INDONESIAONLINE – Perang Jawa yang pecah pada 1825 bukan hanya kisah perlawanan besar terhadap kolonialisme, tetapi juga melahirkan legenda-legenda yang melekat di ingatan masyarakat. Salah satunya adalah cerita tentang seekor kuda yang tak kalah heroik dari para prajuritnya. Namanya Getayu — kuda kesayangan Pangeran Diponegoro— yang menjadi simbol kekuatan spiritual dan kehormatan dalam perjuangan.
Pelarian dari Tegalrejo
Dalam catatan Babad Diponegoro, tercatat bahwa pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro meloloskan diri dari kepungan Belanda di Tegalrejo bersama Getayu. Kuda ini digambarkan melangkah seperti pengantin yang menjemput mempelai, tetap tenang di tengah dentuman meriam.
Bagi Diponegoro, Getayu bukan sekadar tunggangan, melainkan sahabat sekaligus perpanjangan tekad spiritualnya.
Mengamuk di Trucuk
Pertengahan 1825, di Trucuk, Progo selatan, pasukan Diponegoro berada di bawah tekanan. Saat kuda-kuda bangsawan, termasuk Getayu, digiring oleh pasukan kavaleri Belanda, tiba-tiba Getayu melepaskan diri, menyeruduk, dan menendang para serdadu. Anehnya, peluru dan pedang tak melukainya. Empat tentara Belanda bahkan tewas terperosok ke lumpur di Kali Saka ketika mengejarnya. Kejadian ini segera dianggap sebagai bukti perlindungan gaib.
Gagalnya Serangan ke Dagen
Pada Oktober 1825, Belanda berupaya menyergap Diponegoro di Desa Dagen saat ia hendak menggelar Grebeg Maulud. Dua pasukan besar di bawah Mayor Sollewijn dan Kapten Van de Polder mengepung dari timur dan utara. Namun, perlawanan rakyat di Geblak menghalangi laju mereka, dan Diponegoro berhasil menyeberangi Sungai Progo.
Pelarian dari Jumeneng
Awal November, operasi besar Belanda di bawah Jenderal Van Geen, Letkol Cochius, dan Mayor Sollewijn kembali gagal. Hujan deras, medan berat, dan informasi keliru dari pemandu membuat pengepungan di Jumeneng sia-sia. Diponegoro, Kiai Maja, dan Pangeran Ngabehi sempat terjebak tetapi berhasil menerobos ke Mrijan, lalu bergerak ke Langon dan Salak Mambu.
Bagi Diponegoro, perjalanan ini juga menjadi laku spiritual — menjauh ke pegunungan dan tepi sungai untuk tirakat sambil terus memimpin perang.
Pertempuran Bedoyo–Krapyak
Pada 20–21 November 1825, pertempuran sengit terjadi di antara Bedoyo dan Krapyak. Mayor Sollewijn bersama Pangeran Soeriadiningrat menghadapi gelombang besar pasukan Diponegoro. Lebih dari seratus pejuang gugur, sementara pihak Belanda kehilangan satu prajurit kavaleri.
Perlawanan rakyat kian masif, melibatkan petani, santri, perempuan, dan anak-anak sebagai pendukung logistik dan intelijen.
Asal-Usul Diponegoro
Pangeran Diponegoro, lahir sebagai Raden Mas Ontowiryo, adalah keturunan garis bangsawan Majapahit, Pajang, dan Mataram Islam. Ibunya, Raden Ayu Mangkorowati, berasal dari trah Wasi Bageno — keturunan Prabu Brawijaya V— yang bersambung ke Pangeran Benowo dari Pajang. Dari warisan ini, Diponegoro memadukan darah ksatria dengan jiwa santri, membentuk legitimasi politik dan spiritual yang kuat.
Bagi Diponegoro, perang melawan Belanda bukan hanya soal kekuasaan, melainkan perang nasab, perang iman, dan perang melawan sejarah yang dianggap pincang. Ia tampil sebagai pewaris luka sejarah, membawa dendam turun-temurun sekaligus tekad untuk memulihkan martabat tanah Jawa. (ar/hel)