INDONESIAONLINE – Kabupaten Blitar, sebuah surga wisata di Jawa Timur, menggoda pengunjung dengan kekayaan alamnya yang menakjubkan dan jejak sejarah yang mendalam. Salah satu destinasi yang memikat adalah Pantai Serang, yang terletak di Desa Serang, Kecamatan Panggungrejo.

Namun, di balik keindahan alamnya, Pantai Serang juga menyimpan kisah perjuangan Shodanco Supriyadi, seorang pahlawan yang memimpin Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air).

Pantai Serang tidak hanya menawarkan panorama laut yang menakjubkan, tetapi juga beragam aktivitas rekreasi, seperti berenang, berjemur, berperahu, dan memancing. Pengunjung dapat menjelajahi keindahan pantai dari sisi barat hingga timur dengan berjalan kaki, serta melihat kehidupan kampung nelayan yang merupakan daya tarik tersendiri.

Kurang lebih 20 meter dari bibir pantai, terdapat perkampungan nelayan yang diapit oleh bukit di kanan dan kirinya. Kapal-kapal nelayan bersandar tidak jauh dari sana. Dan di sebelah kiri teluk tempat kapal bersandar, terdapat bukit karang yang sering digunakan untuk memancing. Di daerah ini, juga banyak pencari lobster tradisional yang menggunakan peralatan sederhana.

Pantai Serang juga terkenal dengan keindahan matahari terbenam, terutama pada bulan Oktober hingga Februari, saat matahari tenggelam secara dramatis tepat di tengah pantai.

Namun, hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa di balik keindahan alamnya, Pantai Serang adalah saksi bisu dari perjuangan seorang pahlawan, Shodanco Supriyadi, seorang pemuda kelahiran Trenggalek yang memimpin pergerakan PETA (Pembela Tanah Air) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Blitar. Meskipun perjuangan PETA ini pada akhirnya menghadapi kegagalan, semangat perjuangan yang diinspirasi oleh komando Supriyadi menjadi pendorong bagi upaya merebut kemerdekaan di berbagai wilayah. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumumkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Baca Juga  Hanya Ganti Lampu Dua Kali Setahun, Gajinya Rp 560 Juta, Ini yang Bikin Mahal

Setelah pemberontakan PETA menemui kegagalan, Supriyadi menghilang dan nasibnya tidak pernah diketahui. Meskipun pada akhirnya ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat yang pertama dalam Kabinet Presidensial, ia akhirnya digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo pada tanggal 20 Oktober 1945 karena Supriyadi tidak pernah muncul.

Bagaimana dan di mana Supriyadi meninggal tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini.

Supriyadi adalah anak pertama dari Raden Darmadi, bupati Blitar setelah proklamasi kemerdekaan. Jejak historis Shodanco Supriyadi dapat ditemukan di Desa Serang, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Di desa ini, Supriyadi menemukan inspirasi perjuangan dan kemudian memimpin pemberontakan bersejarah pada tanggal 14 Februari 1945.

“Di Desa Serang, terdapat bekas asrama Soeprijadi dan tentara PETA, namun kini telah menjadi perkampungan. Saat tinggal di asrama Serang, dia menyaksikan penderitaan para Romusha yang dulu dipekerjakan oleh Jepang untuk membangun tanggul di Pantai Serang dan Pantai Tambakrejo. Romusha ini menghadapi penderitaan yang besar, karena makanan mereka tidak dijamin oleh Jepang, tetapi oleh penduduk sekitar. Soeprijadi, sebagai pemimpin PETA, tidak tahan melihat penderitaan mereka dan memutuskan untuk memulai pemberontakan,” kata Raban Yuwono, pengurus Paguyuban Mocopat Blitar Kawentar.

Baca Juga  Eden Park: Dari Kawah Gunung Api Jadi Ikon Olahraga dan Ruang Perayaan Lebaran

Supriyadi tinggal di Serang selama tiga tahun, dari tahun 1942 hingga 1945. Menurut Kepala Desa Serang, Dwi Handoko, di sekitar Pantai Serang terdapat sumur dan saluran pertahanan yang merupakan peninggalan dari tentara PETA. Untuk mengenang pahlawan ini, Pemerintah Desa Serang telah mendirikan sebuah monumen Shodanco Supriyadi di Pantai Serang. Setiap tanggal 14 Februari, upacara HUT PETA dan Napak Tilas diadakan untuk mengenang perjuangan Supriyadi.

“Desa kami memiliki sejarah yang kaya, dan selama tiga tahun terakhir, kami telah mengadakan upacara HUT PETA dan Napak Tilas pahlawan Shodanco Supriyadi. Melalui acara ini, warga menjadi lebih sadar bahwa Soeprijadi pernah berada di sini, dan kami berharap bahwa banyak generasi muda akan terinspirasi oleh perjuangannya,” jelas Handoko.

Napak Tilas Pahlawan Shodanco Supriyadi selalu dimulai dengan kirab sejauh 3 kilometer. Napak tilas ini adalah pengingat apel pagi pasukan PETA yang dipimpin oleh Soeprijadi. Perjalanan Napak Tilas berakhir di lapangan desa Serang, di mana monumen Soeprijadi berdiri dengan gagah, lengkap dengan samurainya. Tempat ini dahulu menjadi tempat berkumpul para Romusha, yang memotivasi Shodanco Supriyadi untuk memulai pemberontakan PETA di Blitar. (ar/hel)