INDONESIAONLINE – Kota Pune yang dikenal sebagai pusat pendidikan dan teknologi di India barat, kini dihantui misteri kelumpuhan yang datang tiba-tiba.
Sejak awal tahun ini, gelombang kasus Sindrom Guillain-Barré (GBS), penyakit saraf langka yang menyerang sistem kekebalan tubuh, melonjak tajam. Lebih dari 160 kasus dilaporkan, lima nyawa melayang, dan puluhan pasien kini berjuang di ruang perawatan intensif.
Di balik angka-angka statistik yang mengkhawatirkan ini, tersembunyi kisah-kisah keluarga yang tiba-tiba diterjang badai ketidakpastian, seperti yang dialami seorang guru di kota ini.
Awalnya, kekhawatiran seorang ibu di Pune bermula dari hal sepele: kesulitan putranya yang berusia enam tahun memegang pensil.
“Saya pikir dia hanya kesal karena PR,” ujarnya mengenang momen ketika ia mengira kemarahan anaknya hanya kenakalan biasa dikutip dari Indian Express.
Siapa sangka, di balik kesulitan menggenggam pensil itu, tersimpan sinyal bahaya dari penyakit yang tak terduga. Beberapa hari kemudian, bocah kecil itu terbaring tak berdaya di ICU, tubuhnya lumpuh, bahkan kemampuan menelan dan berbicara pun direnggut paksa oleh penyakit misterius ini.
GBS, penyakit yang bagai hantu dalam sunyi, menyerang sistem saraf tepi, memicu kelemahan otot progresif hingga kelumpuhan. Gejalanya datang perlahan, dimulai dengan kesemutan halus di ujung jari kaki dan tangan, merambat naik bagai gelombang dingin yang melumpuhkan.
Kelemahan otot menyusul, membuat gerak sendi terasa berat dan sulit dikendalikan. Dalam hitungan minggu, kondisi pasien bisa memburuk drastis, seperti yang dialami bocah malang dari Pune ini, hingga membutuhkan ventilator untuk sekadar bernapas.
Wabah GBS di Pune kali ini terbilang luar biasa. Dalam kondisi normal, GBS adalah penyakit langka. Namun, sejak Januari, kota ini mencatat lonjakan kasus yang mencengangkan. Pihak berwenang kesehatan setempat bergerak cepat, dibantu tim dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk menyelidiki akar masalah ini.
Fokus investigasi tertuju pada Campylobacter jejuni, bakteri yang selama ini dikenal sebagai biang kerok infeksi makanan dan pemicu utama GBS di seluruh dunia.
Kaitan antara Campylobacter dan GBS bukan barang baru. Studi kasus di pedesaan China pada era 90-an mengungkap pola serupa: wabah GBS musiman yang terkait dengan kontaminasi Campylobacter dari unggas.
Anak-anak yang bermain di air tercemar kotoran ayam atau bebek menjadi korban utama. Di Pune, dugaan kuat mengarah pada sumber kontaminasi yang sama, meski skala dan mekanismenya masih menjadi teka-teki.
Penelitian sebelumnya di India sendiri, oleh ilmuwan dari Institut Kesehatan Mental dan Ilmu Saraf Nasional (NIMHANS) Bangalore, menunjukkan bahwa infeksi Campylobacter memang berperan signifikan dalam kasus GBS.
Dari 150 pasien GBS yang diteliti selama lima tahun, sepertiga positif terinfeksi bakteri ini. Menariknya, infeksi ganda juga cukup sering terjadi, mengisyaratkan interaksi kompleks antara bakteri dan virus dalam memicu GBS.
Wabah GBS bukan hanya masalah lokal Pune. Peru, pada tahun 2023, juga mengalami lonjakan kasus GBS yang terkait Campylobacter, memaksa pemerintah mendeklarasikan darurat kesehatan nasional.
Di negara-negara maju dengan sanitasi lebih baik, kasus GBS terkait Campylobacter lebih jarang ditemukan, infeksi pernapasan justru menjadi pemicu utama. Namun, Campylobacter tetaplah momok global, bakteri endemik yang selalu mengintai di lingkungan sekitar.
Mengapa Campylobacter bisa memicu GBS? Jawabannya terletak pada mekanisme “peniruan molekuler.”
Strain Campylobacter tertentu memiliki lapisan gula di permukaan selnya yang secara struktural mirip dengan lapisan sel saraf manusia. Ketika sistem kekebalan tubuh menyerang bakteri ini, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi yang dihasilkan juga bisa salah sasaran, menyerang saraf tubuh sendiri.
Inilah “rolet Rusia imunologis” yang dipaparkan Prof. Hugh Willison, neurolog dari University of Glasgow, sebuah “tsunami neurologis akut” yang melumpuhkan sistem saraf.
Sayangnya, hingga kini belum ada obat mujarab untuk GBS. Penanganan medis difokuskan pada meredakan serangan sistem kekebalan tubuh dan mendukung pemulihan saraf.
“Pertukaran plasma,” metode penyaringan darah untuk menghilangkan antibodi berbahaya, dan pemberian “imunoglobulin intravena” (IVIG), antibodi terapeutik dari donor sehat, menjadi andalan dokter untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit.
Diagnosis GBS pun bukan perkara mudah. Tidak ada tes tunggal yang definitif. Dokter harus mengandalkan “konstelasi fitur klinis,” gejala kelumpuhan yang bisa menyerupai penyakit lain, seperti polio atau gangguan saraf langka. Di India, dengan sistem kesehatan yang belum merata, tantangan diagnosis GBS semakin besar, terutama di daerah pedesaan.
Di Pune, tim WHO dan petugas kesehatan setempat bekerja keras melacak kasus, menguji sampel air, dan memberikan edukasi kepada masyarakat. Imbauan untuk minum air rebus, menjaga kebersihan makanan, dan menghindari konsumsi unggas setengah matang terus digemakan.
Namun, di tengah ketidakpastian dan ketakutan yang menyelimuti kota, imbauan “jangan panik” terasa bagai mantra yang sulit diwujudkan. Misteri kelumpuhan Pune masih belum terpecahkan sepenuhnya, dan kota ini, beserta ribuan warganya, kini hidup dalam bayang-bayang sindrom langka yang datang tanpa permisi.