INDONESIAONLINE – Ada seorang nabi yang diutus kepada bangsa Persia kuno. Nabi ini diperkirakan diutus pada abad ke-6 atau abad ke-7 sebelum Masehi.

Itu berarti bahwa nabi tersebut hidup hampir sezaman dengan Raja Cyrus Agung, yang merupakan raja pertama dinasti Achaemenid di Persia.

Raja Cyrus sendiri adalah seorang penganut agama tauhid yang menyembah hanya kepada Tuhan tunggal. Diketahui  Cyrus Agung adalah Zulkarnain yang diceritakan dalam Al-Quran.

Nabi yang diutus hampir sezaman dengan Cyrus Agung ini bernama Zarathustra atau dengan nama lain dikenal sebagai Zoroaster. Nama Zarathustra memiliki arti “dia yang memiliki unta-unta tua.”

Nabi Zarathustra membawa ajaran penyembahan kepada Tuhan yang tunggal yang disebut Ahura Mazda. Secara etimologis, “Ahura” berarti Tuhan dan “Mazda” adalah kebijaksanaan. Ajaran di bawahnya disebut Zoroastrianisme.

Setelah beberapa waktu, nama Zarathustra sering disebut sebagai “Majusi.” Kata “Majusi” merupakan pelafalan Arab dari kata Persia kuno “magus.”

Magus, jika diartikan, adalah kelompok pendeta atau penyihir.  Kata “magus” juga kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris melalui bahasa Yunani menjadi “magic” atau “magician.”

Dalam kepercayaan Majusi, Tuhan kebaikan atau Tuhan yang bersifat baik disebut “Ahura Mazda”. Sedangkan Tuhan keburukan mereka sebut dengan “Ahriman.”

Agama Zarathustra memiliki beberapa kesamaan dengan agama Samawi, seperti mengajarkan adanya hari kebangkitan, jembatan penghakiman, serta Tuhan Yang Esa dengan 10 nama dan sifatnya yang dilafalkan dalam ritual peribadatan.

Namun, menurut beberapa riwayat, setelah melalui beberapa zaman, agama Zoroaster yang dahulu menyembah Allah SWT berubah menjadi penyembah api. Artinya, agama Zoroaster atau Majusi zaman dahulu tidak sama dengan yang sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi campur tangan manusia dalam ajaran tersebut, yang akhirnya mengakibatkan ajaran ketauhidan Zoroaster menjadi ternodai.

Dulu, mereka menganggap api hanya sebagai cahaya dari Tuhan. Mungkin jika di zaman sekarang, api bisa dianggap sama dengan lampu. Maka ketika beribadah, mereka harus memiliki api untuk menerangi ruangan tersebut, sehingga mereka dapat lebih berkonsentrasi dalam beribadah.

Baca Juga  Nyi Roro Kidul Disebut Ratu Pantai Selatan, Ini Yang Sebenarnya

Di Islam, tidak dianjurkan untuk salat di tempat gelap meskipun tidak ada larangan khusus untuk salat di tempat gelap. Hukumnya adalah mubah, tetapi bisa menjadi makruh jika kondisi gelap mengganggu konsentrasi dalam salat. Oleh karena itu, lebih baik salat di tempat yang terang.

Mungkin persamaannya seperti itu, tapi ajaran Zoroaster sekarang berubah dan menganggap kalau api adalah Tuhan. Api bisa dianggap menjadi salah satu wujud dari Tuhan.

Secara logika, jika api adalah Tuhan, maka Tuhan akan mati jika disiram air. Dan, jika terjadi kebakaran, maka artinya Tuhan sedang mengamuk sehingga melahap semua yang mengenainya.

Allah SWT berfirman: “ Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? Iblis menjawab; Engkau ciptakan aku dari api sedang dia (Adam) engkau ciptakan dari tanah.” Al-Quran Surat Al-Araf Ayat 12.

Lantas seperti apakah kisah Nabi Zarathustra yang diutus Allah kepada kaum Majusi? Dilansir dari akun Tiktok @Jazirah ilmu  berikut kisahnya.

Dalam sejarah Persia, Zarathustra dianggap sebagai seorang tokoh penting, bahkan ada yang menyebutnya sebagai nabi. Namun, terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai kehidupannya.

Ada yang menyatakan bahwa Zarathustra hidup antara tahun 1700-an sebelum Masehi. Tetapi ada juga yang menyebutkannya hidup pada tahun 600-an sebelum Masehi.

Beberapa literatur menyebutkan daerah tempat Zarathustra hidup dikaitkan dengan Kekaisaran Persia yang dipimpin oleh Cyrus The Great.

Dua ratus tahun kemudian, agama ini diterima oleh para raja Persia dan memiliki banyak pengikut, bahkan menjadi agama resmi orang-orang Persia saat itu.

Setelah Kekaisaran Persia ditaklukkan oleh Alexander The Great pada akhir abad ke-4 sebelum Masehi, agama Zoroaster mengalami kemunduran. Namun, pada masa Dinasti Sasanid pada tahun 226 sebelum Masehi, agama ini mulai berkembang lagi sebagai agama resmi di Persia.

Kemudian, setelah Persia ditaklukkan oleh orang Arab pada abad ke-7 Masehi, sebagian besar penduduk Persia memeluk agama Islam.

Baca Juga  34 KA Tambahan Disiapkan di Libur Nataru

Sekitar abad ke-10 Masehi, sebagian penganut agama Zoroaster melarikan diri dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau yang terletak di Teluk Persia.

Di sana, mereka dan keturunan mereka pergi ke India dan mendirikan komunitas yang disebut sebagai Parsis, yang artinya “orang yang berasal dari Persia.”

Hingga saat ini, jumlah mereka mencapai sekitar 100.000 orang. Mereka tinggal di India, terutama di dekat Mumbai.

Dalam The Miracle 15 in One Syamil Alquran, disebutkan bahwa “Majusi” adalah sebutan dalam Islam bagi penganut agama Zoroaster dari Persia. Zarathustra merombak agama Indo-Eropa yang menyembah dewa-dewa dan menurunkan derajat mereka menjadi sekadar malaikat.

Tuhan dianggap sebagai Esa atau tunggal, yang disebut Ahurada. Dalam Perang Kosmos, Ahurada ini selalu bertarung dengan penguasa kegelapan yang bernama Ahriman, yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Ibrani sebagai setan atau iblis, seperti Azazil atau Lucifer.

Jauh sebelum kelahiran Nabi Zarathustra, ada beberapa agama yang dianut oleh penduduk di Iran atau Persia, seperti politeisme, paganisme, dan animisme.

Sebelum kedatangan Zarathustra, masyarakat di Persia tidak memiliki keyakinan tauhid secara umum. Politeisme adalah penyembahan lebih dari satu Tuhan. Paganisme adalah penyembahan berhala. Sedangkan animisme adalah penyembahan roh halus atau jin.

Oleh karena itu, kedatangan Zarathustra dan ajarannya menjadi sangat signifikan dalam membawa tauhid kepada masyarakat tersebut.

Allah SWT mengutus seorang nabi yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang bernama Zarathustra. Zarathustra mulai berdakwah kepada orang-orang dan berusaha membawa perubahan serta memperbaiki sistem kepercayaan kaumnya.

Meskipun dakwahnya tidak mudah, satu per satu kaumnya mulai mengikuti ajaran Zarathustra karena Allah SWT memberi beberapa mukjizat kepada nabi ini, sehingga orang-orang percaya pada pesan yang disampaikan Zarathustra.

Salah satu mukjizat yang paling terkenal dari Nabi Zarathustra adalah memyembuhkan berbagai penyakit. Dengan perantaraan Zarathustra, penyakit tersebut bisa sembuh dengan seketika. Hal ini membuat banyak orang akhirnya mempercayai ajaran Zarathustra. (mut/hel)