INDONESIAONLINE – Kabupaten Blitar akan kembali menggelar jamasan Gong Kiai Pradah pada 29 September 2023 di Alun-alun Lodoyo, Kecamatan Sutojayan.

Jamasan ini merupakan ritual budaya yang paling ditunggu-tunggu. Rebutan air siraman jadi bagian yang tak terlepas dari jamasan. Air jamasan  diyakini bertuah dan dipercaya membawa keberuntungan, tolak bala dan menyembuhkan penyakit.

Gong Kiai Pradah adalah pusaka paling keramat yang dimiliki Kabupaten Blitar. Gong ini disiram dua kali dalam satu tahun di Alun-alun Lodoyo.

Banyak orang percaya bahwa air bekas siraman Gong Kiai Pradah dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat awet muda. Di samping itu, saat upacara merupakan saat paling baik untuk membeli alat-alat pertanian.

Masyarakat setempat percaya dengan memakai alat yang dibeli saat upacara akan mendatangkan kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama.

Masyarakat di sekitar Lodoyo juga menganggap siraman ini juga sebagai sarana memohon turun hujan.

Sejarah Gong Kiai Pradah

Menurut sejarahnya, Gong Kiai Pradah diyakini merupakan pusaka sakti milik pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Mataram Islam Panembahan Senopati.

Di Mataram, pusaka ini bernama Bendil Kiai Bicak.

Bentuk pusaka ini bukanlah keris atau tombak, melainkan alat musik gamelan.

Pusaka ini sampai ke Kabupaten Blitar setelah dibawa Pangeran Prabu yang terbuang dari Istana Kerajaan Mataram di Kartasura.

Sebelum menjadi milik Senopati dan menjadi pusaka milik Kerajaan Mataram Islam, Bendil Kiai Bicak adalah pusaka miliki Ki Ageng Selo, leluhur Panembahan Senopati berdarah Majapahit.

Baca Juga  Rekomendasi Film Tentang Kemerdekaan

Dalam Babad Tanah Jawa, Ki Ageng Selo terkenal sebagai tokoh sakti penangkap petir yang hidup di awal masa kekuasaan Kesultanan Demak.

Kesaktian Bendil Kiai Bicak dalam perang salah satunya terdokumentasikan dalam perang Pajang melawan Mataram.

Dikisahkan Raja Pajang Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir menganggap Mataram yang waktu itu berada dibawah kekuasaan Pajang melakukan Makar.

Joko Tingkir dengan baju kebesarannya sebagai Sultan Pajang naik gajah kemudian bergerak menuju Kotagede memimpin pasukannya menggempur Mataram.

Melihat Pajang menyerang Mataram dengan kekuatan besar, Panembahan Senopati menabuh pusaka Bendil Kiai Becak.

Bendil tersebut ditabuh berkali-kali dan mengeluarkan daya magis. Seluruh pasukan Pajang merasa pusing dan muntah-muntah.

Tidak kuat berperang, pasukan Pajang akhirnya pergi meninggalkan Mataram.

Perang saudara antara Pajang dengan Mataram itu berlangsung di kawasan Prambanan yang lokasinya cukup dekat dengan Kotagede.

Dalam cerita versi ini juga digambarkan Senopati memukul Bendil Kiai Bicak berulang ulang di tengah suasana erupsi Gunung Merapi dan kobaran api yang berasal dari jerami yang sengaja dibakar.

Situasi yang kian mencekam membuat Sultan Pajang dan pasukannya kabur meninggalkan arena perang. Mataram berhasil mengalahkan Pajang.

Sekitar seratus tahun kemudian, pusaka Bendil Kiai Bicak jatuh ke tangan Pangeran Prabu yang merupakan saudara tiri Sunan Pakubuwono I, raja ketujuh Mataram yang bertahta di Kartasura.

Pusaka tersebut berada di tangan Pangeran Prabu ketika Pakubuwono I dinobatkan sebagai raja. Dari sinilah awal kisah pusaka itu hijrah dari Jawa Tengah ke Blitar.

Baca Juga  Perang Saudara dan Penodaan Makam: Kisah Pangeran Sambernyawa

Dikisahkan kala itu Pangeran Prabu berseteru dengan Pakubuwono I yang merupakan saudara tirinya.

Pangeran Prabu ingin membunuh Pakubuwono I dan mengkudeta dari tahtanya. Saat Pakubuwono I dinobatkan sebagai raja, Pangeran Prabu ternyata sakit hati.

Peristiwa ini mungkin terjadi pada tahun 1704, saat suksesi kekuasaan di Mataram dari Sunan Amangkurat III ke Sunan Pakubuwono I.

Pangeran Prabu dihakimi setelah tertangkap basah hendak melakukan kudeta.

Pangeran Prabu menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada Pakubuwono I. Pangeran Prabu diampuni dan kemudian menyingkir ke Jawa Timur dan menetap di Lodoyo Kabupaten Blitar.

Di tempat baru ini Pangeran Prabu bertapa hutan belantara dan kemudian menyebarkan syiar Agama Islam.

Dalam perjalananya ke Jawa Timur, Pangeran Prabu membawa pusaka Bendil Kiai Bicak. Dalam perjalanannya yang panjang itu ia akhirnya tiba di hutan Lodoyo yang pada waktu itu sangat angker dan banyak dihuni binatang buas.

Dalam perjalanan ini Pangeran Prabu ditemani istrinya Putri Wandansari dan abdi setianya Ki Amat Tariman.

“Selain pusaka Kiai Bicak, Pangeran Prabu juga membawa wayang krucil. Pusaka Kiai Bicak itu yang sekarang kita kenal dengan Gong Kiai Pradah,” jelas Kepala Dinas Pariwasata dan Kebudayaan Kabupaten Blitar, Suhendro Winarso (ar/dnv).

 

Berita ini juga telah publish di www.jatimtimes.com