INDONESIAONLINE – Pemberontak Suriah, dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham, mengklaim telah mencapai pusat Kota Aleppo pada Jumat (29/11) setelah serangan mendadak pada Rabu, yang mereka sebut ‘mencegah agresi’, ke belasan kota dan desa yang dikuasai pemerintah Bashar al-Assad.
Dengan dukungan Iran dan Rusia, Assad sebelumnya merebut kembali Aleppo pada 2016 setelah pengepungan dan pemboman intensif yang memaksa pemberontak mundur.
Kementerian Pertahanan Suriah menyatakan angkatan bersenjata menghadapi serangan besar-besaran di sekitar Aleppo dan Idlib dalam pertempuran terberat selama bertahun-tahun di wilayah yang sebelumnya mengalami kehancuran parah pada tahun-tahun awal perang saudara. Menurut PBB, sekitar 14.000 orang telah mengungsi di daerah sekitar Idlib dan barat Aleppo.
Komandan pemberontak Jaish al-Izza, Mustafa Abdul Jaber, menyebut kemajuan cepat mereka dipicu oleh minimnya tenaga kerja milisi yang didukung Iran di wilayah tersebut, yang terpukul akibat serangan Israel saat perang Gaza meluas.
Sumber oposisi terkait intelijen Turki mengklaim Turki menyetujui serangan itu. Namun juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki, Oncu Keceli, menyatakan negaranya berupaya mencegah ketidakstabilan dan memperingatkan bahwa serangan ini melanggar perjanjian de-eskalasi. Serangan tersebut adalah yang terbesar sejak kesepakatan Rusia-Turki pada Maret 2020.
Observatorium Suriah melaporkan 23 serangan udara oleh pesawat Suriah dan Rusia di kubu pemberontak Idlib, dengan para jihadis berhasil menguasai lebih dari 50 desa dan kota di wilayah Aleppo dan Idlib, termasuk Kota Sarakib yang terletak di persimpangan lalu lintas.
Menurut Observatorium yang berbasis di Inggris, setidaknya 277 orang telah tewas sejak Rabu, mayoritas pejuang dari kedua pihak. Namun ada juga warga sipil, yang sebagian besar menjadi korban serangan udara Rusia.
Televisi pemerintah Suriah membantah pemberontak telah mencapai Kota Aleppo. Sementara militer Suriah mengklaim telah menimbulkan kerugian besar di kalangan pemberontak.
“Kami sangat khawatir dengan situasi yang terjadi di Suriah barat laut.” kata David Carden, wakil koordinator kemanusiaan regional PBB untuk krisis Suriah, dilansir dari Reuters.
“Serangan gencar selama tiga hari terakhir telah merenggut nyawa sedikitnya 27 warga sipil, termasuk anak-anak berusia delapan tahun,” ujarnya.
“Warga sipil dan infrastruktur sipil bukanlah target dan harus dilindungi berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.” tambahnya.
Kantor berita SANA melaporkan empat warga sipil termasuk dua mahasiswa tewas akibat penembakan pemberontak di asrama. Tidak jelas apakah mereka termasuk di antara 27 korban tewas yang dilaporkan oleh pejabat PBB.
Pesawat tempur Rusia dan Suriah melancarkan serangan udara dekat perbatasan Turki untuk memukul mundur pemberontak. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyatakan serangan pemberontak sebagai pelanggaran kedaulatan Suriah dan menginginkan tindakan cepat untuk mendapatkan kembali kendali.
“Mengenai situasi di sekitar Aleppo ini merupakan serangan terhadap kedaulatan Suriah dan kami mendukung otoritas Suriah untuk segera memulihkan ketertiban di wilayah tersebut dan mengembalikan ketertiban konstitusional sesegera mungkin,” kata Peskov.
Namun Peskov tidak memberikan komentar ketika dimintai tanggapan mengenai kabar yang belum terkonfirmasi di Telegram Rusia tentang kunjungan Assad ke Moskow untuk bertemu Presiden Putin.
Perang saudara Suriah yang dimulai tahun 2011 telah menewaskan setengah juta orang dan memaksa jutaan mengungsi. Pemerintah Assad berhasil merebut kembali kendali sebagian besar negara pada 2015 berkat dukungan Rusia dan Iran. Meski gencatan senjata yang ditengahi Turki dan Rusia berlaku sejak 2020 dan berkali-kali dilanggar, situasi relatif tenang dalam beberapa tahun terakhir. (