Mbah Dimyati Selopuro, Waliyullah dari  Blitar Keturunan Sunan Geseng

INDONESIAONLINE-Perkembangan agama Islam di Kabupaten Blitar mengalami perkembangan pesat di pertengahan abad ke-18 dan mencapai puncaknya di awal abad-19. Pesatnya perkembangan ini turut melahirkan ulama-ulama besar yang membawa bendera Islam Berjaya. Salah satunya Mbah Dimyati Selopuro.

Di tulisan kali ini INDONESIAONLINE akan sedikit mengulas tentang profil KH Dimyati, Mbah Dimyati atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Dim. Bahkan ada yang menyebut beliau dengan nama Kiyai Pendito karena kelebihan dan karomah yang dimiliki.

Mbah Dimyati adalah seorang ulama yang lahir pada tahun 1921 M di Dusun Baran, Desa Ploso, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar.Mbah Dim adalah anak dari KH. Hasbullah, yang konon KH Hasbullah adalah keturunan Sunan Geseng murid Sunan Kalijaga.

Ayah KH Dimyati dikenal sebagai Kiai Nalindra yakni seorang ksatria yang merangkap sebagai kiai dan pejabat. Ayah dari Mbah Dim yakni KH Hasbullah pernah menjadi legislatif dan Kepala Desa Ploso.

Mbah Dim kecil dikenal sebagai anak yang berbeda dari teman sejawatnya, beliau dikenal sangat pendiam dan gemar menyendiri.Mbah Dim ketika kecil juga dikenal sebagai anak yang tidak pernah melepaskan kopyah serta rajin mengaji kepada ayahnya sendiri yakni KH Hasbullah.

Menurut cerita masyarakat, Kiai Hasbulloh pernah membelah sebuah semangka dan berkata, “Di antara anak-anakku ada salah satu yang kelak dapat membelah pintu langit”, yang dimaksud KH Hasbullah adalah Mbah Dimyati.

Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR), Mbah Dimyati melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Lirboyo di bawah asuhan Romo Kiai Abdul Karim.

Mbah Dimyati adalah santri kesayangan Romo Kiai Abdul Karim. Kedatangan Mbah Dimyati kecil seakan menjadi pelipur lara, karena putra beliau Gus Nawawi meninggal dunia di tanah suci Makkah.

Mbah Dimyati nyantri di Lirboyo selama sebelas tahun. Sebagai seorang santri Mbah Dimyati dikenal sebagai sosok yang rajin dan istiqomah baik itu mengaji, menjalankan setiap amaliyah dan perintah sang guru yakni Romo Kyai Abdul Karim.

Mbah Dimyati juga dikenal sebagai santri yang sangat betah membaca wirid di belakang Romo Kyai Abdul Karim hingga sang guru menyelesaikan wiridnya.

Di pagi buta Mbah Dimyati selalu melayani samg guru menatakan gamparan, menyalakan lampu sambil menunggu sang guru balik ke ndalem lagi.

Ada beberapa cerita dari KH Mahurin dari Nganjuk bahwa Mbah Dimyati seringkali tiba-tiba datang memberi makanan dengan lauk pauk lengkap yang tidak mungkin ada di waktu malam.

Cerita unik juga disampaikan oleh KH Imam Hanafi Kaniten Mojo, Mbah Dimyati ketika menerima kiriman dari ayahnya maka langsung digunakan untuk memasak semua dan temannya diajak untuk makan bersama.

Namun setelah itu Mbah Dimyati tidak makan setelah beberapa hari, dan bertahan dengan hanya minum air.

Konon ketika masih mondok di Pesantren Lirboyo, Mbah Dimyati pernah menemukan granat sisa-sisa peperangan zaman penjajahan Belanda di sekitar pondok.

Mbah Dimyati penasaran akhirnya granat tersebut dibawa pulang ke pondok untuk diotak-atik di dalam kamar.

Tidak disangka tiba-tiba granat tersebut meledak hebat hingga kamar hunian Mbah Dim hancur berkeping-keping. Namun anehnya Mbah Dimyati tidak mengalami luka sedikitpun, inilah karomah Mbah Dimyati yang tampak semenjak masih jadi santri.

Setelah dewasa Mbah Dimyati menikah dengan Bu Nyai Rufiah dari Desa Batokan. Bersama Nyai Rufiah beliau dikarunia putra bernama Mahfud.

Kemudian Mbah Dimyati menikah dengan Nyai Munawarah dan dikaruniai empat putri yakni Lailatul Badriyah, Ngatiqullah, Umi Mukarromah, dan Barroh.

Mbah Dimyati mengawali pengabdiannya di kampung halamannya dengan mengajar sekolah diniyah dan mengajar mengaji al-Qur’an serta beberapa kitab.

Mbah Dimyati dikenal sebagai pengajar yang unik. Beliau mengajar tidak dengan metode memaknai kitab kemudian diterangkan, melainkan dengan menggunakan metode ruhaniyah atau metafisik, yaitu dengan isyarat-isyarat.

Diceritakan oleh santri bernama Nafisah, setiap akan ganti bab dalam pelajaran maka berbeda ujiannya. Nafisah saat itu disuruh pergi sendiri di sebuah kolam yang sepi dan sunyi.

Di sana Nafisah diminta untuk merenungkan akan hidupnya selama ini. Apabila sudah dinyatakan lulus dari ujian tersebut, maka yang bersangkutan dianggap memahami pasal (bab) yang diajarkan, kemudian dapat melanjutkan ke bab berikutnya.

Walaupun Mbah Dim telah wafat, banyak satri-santri Mbah Dimyati tetap menjalankan amaliyah yang diajarkan oleh beliau. Bahkan para santri merasa tetap disowani ke rumahnya masing-masing seakan-akan beliau masih hidup.

Suatu ketika saat keponakan Mbah Dimyati yang bernama Kiai Ayub Ismail akan meninggal,  Mbah Dimyati meminta Ibu Nafisah untuk memasakkan ingkung kemudian memintanya memberikan kedalemnya Kiai Ayub. Ternyata makna dari perintah ayam ingkung adalah Kiai Ayub meninggal dunia.

Mbah Dimyati dikenal sebagai tokoh yang melayani masyarakat tanpa memandang bulu. Setiap harinya kurang lebih seratus orang datang dan sowan untuk meminta barokah dan ijazah kepada Mbah Dimyati.

Mbah Dimyati adalah ulama zuhud yang meninggalkan kemewahan dunia. Kesehariannya hanya digunakan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Mbah Dimyati juga sosok yang sangat ikhlas, sabar dan tawadhu’, serta santun. Setiap beliau sowan ke Lirboyo, ketika diberi jamuan makan, maka beliau sendiri yang membersihkan meja dan mencuri piring sendiri.

Mbah Dimyati jugasenang menziarahi makam auliya’ dan guru-guru beliau, dan yang paling penting bagi Mbah Dimyati adalah menziarohi makam kedua orang tuanya dan gurunya.

Mbah Dimyati dikenal memiliki sifat bashiroh dan ilmu laduni, beliau sering mengetahui suatu hal sebelum dijelaskan, dan menjawabnya dengan menggunakan isyarat-isyarat sebelum kejadian.

Hal itu bisa dilihat saat wafatnya Gus Ngatiq, Mbah Dimyati membuat kuburan kecil. Bahkan ketika  ibunya Ny. Hj. Maryam ketika towaf dan terjatuh, tiba-tiba Mbah Dimyati membantu  ibunya.

Sontak ibunya kaget “lho le, kog ono ndek kene?” (Loh Nak, kok ada di sini?). Padahal saat itu Mbah Dim tidak ikut melaksanakaan ibadah haji bersama ibunya.

Mbah Dimyati wafat pada tahun 1989 dalam usia 68 tahun, sebelum wafat. Keharuman namanya dikenal dan abadi hingga kini, banyak peziarah yang berdatangan untuk mengambil barokah, karena Mbah Dimyati adalah wali kekasih Allah.

Untuk mengenang beliau sampai saat ini digelar Majelis Dzikir Kanzul Jannah “Jumpa Sehat” pada Kamis Legi malam Jumat.