INDONESIAONLINE – Publik saat ini dihebohkan dengan munculnya wacana penundaan Pemilihan Umum 2024. Dalam hal ini, pakar hukum tata negara dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra juga angkat bicara.

Yusril menjelaskan, ada 3 cara agar penundaan Pilkada 2024 sah atau mendapat legitimasi.

Wacana penundaan Pemilu 2024 belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Awalnya, pernyataan itu datang dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Ketua PAN Zilkifli Hasan.

Cak Imin mengusulkan penundaan Pemilihan Umum 2024 dengan alasan pandemi Covid-19 dan perekonomian Indonesia. Dia mengatakan akan membawa proposal itu ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal senada juga disampaikan Menteri Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Saat itu, kata dia, dunia usaha menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi atas nama pemulihan pascapandemi.

Berikut 3 cara yang bisa menunda Pilkada 2024 versi Yusril Ihza Mahendra.

1. Amandemen UUD 1945

Pertama, Yusril menyatakan bahwa pemerintah dapat mengambil amandemen UUD 1945 untuk menunda pemilu.

“Metode ini menjadi dasar yang paling kuat untuk memberikan legitimasi terhadap penundaan pemilu,” kata Yusril dalam keterangan resminya.

Namun, pendekatan ini tampaknya berisiko memiliki konsekuensi perpanjangan sementara masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Tata cara perubahan konstitusi sendiri diatur dalam Pasal 37 UUD 45. Ada juga Pasal 24 sampai dengan 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah.

Yusril menilai amandemen UUD 1945 bisa dilakukan dengan menambahkan pasal baru terkait pemilu.

Pasal 22E UUD 1945 dapat menambah poin baru. Yakni Pasal 22 E ayat (7) yang memuat norma-norma sebagai berikut:

Dalam hal pemilihan umum setiap lima tahun sekali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam, dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka MPR berwenang menunda pelaksanaan Pemilihan Umum. sampai titik waktu tertentu.’

Kemudian ayat (8) UUD 1945 juga dapat ditambahkan kalimat sebagai berikut:

‘Semua jabatan negara yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, untuk sementara tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan diadakannya pemilihan umum’.

“Dengan tambahan 2 ayat dalam Pasal 22E UUD 1945 maka tidak ada perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Anggota lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD mengubah statusnya menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota hasil pemilu,” lanjut Yusril.

2. Keputusan Presiden

Untuk cara kedua, Yusril mengatakan presiden bisa mengeluarkan dekrit sebagai langkah revolusioner untuk menunda pemilu. Menurut UUD 1945, presiden dapat mengambil keputusan untuk menunda penyelenggaraan pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat.

Bagi Yusril, dekrit tersebut merupakan revolusi hukum yang legitimasinya harus dilihat post factum. Sebuah revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan dari mayoritas rakyat dapat menciptakan hukum yang sah.

Sebaliknya, revolusi yang gagal justru menyebabkan revolusi hukum bertindak ilegal dan melawan hukum.

Dia kemudian mempertanyakan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) berani mengeluarkan keputusan tersebut. Yusril menduga Jokowi tidak akan melakukan itu karena risiko politiknya terlalu besar.

“Sebagai aksi revolusioner, aksi ini jauh dari kata matang. TNI dan POLRI juga belum tentu mendukung, meski keputusannya adalah keputusan Presiden selaku panglima. Langkah seperti itu akan menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi. sendiri,” kata Yusril.

3. Konvensi Konstitusi

Cara terakhir untuk menunda pemilu adalah dengan membuat konvensi ketatanegaraan. Dikatakannya, perubahan tidak dilakukan pada teks konstitusi, UUD 1945, tetapi dilakukan dalam praktik ketatanegaraan.

Yusril kemudian merinci bahwa Pasal 22E UUD 1945 mengatur bahwa pemilu diadakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Setelah itu, mereka dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi.

Kedua pasal di atas tidak perlu diubah, namun dalam praktiknya, pemilu diadakan misalnya setiap 7 tahun sekali.

“Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD serta otomatis MPR, dalam praktiknya juga dilakukan selama tujuh tahun,” lanjut Yusril.

Di sisi lain, Yusril memandang sulit untuk membuat konvensi konstitusi tentang penundaan pemilu. Apalagi masyarakat awam dengan mudah akan menganggapnya sebagai ‘penyimpangan’ UUD 1945.

“Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi mampu membuat konvensi ketatanegaraan yang digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1945,” kata Yusril.