer yang namanya nyaris tenggelam oleh debu sejarah: Ingabehi Katawangan. Tokoh ini bukan hanya simbol loyalitas pada Amangkurat III, tetapi juga menjadi perisai pertahanan terakhir sang Susuhunan di kawasan timur, khususnya Kediri.
Keberadaan Katawangan memperlihatkan bagaimana sisa-sisa struktur kekuasaan lokal tetap memainkan peran penting dalam dinamika politik Jawa awal abad ke-18 [7].
Konteks sejarahnya adalah Perang Suksesi Jawa I (1704–1708), perang saudara antara Amangkurat III dan Pakubuwana I yang didukung penuh oleh VOC. Kekuasaan Mataram terbelah: Kartasura menjadi pusat loyalis Pakubuwana, sementara Amangkurat III membangun basis kekuatan di wilayah timur, mencakup Kediri, Malang, dan Pasuruan. Di titik inilah Ingabehi Katawangan tampil sebagai komandan pasukan Kediri yang setia pada Amangkurat III [7, 8].
Pertempuran besar antara pasukan Kartasura (pendukung Pakubuwana I) dan Kediri meletus di Gulatik. Pangeran Purbaya, putra Pakubuwana I, memimpin ekspedisi ini. Katawangan memimpin pertahanan Kediri dengan gigih. Meski akhirnya kalah dan mundur, ia tetap menjadi garda terdepan loyalitas Amangkurat III.
Dalam laporan kepada rajanya, ia menyatakan telah terpukul mundur dan banyak prajuritnya gugur. Amangkurat III, setelah mendengar laporan ini, segera melarikan diri ke tenggara, menandai runtuhnya Kediri sebagai basis pertahanan [7].
Keterlibatan Katawangan bukan sekadar militer. Ia adalah bagian dari struktur kekuasaan lokal yang bertumpu pada tradisi feodal Jawa. Jabatan “Tumenggung” yang kerap melekat padanya menandakan ia adalah elite lokal, mungkin keturunan bangsawan lama Kediri yang diberi kepercayaan oleh pusat kekuasaan Mataram.
Dalam struktur semacam ini, loyalitas politik sangat dipengaruhi oleh kedekatan genealogis dan spiritual dengan raja. Katawangan, dalam banyak hal, mengingatkan kita pada model “prajurit santri” atau “kesatria kawula” dalam historiografi tradisional: prajurit yang mengabdi dengan sepenuh jiwa.
Setelah kekalahan di Gulatik, gelombang perang beralih ke Pasuruan. Untung Surapati, tokoh pemberontak anti-VOC sekaligus pelindung Amangkurat III, menjadi aktor kunci dalam pertempuran lanjutan. Namun, wafatnya Surapati akibat luka tembakan pada 1706 menjadi titik balik.
Ketika pasukan gabungan VOC, Pangeran Purbaya, dan elite pesisir Madura menyerbu Pasuruan, barisan loyalis Amangkurat III terpukul hebat. Putra Surapati, Raden Surahim dan Suradilaga, tidak memiliki karisma maupun kekuatan seperti sang ayah. Satu demi satu perwira mereka gugur. Bahkan mayat Surapati, ketika ditemukan, tidak mempan dibakar, sebuah peristiwa yang memperkuat mitos spiritual yang menyelubungi tokoh ini [8].
Sementara itu, Amangkurat III terus bergerilya, bergerak ke Malang dan Blitar. Di wilayah-wilayah ini, sisa-sisa kekuatan lokal tetap memberi perlindungan, termasuk mungkin dari jejaring yang pernah dipimpin oleh Katawangan. Namun pengaruhnya makin menipis.
Pasukan Pakubuwana I terus mendesak. Dalam pertempuran terakhir di Malang, barisan Pasuruan menerapkan taktik menyerupai burung pipit—menyerang tiba-tiba lalu mundur cepat—tetapi pada akhirnya mereka tetap dikalahkan [8].
Nama Katawangan tidak lagi muncul dalam catatan setelah peristiwa itu. Mungkin ia gugur di tengah runtuhnya Kediri, atau memilih bertahan dalam diam sebagai abdi di balik bayang-bayang sejarah. Yang jelas, perannya sebagai perisai terakhir Amangkurat III menunjukkan bahwa sejarah Jawa tidak semata ditentukan oleh raja dan kompeni, tetapi juga oleh para perwira lokal yang bertempur demi kehormatan dan sumpah kesetiaan.
Epilog: Astana Gedong dan Gema Nama Katawangan
Perjalanan menelusuri jejak Ingabehi Katawangan akhirnya membawa kita ke Astana Gedong di Desa Sukodono, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung—sebuah kompleks pemakaman kuno yang menjadi saksi lintas zaman. Di sinilah, di tanah yang pernah dikenal sebagai Kucen, pusat pemerintahan pada masa lalu, jasad sang perisai terakhir Amangkurat III beristirahat [9].
Astana Gedong menyimpan lapisan sejarah, mulai dari patung Buddha Aksobya yang kini berada di Museum Wajakensis hingga nisan berangka tahun 1548 yang menandakan tuanya kompleks ini. Seiring perubahan zaman, tempat yang dahulu disucikan itu beralih menjadi makam keluarga istana, namun ruh masa silam tetap bersemayam di setiap batu dan tanahnya.
Di antara sunyi pepohonan dan batu nisan yang renta, nama Katawangan kembali bersuara. Ia bukan sekadar tokoh yang hilang dalam catatan kronik, melainkan bagian dari kisah panjang Jawa yang bercerita tentang kesetiaan, kehormatan, dan keberanian yang menolak dilupakan.
Di balik namanya terpatri pula bayangan Amangkurat III, raja yang ia bela hingga titik akhir, mengikat keduanya dalam satu babak sejarah yang tak lekang oleh waktu. Ingabehi Katawangan adalah gema Kediri, sebuah otonomi yang menolak sepenuhnya takluk, sebuah identitas yang teguh di tengah badai kekuasaan.
Referensi:
[1] Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press. (Halaman 70-76 tentang Pemberontakan Trunajaya dan dampaknya)
[2] Schrieke, B. (1957). Indonesian Sociological Studies: Selected Writings of B. Schrieke, Part Two. W. van Hoeve. (Halaman 200-205 tentang reorganisasi wilayah Mataram pasca-Trunajaya dan masalah registrasi wilayah)
[3] Valentijn, F. (1724). Oud en Nieuw Oost-Indien. (Bagian tentang Jawa, khususnya wilayah Mancanegara Timur dan daftar penguasa lokal, kisaran tahun 1680-1684).
[4] Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), VOC 1704, Rapporten en resoluties over Javaanse zaken. (Laporan tentang penyerahan hasil bumi dari wilayah-wilayah di Jawa kepada Mataram/VOC, yang mencantumkan Kediri).
[5] De Jonge, J. K. J. (1862). De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indië. (Bagian tentang kondisi ekonomi dan administrasi Mataram pada masa Sultan Agung, termasuk data tentang cacah dan pajak Kediri).
[6] Tjandrasasmita, U. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Ciputat: Gaya Media Pratama. (Bagian tentang pusat-pusat keagamaan dan budaya Islam di Jawa Timur, termasuk Kediri).
[7] Pigeaud, Th. G. Th. (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Martinus Nijhoff. (Volume IV, halaman 250-255, tentang konflik antara Amangkurat III dan Pakubuwana I serta peran VOC).
[8] Olthof, W. L. (Penerjemah). (2007). Babad Tanah Jawi: An Annotated Translation from the Edition of J.J. Meinsma. KITLV Press. (Bagian tentang Perang Suksesi Jawa I, peran Amangkurat III, Untung Surapati, dan pertempuran di timur).
[9] Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur. (Dokumentasi Lapangan dan Inventarisasi Situs Astana Gedong, Desa Sukodono, Karangrejo, Tulungagung). (Laporan tentang identifikasi situs, temuan arkeologi, dan sejarah lokal yang terkait dengan pemakaman tersebut).