MEMBACA AL-FIIL DI MALAM HARI
Pernah, berjuta padma yang kau petik
dengan tangan telanjang di rawa itu
kau tanam diam-diam di mataku
:Dulu burung-burung itu masih janin dirahimmu.
Pintu kamar kubuka, hujan mengangga
dengan mulutnya yang merah dan lancip seperti Abrahah
meminta peristiwa yang pernah kujanjikan tadi malam
Padahal mataku, sumber cahaya, masih tersimpan
Dilipatan tubuhmu atau itukah yang dinamakan rahim
hamparan rawa-rawa basah milikmu.
-Sebagai perempuan yang menanamkan padma di mataku, kau keras kepala-
Padahal pernah kubilang jangan undang lagi burung ababil, cukuplah mataku yang kau tanami padma di rahimmu itu
Kau tertawa dalam selimut, mengucap mantera menyuguhkan aroma, masih saja memperolokku, kini lihatlah,
kepak-kepak para burung itu mengetuk-ngetuk meminta keluar, bercericit begitu gaduh
Padahal kaupun tahu kabah ini belum selesai kubaca.
Haruskah aku belajar berdusta
meski pada melata yang mengetuk pintu.
Berikan mataku, kekasih, kabah ini belum selesai kubaca
Sejarah menungguku.
-sebagai perempuan yang rahimnya dipenuhi burung ababil, kau terlalu pualam, terlalu sulit dijinakkan.-
Lihatlah pagi pun syahwat padamu, diam-diam menyelusupkan wajahnya di tubuhmu atau itukah yang dinamakan rahim, hamparan rawa-rawa basah
yang menenggelamkan segala ingatanku tadi malam
hingga kabah tak selesai kubaca.
Kau tertawa, masih saja memperolokku, lantas
tubuhmu atau itukah yang dinamakan rahim terbuka, aku melihat mataku masih terlelap, seperti burung-burung piaraanmu, ababil, yang meringkuk disembarut kabel telepon yang kau cipta,
berpelukan menghalau dingin dengan bunga padma yang mulai terlihat memerah
-dari dulu kau terlalu kasih terhadap mereka-
dan kau tersenyum, selalu basah menenggelamkan
segala ingatan yang ada hingga kabah masih saja tak selesai kubaca.
selimut itu kau ceraikan, tubuhmu yang pualam
menyemburatkan cahaya matahari, dan mantera itu lagi kau ucapkan
di bibirku.
-pagi mengunjungi kalian di rahimku, bangunlah. Ini musim panen, bekerja dan bernyanyilah. Karena kalian akan jadi sejarah tersendiri. Bukan begitu, Kekasih?-
dan seperti sirene, berbondong-bondong burung ababil memanggul segala perkakas tani, memanen padma di mataku
– itu lumbung padma kita untuk menghadapi perang yang sebentar lagi meletus, kekasih-
hujan di luar sepertinya berhenti
hanya dengusnya masih kurasa dingin di tengkuk
dan hiruk pikuk perayaan kemenangan dilantunkan sebelum perang
kau menari-nari bersama kepak burung-burung ababil
-marilah kekasih, kita menari karena kita sama-sama mengerti tentang arti dan wajah kemenangan.-
tetapi dimana mataku, kekasih, berikanlah
aku mendengar derak suara pasukan bergajah semakin mendekat
perang akan dimulai sebentar lagi
kabah ini harus aku selesaikan secepatnya
biar kelopak padma yang kau tanam di mataku tak sia-sia
memekarkan burung-burung ababil yang mengolah batu dari tanah-tanah yang terbakar di rahimmu.
Biar aku tidak berdusta meski pada melata yang
mengetuk pintu kamar kita
biar sejarah berjalan seperti di kitab-kitab.
-Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)-
*Penulis: dd nana veno pecinta kopi pait