Penaklukan Wirasaba oleh Jaka Tingkir: Bukan Ekspansi Teritorial Biasa

Penaklukan Wirasaba oleh Jaka Tingkir: Bukan Ekspansi Teritorial Biasa
Ilustrasi Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dari Pajang memantau aliran Bengawan Solo di tahun 1560, didampingi para pejabat dan abdi kerajaan. (foto: Ilustrasi AI dibuat jtn group)

INDONESIAONLINE – Ada satu bab yang jarang disentuh di balik gema sejarah Keraton Pajang. Bab itu menyimpan letupan-letupan politik, pergulatan kekuasaan, serta diplomasi militer yang mencerminkan kompleksitas politik Jawa pertengahan abad ke-16.

Salah satu episode penting dalam artikel dokumenter historiografi yang merangkum berbagai sumber ini adalah perebutan Wirasaba oleh Kesultanan Pajang. Peristiwa ini bukan sekadar ekspansi teritorial, melainkan merupakan artikulasi nyata dari ambisi ekspansi kekuasaan Sultan Pajang Jaka Tingkir. Khususnya dalam konstelasi perebutan supremasi politik terhadap daerah-daerah strategis di pedalaman Jawa.

Raden Jaka Tingkir – Dari Yatim Pengging Menjadi Kaisar Jawa

Kesultanan Pajang menjadi mata rantai penting dalam sejarah politik Jawa, menjembatani era kejayaan pesisir Demak menuju kebangkitan kekuasaan pedalaman di Mataram. Didirikan oleh Raden Jaka Tingkir—yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya—kerajaan ini lahir di tengah turbulensi politik pasca wafatnya Sultan Trenggana, dan mencatatkan dirinya sebagai poros transisi yang menentukan arah sejarah Jawa abad ke-16.

Raden Jaka Tingkir, kelak bergelar Sultan Hadiwijaya, adalah tokoh penting dalam transisi dari kejayaan Kesultanan Demak ke kebangkitan Mataram Islam. Lahir sebagai Mas Karebet di Pengging dari pasangan Raden Kebo Kenanga dan Rara Alit, ia menjadi yatim piatu sejak usia dua tahun setelah ayahnya gugur melawan pasukan Demak dan ibunya meninggal dalam duka. Ia kemudian diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir dan menempuh perjalanan spiritual dengan berguru pada tokoh-tokoh besar seperti Ki Ageng Selo dan Sunan Kalijaga.

Mas Karebet merintis kariernya dari prajurit di Demak hingga menjadi menantu Sultan Trenggana, kemudian diangkat sebagai Adipati Pajang. Setelah kematian Trenggana pada 1546, kekosongan kekuasaan menyebabkan konflik suksesi. Jaka Tingkir akhirnya diangkat sebagai Sultan Pajang pada 1458 (penanggalan Jawa), memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke pedalaman, dan mendirikan Kesultanan Pajang.

Legitimasi spiritualnya ditegaskan dalam Babad Tanah Jawi, yang menggambarkan turunnya wahyu keprabon kepadanya. Dalam 32 tahun pemerintahannya, ia berhasil mengonsolidasikan wilayah penting seperti Tuban, Surabaya, dan Jepara, serta membina hubungan diplomatik antarkerajaan.

Ia menikahkan anak-anaknya secara strategis untuk memperkuat kekuasaan.Puncak konflik terjadi ketika Arya Penangsang, Adipati Jipang, menuntut hak atas takhta Demak. Sultan Hadiwijaya tidak turun tangan secara langsung, melainkan menggelar sayembara. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi menjadi tokoh kunci dalam kemenangan pihak Pajang, yang sekaligus menandai berakhirnya faksi Demak-Jipang. Arya Penangsang gugur pada tahun 1549.

Sultan Hadiwijaya wafat pada 1590-an dan dimakamkan di Butuh, Sragen. Setelah itu, Kesultanan Pajang melemah dan menjadi bawahan Mataram. Namun, warisannya tetap hidup melalui jalur keturunan, salah satunya Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang lahir dari pernikahan Panembahan Hanyakrawati (putra Panembahan Senapati) dengan Ratu Mas Hadi Dyah Banowati (putri Pangeran Benawa dan cucu Jaka Tingkir).

Sultan Agung, raja terbesar Kesultanan Mataram Islam, memerintah dari 1613 hingga 1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram mencapai puncak kejayaan politik dan militer serta menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Nusantara.

Meskipun singkat, Kesultanan Pajang memainkan peran strategis sebagai jembatan antara Demak dan Mataram dalam sejarah politik Jawa, dengan Jaka Tingkir sebagai sosok transformatif yang memadukan spiritualitas, kecakapan militer, dan darah bangsawan.

Wirasaba: Titik Strategis di Tanah Banyumas

Setelah runtuhnya Kesultanan Demak, Jaka Tingkir—yang kelak bergelar Sultan Hadiwijaya—memindahkan pusat kekuasaan ke daerah pedalaman dan mendirikan Kesultanan Pajang. Era transisi ini bukan tanpa pertentangan.

Pengaruh Demak masih kuat di pesisir utara, sementara kekuatan-kekuatan lokal seperti Wirasaba di barat daya tetap mempertahankan kedaulatannya dalam batas tradisional mereka. Dalam konteks inilah perebutan Wirasaba tidak hanya mencerminkan rivalitas antarkekuatan regional, tetapi juga menjadi titik kulminasi dari upaya Pajang untuk mengonsolidasikan kekuasaan.

Wirasaba, sebuah wilayah penting di barat daya Jawa, berperan sebagai penghubung strategis antara pedalaman Mataram dan pesisir utara. Penguasaan atas daerah ini berarti kendali atas lintas logistik dan jalur niaga yang penting.

Adipati Wirasaba saat itu adalah Warga Utama I, seorang pemimpin lokal yang dihormati dan memiliki hubungan genealogis dengan elite politik pesisir utara. Namun, kekuatan Warga Utama yang semakin mandiri dianggap sebagai ancaman oleh Sultan Pajang. Babad Banyumas mencatat bahwa sang Adipati akhirnya dibunuh oleh perintah Sultan Hadiwijaya, dan wilayahnya diambil alih.

Babad Banyumas yang kini tersimpan dalam naskah Perpustakaan Nasional No. 526 menyebutkan dengan terang pembunuhan Adipati Wirasaba, Warga Utama I, oleh Sultan Pajang.  Pembunuhan ini bukan semata tindakan kekerasan politik, tetapi representasi konflik antara pusat dan daerah, antara kekuasaan baru dengan tatanan lama yang telah berakar sejak era Majapahit dan Demak.

Wirasaba yang terletak strategis di perbatasan antara kekuasaan Mataram masa depan dan wilayah kekuasaan Pajang, menjadi titik genting yang harus dikuasai untuk mengamankan jalur ekspansi ke timur.

Ekspedisi militer ini bukanlah tindakan sesaat, melainkan bagian dari rencana besar untuk mengintegrasikan wilayah-wilayah perifer ke dalam struktur pusat Pajang. Delta Brantas, sebagai wilayah agraris dan ekonomis penting, menjadi target natural dari ekspansi politik.

Pajang yang sebelumnya mengalami bentrokan di wilayah tersebut menunjukkan tekad untuk mengeliminasi kekuatan tandingan sekaligus menciptakan narasi dominasi yang baru.  Dalam konteks ini, Wirasaba bukan hanya panggung pertarungan militer, tetapi juga ajang konsolidasi simbolik kekuasaan.

Pertanyaan utama dalam rekonstruksi peristiwa ini adalah soal kronologi. Dua tanggal muncul dari berbagai sumber primer dan sekunder: tahun 1568 dan 1581. Tahun pertama, 1568, diambil dari karya Raffles dalam “History of Java”—meskipun tidak jelas dari mana sumber angka ini berasal. Tahun ini kemudian diikuti oleh Veth dalam “Java” (I:304), serta Rouffaer dalam artikel “CPajang”. Akan tetapi, tahun 1581 tampak lebih konsisten dalam historiografi Jawa sendiri, sebagaimana termuat dalam Babad Sangkala, Babad Momana, dan Babad Tanah Djawi.

Lebih jauh lagi, tahun 1581 cocok dalam konteks dinamika kekuasaan saat itu, termasuk keberadaan Ki Ageng Pamanahan di Mataram (1578–1584), serta rangkaian ekspedisi militer Pajang ke Giri dan daerah-daerah timur Jawa. Dalam kronik Giri, yang dituturkan secara turun-temurun, ziarah Sultan Hadiwijaya ke Giri diperkirakan terjadi pada akhir dekade 1580-an, memperkuat estimasi tahun penaklukan Wirasaba sekitar 1581.

Sultan Hadiwijaya dikenal sebagai tokoh ambisius yang menggabungkan strategi diplomasi dan kekuatan militer. Dalam konteks Wirasaba, pendekatan militer digunakan dengan dalih menertibkan daerah-daerah yang tidak loyal. Namun, pembunuhan Adipati Wirasaba juga merupakan pesan keras terhadap penguasa daerah lain bahwa Pajang tidak akan mentoleransi bentuk otonomi yang melampaui batas.

Babad Banyumas, naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan nomor katalog 526, menyebut secara eksplisit tindakan keras Sultan terhadap Warga Utama. Setelah pembunuhan tersebut, wilayah Wirasaba diserahkan kepada keturunan Warga Utama, yaitu Raden Jaka Kaiman, yang kemudian diangkat menjadi Adipati Banyumas. Transformasi Wirasaba menjadi Banyumas menjadi salah satu efek langsung dari intervensi Pajang.

Penaklukan Wirasaba dan penggantian Adipati Warga Utama dengan generasi berikutnya membuka jalan bagi integrasi wilayah barat daya Jawa ke dalam sistem pemerintahan Pajang. Namun, perubahan ini tidak hanya struktural, tetapi juga simbolik. Wilayah yang semula bersifat semi-otonom kini berada di bawah kendali pusat, dan sistem pemerintahan digeser dari model patrimonial lokal ke model birokratisasi yang lebih terstruktur.

Proses ini juga menjadi awal dari migrasi elite lokal ke pusat, serta penyebaran budaya keraton ke daerah-daerah satelit. Banyumas, yang kelak dikenal sebagai pusat budaya dan sastra pesisir selatan, mendapatkan momentum historisnya dari titik ini.

Dengan mempertimbangkan berbagai sumber, baik kolonial maupun lokal, serta kronik lisan yang ditranskripsikan dalam bentuk babad, maka penaklukan Wirasaba oleh Pajang dapat ditempatkan secara cukup pasti pada sekitar tahun 1581. Peristiwa ini bukanlah insiden terisolasi, melainkan bagian dari dinamika besar perubahan politik pasca-Demak, ekspansi kekuasaan Pajang, dan transformasi struktur politik Jawa.

Historiografi ini juga menunjukkan bagaimana narasi lokal seperti Babad Banyumas memiliki nilai tinggi dalam menyusun sejarah regional, terutama ketika dikorelasikan dengan konteks kronologi yang lebih luas. Peristiwa ini juga menandai bagaimana kekuasaan di Jawa abad ke-16 tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh negosiasi simbolik, jaringan patronase, dan diplomasi spiritual antara raja, ulama, dan penguasa daerah.

Dengan demikian, penaklukan Wirasaba oleh Pajang bukan hanya episode militer, melainkan bab penting dalam narasi panjang pembentukan negara-negara Islam di tanah Jawa—sebuah babak yang menjadi jembatan antara warisan Demak dan lahirnya Mataram sebagai kekuatan baru di Jawa pedalaman.

Jalan ke Giri – Legitimasi Spiritual dan Politik

Ziarah Sultan Pajang ke Giri menjadi salah satu peristiwa sentral dalam pembentukan legitimasi spiritual Pajang.  Giri Kedaton, pusat keagamaan yang didirikan oleh Sunan Giri, merupakan otoritas moral dan keagamaan tertinggi di Jawa Timur.  Dalam tradisi Jawa, restu dari Giri bermakna pengakuan atas keabsahan kekuasaan seorang raja.  Oleh sebab itu, perjalanan ke Giri bukan sekadar ziarah biasa, melainkan langkah strategis untuk mendapatkan pengakuan spiritual atas kekuasaan Sultan Hadiwijaya.

Perjalanan ini, jika ditempatkan dalam kronologi 1581, bersesuaian dengan upaya militer dan politik yang dilakukan sebelumnya di timur.  Sultan Hadiwijaya, setelah mengatasi perlawanan di Wirasaba dan menguasai Delta Brantas, mempersembahkan otoritasnya di hadapan Giri.  Langkah ini mencerminkan pola hubungan antara politik dan spiritualitas dalam kerajaan Islam Jawa: kekuasaan duniawi harus disokong oleh restu ulama dan wali.

Namun tidak semua sumber menceritakan kunjungan ini secara rinci.  Hal ini dapat dipahami, mengingat cerita-cerita Giri sebagian besar disampaikan secara lisan, dan baru dibakukan dalam bentuk teks pada awal abad XVII.  Kemungkinan besar narasi ini muncul dari lingkaran pesantren Giri sendiri yang ingin mencatat sejarah keterlibatan spiritual dalam dinamika politik Jawa.

Penaklukan Wirasaba dan perjalanan ke Giri harus dilihat dalam satu frame besar: upaya Pajang untuk menjadi kerajaan Islam dominan di Jawa.  Setelah Demak melemah dan terpecah, Pajang muncul sebagai satu-satunya kekuatan besar di pedalaman Jawa.  Namun, untuk dapat mewarisi otoritas Demak, Pajang tidak cukup hanya berkuasa secara militer dan administratif.  Ia perlu mendapatkan legitimasi kultural dan spiritual, dan hal itu hanya bisa dicapai melalui restu pusat-pusat kekuasaan lama seperti Giri.

Maka tidak heran jika Sultan Hadiwijaya menggabungkan ekspedisi militer dan ziarah spiritual dalam satu paket kebijakan kekuasaan.  Ia menyerang dan menaklukkan wilayah-wilayah pemberontak, sambil tetap menunjukkan kesetiaannya kepada tatanan Islam-Jawa yang diwariskan oleh para wali. (ar/hel)