0 KILOMETER
Udara; bisik rindu itu.
Cahaya berserpih, segumpal sergap mata dan aku, batu
dipahat waktu.
“tetapi, matahari tidak bisa membakarku, ayah. Karena ia kupelihara dalam dada.”
Udara; gerimis cahaya yang terus berbisik.
Mencair dalam dada dan aku dalam serbu rindu
tetap batu.
Dipahat atas doa, atas cinta, atas luka
atas tanya tanpa tanda.
“Ayah, belikan aku belati dan sekumpulan doa. karena aku lelaki.”
Cahaya berpinak, ruah melimpah.
aku jelma almanak di matamu (1)
Almanak; parade angka kabur yang mengubur.
tapi tidak di mataku, ayah. Ia kumpulan rindu yang dipenggal waktu.
“Biar aku simpan ayah, dalam gerimis tawa dan tangisku
karena televisi tidak punya cinta, sepertiku.”
Anakku, cinta adalah kata di atas luka.
Ia tak mampu dipantulkan cahaya mesin. (2)
Pada titik. Kenangan
masa lalu yang dirakit getah purba
melahirkan dirinya sendiri. menelanjangiku.
Begitukah rupa rindu, kekasih?
Layak secangkir kopi di pagi hari.
Pada titik.
Aku terkenang puisimu
tentang kopi, serpihan roti dan cabikan sunyi yang kau sebut kelu.
Kenangan membawaku untuk menelaah ulang raut wajahmu
masihkah tirus seperti dulu?
Pada titik aku mengulang
setiap hela nafas
kenangan… (3)