Beranda

Kirab Tumpeng Slorok: Menggali Akar Sejarah dan Makna Tradisi Bersih Desa

Kirab Tumpeng Slorok: Menggali Akar Sejarah dan Makna Tradisi Bersih Desa
Peserta Kirab Tumpeng Desa Slorok siap untuk mengarak keliling desa dalam rangkaian Bersih Desa (io)

INDONESIAONLINE – Di tengah riuhnya modernitas, banyak tradisi Nusantara yang tetap lestari dan menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah Bersih Desa, sebuah upacara adat yang sarat akan nilai spiritual dan sosial. Puncak dari perayaan ini sering kali ditandai dengan prosesi yang dikenal sebagai Kirab Tumpeng, di mana gunungan hasil bumi dan tumpeng diarak keliling desa.

Hal ini pula yang digelar di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim). Di mana, kirab tumpeng yang diikuti oleh 29 RT (Rukun Tetangga) dan 7 Rukun Warga (RW), tak hanya sekadar pawai yang meriah. Di baliknya tersimpan jejak sejarah panjang, filosofi mendalam, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. 

“Kirab Tumpeng yang digelar ini sebagai wujud syukur sekaligus menapaki jejak sejarah desa. Tentunya juga untuk melestarikan kearifan lokal di tengah era modern saat ini,: ucap Kepala Desa Slorok Misdi, Kamis (17/7/2025).

Akar Tradisi: Dari Penghormatan Leluhur hingga Rasa Syukur

Untuk memahami Kirab Tumpeng, kita harus terlebih dahulu memahami esensi dari Bersih Desa. Tradisi ini berakar pada sistem kepercayaan masyarakat agraris kuno di Nusantara, jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan Islam.

Ada tiga fase menurut Misdi terkait kirab tumpeng yang digelar dan menjadi pertama setelah pandemi Covid-19. Di mana di fase pandemi seluruh kegiatan yang melibatkan banyak orang dibatasi dan kegiatan-kegiatan bisa dianggap mati suri.

Pertama, Era Animisme dan Dinamisme. Awalnya, kata Misdi, masyarakat percaya bahwa alam semesta dihuni oleh roh-roh gaib, baik yang melindungi maupun yang mengganggu. Untuk menetralisir dimensi negatif maka digelarlah bersih desa.

“Bersih Desa merupakan ritual untuk menghormati roh leluhur (danyang desa) yang diyakini sebagai penjaga dan pendiri desa. Tujuannya untuk membersihkan desa dari segala energi negatif, wabah penyakit, dan malapetaka, sembari memohon berkah kesuburan tanah dan keselamatan bagi seluruh warga,” terangnya.

Di fase kedua adalah adanya pengaruh Hindu-Buddha. Masuknya kebudayaan Hindu-Buddha memperkaya ritual ini. Konsep “gunungan” atau tumpeng yang berbentuk kerucut mulai populer.

Bentuk ini adalah representasi dari Gunung Mahameru, gunung suci yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Dengan membuat tumpeng, masyarakat seolah-olah menghadirkan “gunung suci” ke tengah-tengah mereka sebagai wujud persembahan dan rasa syukur tertinggi kepada Sang Pencipta dan para dewa yang memberikan kemakmuran.

Fase ketiga akulturasi dengan Islam. Kedatangan Islam di tanah Jawa tidak serta-merta menghapus tradisi ini. Para Walisongo, dengan pendekatan dakwah yang bijaksana, melakukan akulturasi budaya.

Tradisi Bersih Desa dan tumpeng tetap dipertahankan, namun maknanya diisi dengan nilai-nilai Islam. Doa-doa dan mantra kuno digantikan dengan lantunan doa-doa Islami. “Tumpeng tidak lagi dipersembahkan untuk dewa atau roh, melainkan sebagai wujud rasa syukur (syukuran) kepada Allah SWT atas rezeki, panen yang melimpah, dan keselamatan yang diberikan,” ucap Misdi.

Filosofi Tumpeng: Simbol Kehidupan dan Ketuhanan

Tumpeng itu sendiri adalah sebuah mahakarya filosofis. Setiap elemennya memiliki makna. Bentuk Kerucut, melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Puncaknya mengarah ke atas sebagai simbol pengharapan dan doa kepada Sang Pencipta.

Nasi kuning yang menjadi bahan utama melambangkan kemakmuran dan kekayaan. Sementara itu, aneka lauk pauk yang mengelilinginya (lauk pauk ingkung) merepresentasikan seluruh isi alam semesta—hewan dan tumbuhan—yang menjadi sumber kehidupan bagi manusia.

“Dalam filosofi Jawa, tumpeng sering diartikan sebagai akronim dari kalimat Yen metu kudu mempeng. Artinya, Jika keluar harus bersungguh-sungguh. Ini adalah nasihat agar manusia menjalani hidup dengan semangat, kerja keras, dan niat yang lurus,” tutur Misdi.

Evolusi Menjadi “Kirab”: Dari Ritual Tertutup Menjadi Perayaan Komunal

Awalnya, upacara Bersih Desa mungkin lebih bersifat sakral dan tertutup, dilaksanakan di tempat-tempat keramat seperti punden, sumber mata air, atau makam leluhur. Namun, seiring berjalannya waktu, ritual ini berkembang menjadi sebuah perayaan komunal yang melibatkan seluruh warga.

Prosesi kirab atau arak-arakan muncul sebagai cara untuk menunjukkan kebersamaan (gotong royong). Kirab adalah panggung bagi seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi.Ini adalah manifestasi nyata dari semangat gotong royong.

Masih menurut Misdi, tumpeng yang diarak keliling desa dipercaya dapat menyebarkan berkah dan energi positif ke seluruh penjuru wilayah. Prosesi ini seolah-olah membersihkan setiap sudut desa secara simbolis.

“Terpenting dari itu semua kirab tumpeng menjadi cara masyarakat untuk secara terbuka menunjukkan rasa syukur mereka. Semakin besar dan meriah gunungan yang dibuat, semakin besar pula wujud syukur desa tersebut,” pungkas Misdi.

Exit mobile version