Beranda

Mimpi Perunggu Pupus: Garuda Pertiwi Tunduk 0-2 di Kandang Gajah

Mimpi Perunggu Pupus: Garuda Pertiwi Tunduk 0-2 di Kandang Gajah
Bek Timnas Putri Indonesia, Emily Nahon saat berupaya menghentikan penyerang Timnas Putri Thailand Jiraporn Mongkoldee pada Laga pertama Grup A SEA Games 2025 Timnas Putri Indonesia vs Thailand digelar di Stadion Chonburi, Thailand, pada Kamis (4/12/2025) malam WIB.(FB THAIWOMENSFOOTBALL)

Timnas Putri Indonesia gagal raih perunggu Sea Games 2025 usai kalah 0-2 dari Thailand. Analisis taktik, performa Iris De Rouw dan evaluasi skuad garuda pertiwi di Chonburi.

INDONESIAONLINE – Langit di atas Stadion Chonburi tampak cerah pada Rabu (17/12/2025) sore, namun awan mendung menggelayuti wajah para punggawa Tim Nasional (Timnas) Putri Indonesia. Harapan untuk membawa pulang medali perunggu Sea Games 2025 -sebuah pencapaian yang didambakan untuk memecahkan puasa prestasi di ajang regional—harus kandas di tangan tuan rumah, Thailand.

Skor akhir 0-2 menjadi penegas bahwa jurang kualitas antara sepak bola wanita Indonesia dan sang raksasa Asia Tenggara masih menganga, meski upaya untuk menjembataninya mulai terlihat.

Kekalahan ini bukan sekadar hilangnya medali, melainkan cerminan realitas keras dari evolusi skuad Garuda Pertiwi di bawah asuhan pelatih asal Jepang, Akira Higashiyama. Melawan tim yang pernah mencicipi panggung Piala Dunia Wanita, Zahra Muzdalifah dan kawan-kawan dipaksa belajar tentang efisiensi, mentalitas, dan detail-detail kecil yang menghukum.

Babak Pertama: Petaka Menit Kritis dan Faktor Dewi Fortuna

Sejak peluit kick-off dibunyikan, Thailand yang didukung ribuan suporter fanatiknya langsung mengambil inisiatif serangan. Statistik penguasaan bola di 15 menit pertama didominasi tuan rumah hingga 65 persen. Skuad Chaba Kaew—julukan Timnas Thailand—memanfaatkan lebar lapangan dengan sangat baik, mengeksploitasi celah di sisi sayap pertahanan Indonesia.

Gol pembuka yang terjadi pada menit ke-17 adalah kombinasi antara tekanan intensif dan ketidakberuntungan. Sepakan keras Rush Rhianne sejatinya bisa diantisipasi, namun bola membentur tubuh kapten Thailand, Sornsai Pitsamai. Perubahan arah bola yang drastis membuat kiper Indonesia, Iris Joska De Rouw, mati langkah. Skor 1-0.

Dalam sepak bola, gol defleksi seringkali meruntuhkan mental tim yang sedang bertahan total. Namun, Garuda Pertiwi sempat mencoba bangkit. Pada menit ke-13, Rumbewas Remini sebenarnya memiliki peluang emas dari sebuah kemelut, namun eksekusinya yang menyamping menjadi bukti belum matangnya penyelesaian akhir (finishing) lini depan Indonesia.

Petaka sesungguhnya datang di momen psikologis paling krusial: akhir babak pertama. Di menit ke-43, sebuah kelengahan transisi bertahan dihukum oleh Pattaranan. Gol ini membunuh momentum istirahat Indonesia. Masuk ke ruang ganti dengan defisit dua gol melawan tim sekelas Thailand adalah misi yang nyaris mustahil.

Iris De Rouw: Tembok Terakhir yang Mencegah Pembantaian

Di tengah kekecewaan, satu nama layak mendapatkan sorotan khusus: Iris Joska De Rouw. Kiper berdarah diaspora ini tampil heroik di bawah mistar gawang. Jika bukan karena refleks cekatannya, skor di papan skor Stadion Chonburi mungkin akan jauh lebih mencolok.

Pada menit ke-8, Iris melakukan penyelamatan krusial atas sepakan mendatar Pattaranan. Di babak kedua, tepatnya menit ke-65, ia kembali menggagalkan peluang emas Madison Casteen dalam situasi satu lawan satu.

Kehadiran pemain-pemain diaspora dalam Starting XI racikan Higashiyama, seperti Iris De Rouw, Emily Nahon di lini belakang, Felicia De Zeeuw di tengah, dan Isa Warps di depan, memberikan warna baru. Secara fisik dan pemahaman taktik dasar, mereka mampu mengimbangi permainan fisik Thailand.

Emily Nahon, misalnya, mencatatkan beberapa intersep penting yang memutus aliran bola Thailand ke kotak penalti. Namun, sepak bola adalah permainan kolektif yang membutuhkan chemistry jangka panjang, sesuatu yang terlihat lebih padu di kubu Thailand.

Analisis Taktik: Reaksi Higashiyama dan Tembok Tebal Thailand

Memasuki babak kedua, Akira Higashiyama menyadari bahwa skema konservatif tidak akan mengubah keadaan. Ia melakukan perjudian taktik dengan memasukkan “Wonderkid” Indonesia, Claudia Scheunemann, dan Aulia pada menit ke-55 untuk menggantikan Awi Yuliana dan Felicia De Zeeuw.

Perubahan ini sempat memberikan dampak instan. Belum genap satu menit babak kedua berjalan, Rosdilah mendapat peluang dari umpan Oktaviani Reva. Sayang, lagi-lagi akurasi menjadi musuh utama. Sepakannya melebar.

Masuknya Claudia memang menambah daya gedor, namun Thailand yang dilatih Nuengrutai Sranthongvian merespons dengan cerdas. Unggul 2-0 membuat mereka menurunkan tempo permainan (game management) di 15 menit terakhir. Mereka membiarkan Indonesia memegang bola di area tengah, namun menutup rapat akses ke sepertiga akhir lapangan.

Rotasi pemain yang dilakukan Thailand, termasuk menarik keluar pencetak gol Pattaranan, adalah strategi untuk menjaga kebugaran sekaligus mematikan ritme permainan Indonesia.

Data dan Fakta: Cermin Pembinaan

Kekalahan ini memperpanjang rekor buruk Indonesia saat bertemu Thailand di ajang SEA Games. Data historis menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, Thailand (bersama Vietnam) adalah tembok tebal yang sulit diruntuhkan Indonesia.

Faktor yang membedakan kedua tim sangat jelas terlihat di lapangan:

  1. Kompetisi Domestik: Thailand memiliki liga sepak bola wanita yang berjalan lebih teratur, memungkinkan para pemainnya memiliki jam terbang kompetitif yang tinggi. Sebaliknya, para pemain Indonesia sering kali terkendala minimnya kompetisi reguler di tanah air.
  2. Kematangan Mental: Gol kedua Thailand di menit ke-43 menunjukkan kematangan mental juara—tahu kapan harus menekan gas. Sementara Indonesia sering kehilangan konsentrasi di menit-menit krusial.
  3. Regenerasi: Thailand mampu mengombinasikan pemain senior seperti Sornsai Pitsamai dengan talenta muda. Indonesia, meski memiliki potensi besar pada generasi Zahra Muzdalifah, Helsya Maeisyaroh, dan Claudia Scheunemann, masih membutuhkan waktu untuk mematangkan kerangka tim ini.

Harapan di Balik Kegagalan

Meski gagal membawa pulang medali perunggu SEA Games 2025, penampilan Garuda Pertiwi tidak sepenuhnya mengecewakan. Disiplin pertahanan yang ditunjukkan, terutama berkat kolaborasi pemain lokal dan diaspora, menunjukkan progres dibandingkan edisi-edisi sebelumnya di mana skor telak sering terjadi.

Pelatih Akira Higashiyama memiliki pekerjaan rumah besar. Integrasi pemain diaspora dengan talenta lokal seperti Zahra dan Helsya harus terus diasah. Selain itu, aspek penyelesaian akhir dan konsentrasi di menit-menit akhir babak harus menjadi fokus evaluasi utama.

SEA Games 2025 di Thailand berakhir tanpa medali bagi Timnas Putri Indonesia. Namun, pengalaman bertanding di Stadion Chonburi melawan salah satu tim terbaik di Asia Tenggara ini harus menjadi batu pijakan. Medali mungkin belum di tangan, tapi pelajaran berharga dari 90 menit di Chonburi akan menjadi modal penting untuk menatap Piala AFF Wanita dan kualifikasi turnamen Asia berikutnya. Revolusi Garuda Pertiwi belum selesai, ia baru saja dimulai.

Susunan Pemain Pertandingan Perebutan Perunggu:

Timnas Putri Indonesia (4-4-2): Iris Joska (GK); Gea Yumanda, Emily Nahon, Rumbewas Remini, Oktaviani Reva (Ajeng Sri 92′); Helsya Maeisyaroh, Felicia De Zeeuw (Aulia 55′), Zahra Muzdalifah (C), Awi Yuliana (Scheunemann 55′); Sheva Imut (Nafeeza 79′), Isa Warps (Rosdilah 45′). Pelatih: Akira Higashiyama

Timnas Putri Thailand (4-3-3): Thongmongkol Chotmanee (GK); Intaraprasit Supapron, Jeeraatanapavibul Panittha, Sornsai Pitsamai (C), Rodthong Chatchawan; Sibtusawat Pluemjai, Srangthaisong Sunisa, Ngosuwan Natalie (Casteen 45′); Mongkoldee Jiraporn (Kanyanat 78′), Rush Rhianne, Aupachai Pattaranan (U-Raiporn 78′). Pelatih: Nuengrutai Sranthongvian

Exit mobile version