(Kado Tahun Baru 1445 H)

Oleh M. Zainuddin (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Pemilihan Umum (Pemilu) akan digelar serentak 2024 mendatang, mulai Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Pada 14 Februari 2024 nanti, Indonesia akan menggelar hajatan besar pesta demokrasi lima tahunan.

Kita semua berharap pemilu tahun 2024 langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur, dan adil (jurdil). Semua pihak mesti mengikuti aturan UU Pemilu. Karena pemilu tersebut yang akan menentukan pemimpin yang dapat membawa Indonesia ke depan lebih demokratis dan penuh tanggung jawab. Bagaimana memilih pemimpin negara yang demokratis dan penuh tanggung jawab tersebut?

Eksemplar Pemimpin Ideal

Dalam perspektif historis, Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Tuhan ke dunia untuk memperbaiki mental manusia (akhlak karimah) dan membawa sistem ajaran yang demokratis, yaitu pesan bahwa segala urusan dan keputusan menyangkut orang banyak (umat) harus dimusyawarahkan bersama dan dipertanggungjawabkan.

Secara empirik Nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja dan kelompok elit saat itu kepada sistem musyawarah. Kehadiran Nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” saat itu yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa beliau sejatinya adalah sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai social.

Selama kurang lebih sepuluh tahun di Madinah, beliau telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat ideal. Dan masyarakat yang dibangun beliau saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan, sebagaimana yang disepakati dalam rumusan Piagam Madinah, yaitu masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antarmanusia maupun dengan Tuhan dana lam semesta.

Kasih sayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang plural. Dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah, beliau berpesan kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka.

Baca Juga  Perkuat Ideologi Pancasila, UIN Maliki Malang Gelar Bedah Buku Islam dan Pancasila Perspektif Maqashid Syariah

“Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab beliau ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk  surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali.

Salah satu sifat pemaaf dan toleransi Nabi itu tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seorang paman Rasulullah sendiri dan pahlawan perang yang terhormat.

Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa Nabi tidak akan pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga, ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang saat itu pada akhirnya dimaafkan.

Melihat sikap Nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, “bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa”.

Tidak hanya itu saja, sikap politik beliau yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern saat ini adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap beliau yang legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama rahmatan lil-’alamin.

Beyond Primordialism

Nilai-nilai islami yang tercermin dalam figur beliau yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang plural. Perkawinan beliau dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap Bilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonya pada haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah membuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya.

Baca Juga  Calon Mahasiswa UIN Maliki Malang Membludak, Kuota 1.200 Orang

Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Ashgar Ali (1993), bahwa konsep jihad (berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk memeluk Islam sebagai sebuah agama, melainkan berjuang untuk memerangi kemungkaran dan mengakhiri penindasan oleh orang kuat (al-mustakbirin) terhadap orang lemah (al-mustadh’afin).

Semua utusan Tuhan digambarkan dalam al-Qur’an sebagai pembela al-mustadh’afin untuk menghadapi al-mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi” (Q.S.28:5).

Nabi diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani memberantas praktik-praktik oligarki dan oligopoli dan segala praktik akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal oleh konglomerat Arab saat itu. Dan gerakan reformasi beliau itulah yang kemudian membuat mereka berang dan merasa terancam kepentingannya. Sampai-sampai beliau dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan pergaulan.

Oleh sebab itu seperti penilaian Ashgar Ali maupun Ahmad Amin, bahwa pada hakikatnya kelompok hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi terhadap penyembahan berhala, melainkan yang sangat dirisaukan oleh mereka adalah gerakannya yang mengarah kepada “ancaman” praktik monopolistik dan eksploitatif yang mereka lakukan.

Pengaruh reformasi Nabi betul-betul mengguncang dunia dan dengan waktu kurang lebih sepuluh tahun beliau mampu mewujudkan sebuah masyarakat ideal, masyarakat yang secara sosiologis berada dalam kelas kesejajaran (egaliter), atau kalau menurut Ashgar Ali, “masyarakat tanpa kelas”. Status manusia tidak diukur oleh kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh kesalehannya.