Mengungkap kronologi mencekam aksi perusakan fasilitas polisi di Malang oleh 13 pemuda, termasuk pelajar. Dari konvoi 20 motor hingga kerugian Rp 50 juta, apa motif sebenarnya di balik serangan anarkis dini hari ini?
INDONESIAONLINE – Keheningan Minggu (31/8/2025) dini hari di Kabupaten Malang terkoyak oleh deru puluhan mesin motor dan suara kaca pecah yang berhamburan. Sebuah aksi anarkis terkoordinasi, bak serangan kilat, menyasar empat simbol negara sekaligus: tiga Pos Polisi Lalu Lintas dan satu Kantor Polsek. Kurang dari 24 jam, Polres Malang berhasil membekuk 13 pemuda yang ironisnya sebagian besar masih berstatus pelajar.
Di balik penangkapan ini, tersimpan sebuah teka-teki besar: Apa yang mendorong sekelompok anak muda berusia 15 hingga 22 tahun ini nekat melakukan perusakan beruntun terhadap fasilitas kepolisian?
Kapolres Malang AKBP Danang Setiyo P.S dalam konferensi pers pada Senin (1/9/2025), memaparkan profil para terduga pelaku yang beragam. Mereka bukan berasal dari satu kelompok homogen, melainkan campuran pelajar, mahasiswa, hingga pekerja swasta yang berasal dari berbagai kecamatan di Malang seperti Tajinan, Bululawang, dan Wagir, bahkan ada yang teridentifikasi dari Kabupaten Pasuruan.
“Total 13 orang sudah kami amankan. Latar belakang mereka beragam dan ini yang sedang kami dalami lebih lanjut,” ungkap Danang.
Kronologi Serangan Empat Titik
Jarum jam baru menunjukkan pukul 03.00 WIB ketika drama ini dimulai. Sekitar 20 sepeda motor membentuk konvoi liar, bergerak dengan target yang jelas. Sasaran pertama adalah Pos Polisi Kebonagung. Tanpa basa-basi, mereka menghujani pos tersebut dengan lemparan batu dan hantaman bambu.
“Setelah dari Kebonagung, rombongan bergerak ke arah selatan. Mereka kemudian melempari Kantor Polsek Pakisaji, bahkan menggunakan batu paving hingga beberapa fasilitas rusak parah,” lanjut Danang.
Aksi brutal itu tidak berhenti di sana. Konvoi terus bergerak menyisir wilayah Kepanjen, melampiaskan amarah mereka pada dua titik lagi: Pos Laka Kepanjen dan Pos Pantau di Simpang Empat Kepanjen. Dalam sekejap, empat fasilitas publik milik negara porak-poranda, meninggalkan pecahan kaca dan kerugian materi yang ditaksir mencapai Rp 50 juta.
Aparat yang disiagakan tak tinggal diam. Aksi kejar-kejaran di gelap malam pun tak terhindarkan. Hasilnya, satu terduga pelaku, SDA (22), warga Tajinan, berhasil diringkus di lokasi kejadian. Ia menjadi kunci pertama untuk membuka kotak pandora ini.
Dari penangkapan SDA, tim Satreskrim bergerak cepat. Dua pemuda lainnya, MRAT (19) seorang pelajar dari Bululawang, dan FPA (15) dari Wagir, diciduk saat masih berada di sekitar lokasi perusakan di Kepanjen.
“Pengembangan terus dilakukan. Dalam hitungan jam, kami berhasil mengamankan 10 pemuda lain dari berbagai wilayah. Ini menunjukkan keseriusan kami,” tegas Danang.
Barang bukti yang diamankan pun menjadi saksi bisu aksi mereka: sepeda motor yang digunakan, pakaian, ponsel, obeng, sarung tangan, hingga bongkahan batu paving yang menjadi ‘senjata’ utama.
Kini, 13 pemuda itu harus menghadapi konsekuensi hukum yang serius. Mereka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan atau kekerasan terhadap barang secara bersama-sama, dengan ancaman hukuman penjara yang tidak ringan.
“Kami pastikan proses hukum berjalan profesional dan transparan. Tidak ada toleransi untuk segala bentuk tindakan anarkis,” pungkas Kapolres.
Namun, di luar proses hukum, sebuah pertanyaan besar masih menggantung di benak publik Malang. Apa yang memicu amarah kolektif para pemuda ini? Apakah ini sekadar aksi kenakalan remaja yang kebablasan, ekspresi frustrasi sosial, atau ada provokator yang sengaja menggerakkan mereka untuk menciptakan kekacauan?
Penangkapan 13 pelaku mungkin telah menghentikan aksi perusakan lebih lanjut, tetapi mengungkap motif sesungguhnya di balik “Malam Anarki” ini akan menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi aparat kepolisian (al/dnv).