Rencana pembangunan gedung SPPG Pemkot Batu di dekat sumber mata air Gemulo memicu protes. Warga dan aktivis khawatir sejarah perusakan lingkungan terulang, menyoroti konflik antara program sosial dan kelestarian ekologis.
INDONESIAONLINE – Niat baik Pemerintah Kota (Pemkot) Batu untuk menghadirkan program makan bergizi gratis (MBG) bagi warganya justru memantik alarm darurat lingkungan. Sebuah rencana pembangunan gedung Satuan Pelayanan Program Pangan Bergizi (SPPG) di Kecamatan Bumiaji kini berdiri di persimpangan jalan antara kebijakan populis dan tanggung jawab ekologis.
Lokasi yang dipilih, hanya sepelemparan batu dari sumber mata air Umbul Gemulo dianggap sebagai ancaman nyata bagi denyut nadi kehidupan ribuan warga.
Bagi masyarakat di lereng Gunung Arjuno, Umbul Gemulo bukan sekadar nama. Ia adalah jantung yang memompa air bersih untuk tiga desa—Bulukerto, Sidomulyo, dan Bumiaji. Airnya mengaliri keran rumah tangga, mengisi petak-petak sawah, dan menjadi saksi bisu peradaban agraris di kota wisata ini.
Kini, ketenangan itu terusik. Rencana Pemkot Batu seolah membuka kembali luka lama.
“Ini seperti déjà vu,” ujar Manajer Advokasi WALHI Jawa Timur, Pradipta Indra Ariono, Kamis (3/7/2025).
Ia merujuk pada peristiwa 14 tahun silam saat warga bersatu padu menolak pembangunan Hotel The Rayja yang juga mengancam kelestarian Umbul Gemulo.
“Kami pernah berjuang habis-habisan untuk ini. Pemerintah seharusnya belajar dari sejarah, bukan mengulanginya,” tegasnya.
Kekecewaan warga memuncak setelah wacana ini terungkap, ironisnya dari dokumen resmi naskah sambutan Wali Kota Batu dalam rapat paripurna RPJMD pada 10 Juni 2025. Lokasi yang ditunjuk berada di Jalan Raya Punten, kurang dari 200 meter dari bibir mata air. Jarak ini, menurut para aktivis, berada dalam zona sakral yang seharusnya steril dari pembangunan masif.
“Ini bukan sekadar penolakan tanpa dasar. Ini adalah alarm bahwa ada yang keliru dalam perencanaan kota,” tegas Indra.
Aturan yang Dikesampingkan, Partisipasi yang Diabaikan
Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPA), yang menjadi garda terdepan penolakan, menyoroti cacat fundamental dalam rencana ini: abainya pemerintah terhadap aturan yang dibuatnya sendiri dan minimnya pelibatan publik.
Mereka menunjuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu Nomor 7 Tahun 2022. Dalam regulasi tersebut, kawasan sempadan mata air secara tegas diklasifikasikan sebagai kawasan lindung. Pembangunan apapun yang berpotensi mengubah bentang alam atau mencemari ekosistem diharamkan.
“Pembangunan gedung, dengan segala aktivitasnya kelak, jelas berisiko mengubah fungsi kawasan dan mencemari air. Prinsip partisipatif juga dilanggar. Rencana ini muncul tiba-tiba, tanpa dialog, seolah suara warga tidak penting,” sambung Indra.
Argumentasi mereka diperkuat oleh mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang mewajibkan negara menjamin hak rakyat atas air yang bersih, sehat, dan berkelanjutan. Pembangunan di zona inti mata air dinilai sebagai langkah yang bertentangan langsung dengan amanat tersebut.
Respons Pemerintah dan Jalan Buntu Audiensi
Di tengah gelombang protes yang kian membesar, Wali Kota Batu Nurochman, memberikan tanggapan yang normatif. Ia menyatakan akan mempertimbangkan masukan dari para pemerhati lingkungan.
“Kalau memang ada dampak terkait sumber mata air, kami menerima. Bisa dicarikan opsi tempat lain,” ujarnya saat dikonfirmasi terpisah.
Namun, ia menambahkan klausul, bahwa pembangunan SPPG sedapat mungkin di aset Pemkot supaya tidak merepotkan.
Pernyataan ini, bagi sebagian pihak, terdengar seperti solusi pragmatis yang belum menyentuh akar masalah: pentingnya memetakan aset pemerintah dengan mempertimbangkan sensitivitas ekologis dan sosial, bukan sekadar efisiensi birokrasi.
Sementara itu, surat permintaan audiensi yang dilayangkan FMPA bersama WALHI Jatim, Malang Corruption Watch, dan elemen masyarakat lainnya ke DPRD Kota Batu sejak 30 Juni 2025 lalu masih menggantung tanpa jawaban. Ruang dialog formal yang diharapkan menjadi jembatan antara aspirasi warga dan kebijakan pemerintah masih tertutup rapat.
Kini, bola panas berada di tangan Pemkot Batu. Proyek SPPG ini menjadi ujian sesungguhnya: apakah pemerintah akan memprioritaskan keberlanjutan ekologis dan mendengarkan suara warganya, atau tetap bersikukuh pada rencana awal atas nama efisiensi aset, dengan risiko mengorbankan sumber air yang tak ternilai harganya (pl/dnv).