Kontroversi Riwayat Pendidikan Gibran Memanas: Penggugat Fokus ke SMA, Abaikan Klarifikasi MDIS

Kontroversi Riwayat Pendidikan Gibran Memanas: Penggugat Fokus ke SMA, Abaikan Klarifikasi MDIS
Ilusrasi (ai/io)

Subhan Palal, penggugat riwayat pendidikan Gibran Rakabuming Raka, tegaskan fokus gugatan perdata pada status SMA Gibran yang disebut tak sesuai UU Pemilu, mengabaikan klarifikasi MDIS Singapura terkait pendidikan tingginya.

INDONESIAONLINE – Gelombang perdebatan mengenai riwayat pendidikan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, kembali memanas setelah penggugat, Subhan Palal, memberikan pernyataan tegas yang menggeser fokus perbincangan. Alih-alih mempersoalkan pendidikan tinggi Gibran di Management Development Institute of Singapore (MDIS), Subhan justru menegaskan bahwa inti gugatannya terletak pada status pendidikan menengah atas (SMA) Gibran.

Pernyataan Subhan ini muncul sebagai respons atas klarifikasi resmi dari MDIS Singapura yang membenarkan bahwa Gibran adalah mahasiswa penuh waktu di institusi tersebut dari tahun 2007 hingga 2010. MDIS bahkan merinci bahwa Gibran menyelesaikan Diploma Lanjutan, yang kemudian dilanjutkan dengan gelar Bachelor of Science (Honours) di bidang Marketing dari University of Bradford, Inggris.

“Semua analisis tentang riwayat pendidikan Gibran kecele. Karena, saya tidak mempersoalkan itu,” ujar Subhan saat dikonfirmasi pada Rabu (1/10/2025).

Subhan dengan gamblang menjelaskan bahwa gugatan perdatanya tidak berkorelasi dengan pendidikan tinggi Gibran. Ia secara spesifik menyoroti status Gibran sebagai lulusan SMA luar negeri, yang menurutnya tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf r.

Pasal tersebut mengatur persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden, salah satunya adalah “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.”

“SMA Gibran tidak memenuhi ketentuan UU Pemilu UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf r,” tegas Subhan.

Ia menambahkan, meskipun ijazah dari luar negeri dapat disetarakan di Indonesia, hal tersebut tidak serta-merta memenuhi syarat “sederajat” yang diminta oleh UU Pemilu.

“Meskipun disetarakan, UU Pemilu minta sekolah lain yang sederajat, bukan setara,” imbuhnya.

Subhan berpendapat bahwa penyetaraan hanya diakui untuk kelanjutan sistem pendidikan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri terkait. Pernyataan ini membuka kembali diskusi mengenai perbedaan makna “sederajat” dan “setara” dalam konteks hukum kepemiluan, yang bisa memiliki implikasi signifikan.

Klarifikasi MDIS dan Riwayat Pendidikan Gibran Versi KPU

Sebelumnya, polemik riwayat pendidikan Gibran mencuat di media sosial, mendorong MDIS untuk mengeluarkan pernyataan resmi. “Management Development Institute of Singapore (MDIS) ingin menanggapi pernyataan yang beredar di media sosial mengenai kualifikasi pendidikan Bapak Gibran Rakabuming Raka,” tulis MDIS pada Rabu (1/10/2025).

Mereka mengonfirmasi bahwa Gibran menempuh pendidikan di MDIS dari 2007-2010 dan meraih gelar Sarjana Sains (Honours) di bidang Marketing.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah merilis riwayat pendidikan Gibran sebagai berikut:

  • SD: SD Negeri Mangkubumen Kidul 16 (1993-1999)

  • SMP: SMP Negeri 1 Surakarta (1999-2002)

  • SMA: Orchid Park Secondary School Singapore (2002-2004)

  • SMA: UTS Insearch Sydney (2004-2007)

  • S1: MDIS Singapore (2007-2010)

KPU sebelumnya juga telah memastikan bahwa ijazah Gibran memenuhi syarat untuk daftar Pemilu 2024. “Kita ikuti saja sidangnya,” kata KPU menanggapi gugatan Subhan.

Gugatan Rp 125 Triliun dan Dampak Hukum

Gugatan Subhan Palal tidak main-main. Ia menuntut Gibran dan KPU untuk membayar ganti rugi materiil dan imateriil sebesar Rp 125 triliun kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia, serta Rp 10 juta yang disetorkan ke kas negara.

Subhan menilai Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum karena adanya syarat pendaftaran calon wakil presiden yang dianggap tidak terpenuhi.

Petitum gugatan ini meminta majelis hakim untuk menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta menyatakan status Gibran sebagai Wakil Presiden tidak sah.

Kasus ini menyoroti kompleksitas interpretasi hukum dan birokrasi terkait pendidikan, terutama dalam konteks persyaratan politik. Implikasi dari gugatan ini tidak hanya akan mempengaruhi status Gibran, tetapi juga dapat menjadi preseden penting bagi calon-calon pejabat publik di masa mendatang yang memiliki riwayat pendidikan di luar negeri.

Perkara ini akan menjadi ujian bagi sistem hukum Indonesia dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang kepemiluan secara adil dan transparan.