INDONESIAONLINE – “Kujunjung perempuan tinggi-tinggi … Aku bersimpuh di hadapan mereka, dan layaknya tiap pemuja sejati, aku merasa diriku tak layak di hadapan obyek yang kupuja.”

Nikolai Tesla

Begitulah Nikolai Tesla, bekas asisten di laboratorium Thomas Edison, penemu embrio radar, radio, dan desain perangkat gempa buatan mengungkapkan pemikirannya terkait hidupnya yang melajang sepanjang hayat.

Melajang atau menjoblo atau hidup tanpa pasangan dalam sebuah ikatan pernikahan ternyata memiliki sejarah panjang dalam kehidupan para filsuf dan pemikir dunia yang karyanya masih memesona sampai saat ini.

Tesla adalah bagian terkecil. Tercatat, daftar filsuf dan pemikir dunia yang mengabadikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan, filsafat, religi, dengan hidup melajang adalah Leonardo da Vinci, Copernicus, Newton, Hume, Descartes, Leibniz, Voltaire, Spinoza, Pascal, Immanuel Kant, serta banyak nama lainnya.

Melajang menjadi jalan pedang bagi mereka. Dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi tentunya.

Voltaire

Voltaire yang memiliki nama lengkap Francois-Marie Arouet (1694-1778), penulis dan filsuf Prancis pada era pencerahan memilih melajang sampai mati. Bukan karena dirinya membenci wanita atau homo seperti Tesla.

Voltaire yang dikenal dengan filsafatnya yang tajam, dukungan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan sipil, termasuk kebebasan beragama dan hak mendapatkan pengadilan yang patut. Dikenal memiliki banyak affair dengan perempuan, termasuk dengan Madame du Chatelet. Partner intelektual sekaligus keponakannya sendiri yang jarak usianya 14 tahun lebih muda.

François-Marie Arouet yang dikenal dengan nama pena Voltaire.

Karena sudah menikah dengan seorang bangsawan yang membayar Voltaire untuk mengajari Madame du Chatelet bahasa Inggris, mustahil bagi Voltaire untuk melamar sang pujaan hati. Sehingga membuatnya mempertahankan hubungan gelap sambil tetap melangkah di jalan pedang, membujang.

Immanuel Kant

Lain cerita dengan filsuf kelahiran Konigsberg, Kerajaan Prusia, (22 April 1724-12 Februari 1804) dari keluarga pembuat baju zirah bernama Immanuel Kant. Sosok yang sepanjang hidupnya diabadikan untuk ilmu pengetahuan dan dikenal sebagai jam hidup paling presisi dibanding dengan jam penduduk kota.

Julukan itu dikarenakan disiplinnya Kant dalam menjalani rutinitas hidupnya. Dari bangun pagi, minum teh, merokok cerutu, memberi kuliah, makan siang, jalan-jalan, belajar dan menulis hingga tidur malam, semua diatur dengan sangat cermat dan disiplin.

Baca Juga  Jejak Panjang Akira Toriyama
Immanuel Kant

Immanuel Kant yang sepanjang hidupnya tak pernah berpergian jauh, aktivitasnya hanya sejauh 20 kilometer dari kota tempat tinggalnya. Bukan tidak menyukai perempuan. Bahkan tercatat dalam buku karya F. Kaulbach, Immanuel Kant (1969) pernah hampir menikah. Namun, ketika ia menyadari bahwa pernikahan itu akan membuat ia tidak bisa lagi hidup dengan maksim-maksim yang ditentukannya sendiri, ia membatalkan niat tersebut.

Kant, bukan tipikal Tesla yang pemalu dan lebih suka berhubungan dengan merpati dibandingkan perempuan. Ia punya banyak teman para wanita terkemuka di Konigsberg dan mereka menyimpan ketertarikannya pada Kant. Pintar, kritis dan cerdas, mengetahui berbagai hal dan sikap gentleman-nya telah membuat Kant yang juga pintar menyenangkan hati wanita, menjadi idola.

“Kalau kita melihat dia berbicara dengan kaum wanita, tidak ada yang menyangka bahwa ia menghasilkan pemikiran filsafat yang revolusioner,” kata para perempuan pemujanya setelah Kant meninggal dengan status lajang.

Soren Kierkegaard

Filsuf legendaris  Soren Kierkegaard (1813-1855) asal Denmark adalah contoh lainnya. Sempat bertunangan dengan Regina Olsen, 1840, Kierkegaard yang bimbang akhirnya memutuskan hubungan yang telah berjalan 2 tahun itu.

Soren Kierkegaard

Bapak eksistensialisme  ini tak yakin mampu menjadi suami yang baik. Sang gadis pun kawin dengan orang lain. Dan Kierkegaard bersikukuh untuk tidak move on.

Dalam buku karyanya berjudul Either/Or, Februari 1843, dengan nama samaran Victoria Eremita, Kierkegaard menuliskan hubungannya yang kandas dengan Regina.

“Jika kau kawin, kau akan menyesal; kau tidak kawin, juga menyesal … kau mempercayai seorang gadis, kau akan menyesal; kau tidak percaya, juga akan menyesal … kau gantung diri, kau menyesal; tidak gantung diri juga menyesal … kau gantung diri atau tidak gantung diri, kau akan menyesali keduanya. Inilah, tuan-tuan, puncak dari segala kearifan praktis”.

Contoh lain adalah seorang astronom, matematikawan, dan ekonom berkebangsaan Polandia yang mengembangkan teori heliosentrisme, Nicolaus Copernicus (19 Februari 1473-24 Mei 1543 pada umur 70 tahun). Copernicus sampai ajal menjemput pun tak memiliki istri dan bersetia melajang.

Baca Juga  Terkubur 2.000 Tahun, Lukisan-lukisan Ini Ditemukan di Kota Kuno Pompeii

Masih banyak nama filsuf dan pemikir besar dunia lainnya yang memilih jalan pedang untuk tidak mengikatkan dirinya dalam sebuah pernikahan.

Mungkin, teks Symposium Sokrates yang menyampaikan, “…penunggang kuda yang paling ahli, tak pernah memelihara kuda jinak.” Bisa menjadi salah satu alasan para filsuf dan pemikir besar dunia barat memilih jalan pedang pada akhirnya.

Kutipan tersebut berlaku buat laki-laki maupun perempuan yang menyiratkan bahwa kehidupan berpasangan dalam berbagai bentuknya seringkali menjadi sumber masalah bagi mereka yang menjalani kehidupan paripurna sebagai intelektual. Orang-orang yang dalam kehidupan pribadinya lebih banyak berpikir tentang hal di luar dirinya.

Di era Newton (1643-1727) penemu teori gravitasi, yang jangankan menikah, berpacaran pun tidak pernah sepanjang hidupnya. Kehidupan melajang bukan hal yang aneh dan ganjil di era itu. Bahkan ada kalimat yang menuliskan, musuh pengetahuan bukanlah iman, melainkan godaan berumah tangga. Menikah, beranak, lalu membina keluarga bisa menurunkan produktivitas olah pikir.

Di abad 20, pernyataan di era Newton itu dilakukan penelitian oleh National Science Foundation. Dimana, Satoshi Kanazawa, psikolog dari Universitas Canterbury, Selandia Baru, menganalisis 280 biografi matematikawan, fisikawan, ahli kimia, dan biolog-mayoritas laki-laki.

Dari 280 ilmuwan itu, yang paling sedikit mengalami penurunan produktivitas berkarya pada usia akhir 50-an adalah yang tidak menikah. Sedangkan mereka yang menikah semakin sedikit meneliti dan menulis pada usia 50-an, dengan penurunan volume publikasi yang sangat drastis.

“Produktivitas ilmuwan laki-laki cenderung menurun setelah menikah,” ujar Kanazawa, seperti dilansir Science Mag.

Sedangkan, penelitian lainnya dengan subjek ilmuwan berjenis kelamin perempuan di Amerika, hasilnya 66 persen mereka cenderung memilih melajang.

*Dari berbagai sumber diolah