Beranda

Kepala Desa Kedunglumpang Jombang Jadi Tersangka Pelecehan Seksual, Polisi Belum Lakukan Penahanan

Kepala Desa Kedunglumpang Jombang Jadi Tersangka Pelecehan Seksual, Polisi Belum Lakukan Penahanan
Ilustrasi pelecehan seksual (Ist)

Kepala Desa Kedunglumpang, Jombang, JP, ditetapkan tersangka pelecehan seksual terhadap warganya. Polisi belum menahan karena ancaman hukuman di bawah 5 tahun. Kasus ini menyoroti implementasi UU TPKS.

INDONESIAONLINE – Kepala Desa Kedunglumpang, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang berinisial JP telah resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap salah satu warganya. Meskipun status tersangka telah disematkan, pihak kepolisian hingga kini belum melakukan penahanan terhadap JP, memicu pertanyaan mengenai efektivitas penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual.

Kasus ini bermula dari laporan seorang wanita berinisial SNA (25) ke Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Jombang pada Senin, 4 Agustus 2025. SNA melaporkan tindakan pelecehan seksual yang ia alami saat mengurus surat-menyurat di kantor Desa Kedunglumpang.

“Sudah kami tetapkan tersangka. Dan berkasnya sedang dilengkapi oleh penyidik,” terang Kepala Satreskrim Polres Jombang, AKP Margono Suhendra, Rabu, 8 Oktober 2025.

Kronologi Dugaan Pelecehan dan Penerapan UU TPKS

Insiden dugaan pelecehan tersebut terjadi pada Sabtu, 2 Agustus 2025, sekitar pukul 11.00 WIB. SNA datang ke kantor desa bersama anak dan adiknya untuk mengurus surat penting. Saat itu, di dalam kantor desa juga terdapat warga lain berinisial USW yang sedang mengambil bantuan sembako.

Setelah USW, serta anak dan adik SNA meninggalkan lokasi, hanya tersisa SNA dan JP di dalam ruangan. Dalam kondisi sepi itulah, JP diduga melakukan pelecehan seksual terhadap SNA. SNA kemudian segera meninggalkan kantor desa setelah mendapatkan surat yang diperlukan.

Atas perbuatannya, JP dijerat dengan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal ini secara spesifik mengatur tentang perbuatan kekerasan seksual nonfisik yang dapat mencakup pelecehan verbal, tindakan merendahkan martabat, atau perbuatan lain yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengganggu ketenangan korban.

Alasan Tidak Ditahan: Ancaman Hukuman di Bawah Lima Tahun

Meski berstatus tersangka, polisi menyatakan tidak melakukan penahanan terhadap JP. “Ancaman di bawah 5 tahun penjara. Jadi enggak ditahan,” jelas AKP Margono Suhendra.

Ketentuan hukum acara pidana di Indonesia memang memungkinkan tersangka tidak ditahan jika ancaman hukuman maksimal di bawah lima tahun penjara, kecuali ada kondisi tertentu seperti kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya.

Keputusan ini, bagaimanapun, kerap menjadi sorotan publik dan aktivis perempuan yang mengadvokasi penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih tegas.

Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat, bahkan melibatkan figur publik atau pemegang kekuasaan lokal. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya.

Fenomena “gunung es” dalam pelaporan kasus kekerasan seksual juga masih menjadi tantangan serius. Banyak korban enggan melapor karena rasa malu, takut akan stigma, atau kurangnya kepercayaan terhadap sistem hukum.

Kehadiran Undang-Undang TPKS sejatinya diharapkan dapat memberikan payung hukum yang lebih komprehensif dan perlindungan yang lebih baik bagi korban. Namun, implementasi di lapangan, termasuk terkait penahanan tersangka, masih menjadi diskusi krusial di kalangan praktisi hukum dan masyarakat.

Kasus Kepala Desa Kedunglumpang ini akan menjadi ujian bagi sistem peradilan dalam menindaklanakan UU TPKS secara adil dan transparan, sekaligus memberikan keadilan bagi korban pelecehan seksual (ar/dnv).

Exit mobile version