Korupsi Lahan Polinema Rp42,6 M: Eks Direktur Awan Setiawan Ditahan Kejati, Lahan Tak Fungsional

Korupsi Lahan Polinema Rp42,6 M: Eks Direktur Awan Setiawan Ditahan Kejati, Lahan Tak Fungsional
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur secara resmi menahan mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema), Awan Setiawan, pada Rabu malam (11/6/2025) (Ist)

INDONESIAONLINE – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur secara resmi menahan mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema), Awan Setiawan, pada Rabu malam (11/6/2025). Penahanan ini terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan lahan untuk pengembangan kampus Polinema yang disebut merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp42,6 miliar.

Tak hanya Awan, pemilik lahan yang terlibat, Hadi Setiawan, juga turut dijebloskan ke tahanan Kejati Jatim. Kasus ini menjadi sorotan tajam lantaran proses pengadaan lahan senilai puluhan miliar rupiah tersebut dilakukan tanpa prosedur resmi. Ironisnya, sebagian besar lahan yang dibeli justru tidak dapat dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas kampus.

Kronologi Dugaan Korupsi Lahan Polinema

Dugaan skandal korupsi ini berakar dari rencana perluasan kampus Polinema yang dimulai pada tahun 2019.

  • 2019: Rencana Pengadaan Lahan Ambisius
    Polinema merencanakan pembelian lahan seluas 7.104 meter persegi di kawasan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, guna mendukung ekspansi kampus.

  • 2020: Negosiasi “Siluman” dan Pembayaran Awal Penuh Kejanggalan
    Pada akhir 2020, Awan Setiawan dilaporkan menyepakati harga lahan fantastis, Rp6 juta per meter, tanpa melibatkan proses appraisal atau penilaian resmi oleh lembaga independen. Kejanggalan semakin mencuat ketika pembayaran muka sebesar Rp3,87 miliar dilakukan pada 30 Desember 2020. Anehnya, surat kuasa menjual dari pemilik lahan, Hadi Setiawan, baru diterbitkan empat hari kemudian, pada 4 Januari 2021.

  • 2021: Dana Negara Terkuras, Legalitas Abaikan
    Meski legalitas kepemilikan dan peruntukan lahan belum jelas, Polinema tetap melanjutkan pembayaran penuh senilai Rp22,6 miliar dari anggaran negara. Parahnya, lahan strategis yang dibeli dengan dana publik ini tidak tercatat dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), mengindikasikan adanya upaya pengaburan jejak transaksi.

  • 2023: Audit Internal dan Investigasi Kejati Dimulai
    Bau amis korupsi mulai tercium publik. Laporan masyarakat dan hasil audit internal Polinema memunculkan dugaan kuat bahwa proses pengadaan lahan tidak sah dan berpotensi merugikan negara. Sejak saat itu, Kejati Jatim langsung mengambil alih kasus ini dan memulai penyelidikan mendalam.

  • 2024–2025: Bukti Terkumpul, Tersangka Ditetapkan
    Selama setahun lebih, Kejati Jatim intensif memeriksa sejumlah saksi kunci dan mengumpulkan tumpukan bukti, termasuk dokumen transaksi dan hasil appraisal lahan yang baru. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, Awan Setiawan dan Hadi Setiawan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

  • 11 Juni 2025: Jeratan Hukum Dimulai
    Penyidik Kejati Jatim secara resmi menahan Awan Setiawan dan Hadi Setiawan. Keduanya dijerat Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman berat.

Kerugian Fantastis dan Lahan Tak Berguna

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Dedi Suyanto, menjelaskan bahwa para tersangka diduga kuat melakukan pengadaan tanah tanpa melalui prosedur sah, yang menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai sekitar Rp42,6 miliar.

“Para tersangka diduga kuat melakukan pengadaan tanah tanpa melalui prosedur sah dan menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp42,6 miliar,” tegas Dedi.

Lebih mencengangkan lagi, hasil appraisal terbaru mengungkapkan fakta pahit: sebagian besar lahan yang telah dibeli dengan dana puluhan miliar rupiah tersebut ternyata berada di sempadan sungai. Kondisi ini menyebabkan lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk membangun fasilitas kampus sesuai peruntukan awalnya, menjadikan investasi negara sia-sia.

Pihak Polinema sendiri menegaskan bahwa kasus ini merupakan tanggung jawab pribadi Awan Setiawan dan tidak ada kaitannya dengan kebijakan institusi secara keseluruhan. Namun, kasus ini menjadi peringatan penting bagi seluruh institusi pendidikan tinggi di Indonesia untuk senantiasa menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara, demi mencegah terulangnya praktik serupa yang merugikan publik.